Part 16 Sahabat Terbaik
Airmata Manika masih terus menganak sungai. Sudah berkali-kali dihapus, tisu pun terkumpul didalam tasnya. Namun sepertinya belum tuntas. Hingga tisu terakhir, airmatanya masih mengalir.
Manika yang tak punya tujuan, baru tersadar kalau kereta sudah sampai di stasiun Mongkok. Ia pun turun dari kereta. Sesaat ia bingung, hendak ke mana. Ponselnya dari tadi berdering, sengaja tak mau mengangkatnya.
Namun kali ini Manika ingin tahu siapa yang meneleponnya. Ternyata Ayuni, ia pun menjawab panggilan dari sahabatnya itu.
"Assalamu'alaikum, Nik, kamu, di mana? Dari tadi susah banget di hubungi?" tanya Ayuni dari ujung telepon.
"Walaikum salam." Manika terdiam, tak tahu harus bicara apa. Sementara Ayuni, yang menunggu jawaban dari ujung sana langsung paham. Kalau sesuatu telah terjadi dengan sahabatnya. Ia pun berniat menyusul Manika.
"Kamu, di mana? Aku ke sana sekarang!"
"Stasiun Mongkok." Manika langsung memutuskan sambungan telepon, setelah menjawab. Karena sedang tak ingin bicara apa pun, ia memilih keluar dari stasiun, duduk di bawah jembatan. Menunggu sahabatnya datang.
***
Sementara itu bertempat di Tsuen Wan. Larasati alias Lala. Yang tak lain ibu kandung Manika. Sedang duduk terdiam, ia masih teringat sosok gadis berhijab. Yang tadi hampir dilamar mantan kekasihnya, yaitu Erick.
Lala yang masih mencintai Erick. Sedang berusaha merayu lelaki itu lagi. Karena kekasihnya yang memiliki istri, sudah tak mau lagi berhubungan dengannya. Ternyata baru mengetahui kalau Erick, telah mencintai perempuan lain.
Dengan percaya diri. Lala yang tahu tempat tinggal Erick, juga tahu nomor pin pintu apartmentnya. Sengaja menemuinya beberapa hari yang lalu. Namun tak disangka lelaki itu menolaknya. Pagi-pagi sekali Lala kembali ke tempat Erick. Ternyata nomor pin rahasia pintunya. Sudah diganti.
Tentu saja Lala yang tak pernah, ditolak oleh laki-laki yang di incarnya. Merasa jengkel. Apa lagi ia tahu Erick begitu tergila-gila padanya. Namun itu dulu, sebelum ia memilih pria yang lebih tua.
Hingga tak sengaja, Lala yang ada temu janji dengan temannya. Melihat Erick sedang berlutut memberi cincin pada seorang gadis. Tentu saja hatinya panas. Walau sebenarnya salahnya sendiri meninggalkan lelaki itu, demi lelaki tua yang lebih kaya.
"La, kenapa lu, diem aja, kesambet?" tanya Sisil sahabatnya.
"Erick suka cewek behijab," jawabnya.
"Tahu dari mana?"
"Tadi aku lihat sendiri, dia lagi nglamar gadis itu sambil berlutut memberi cincin, di sebelah sana." Lala sambil menunjukan arah dengan jarinya.
"Ya, gimana lagi, berarti dia sudah move on. Kan lu sendiri yang ninggalin dia."
"Tapi aku penasaran, sama itu cewek."
"Emang, secantik apa tu cewek? Sampai Erick suka dia. Padahal kita tau, kalau Erick begitu tergila-gila ma lu?"
"Mana kutahu, orang dia pake krudung, pake masker juga. Waktu mau kubuka maskernya, tanganku malah di cekal, terus aku didorong hampir jatuh."
"Wow, kece badai. Berarti tu cewek, nggak main-main yah. Suka banget ma Erick!"
"Justru itu yang buat aku jadi bingung."
"Bingung, kenapa?"
Lala menarik napas, sesaat terdiam. Akhirnya ia pun menceritakan. Semua kronologi kejadiannya. Hingga ia masih terngiang-ngiang, kalimat yang dilontarkan gadis itu padanya. Juga pada Erick.
"Kok, aneh yah? Apa mungkin cewek itu tetangga, lu, di kampung, La?"
"Entahlah, Setahuku orang di kampungku nggak ada yang minat jadi TKW."
"Yeh, kali aja sekarang udah pada minat, keadaan yang sulit bisa jadi orang nekat."
"Mungkin juga sih."
"Ya, udahlah, lu nggak usah bete gitu. Masih banyak cowok lain. Tinggal pilih, amati, dekati, rayu deh, biasanya juga gitu kan? Cowok bule udah, Cina, Afrika, Pakistan, India, Thailand, Philipina, Arab. Tinggal cari target pengin nyobain cowok mana cus! Coba aja Macau udah buka kita meluncur ke sana. Ke tempat kasino kaya dulu." ungkap sisil panjang lebar.
Namun Lala hanya terdiam. Bayangan gadis yang disukai Erick terus menari di pelupuk mata. Ia sudah berusaha mengusirnya, namun bayangan itu bagaikan hantu. Mengikuti dirinya, memaksanya untuk selalu mengingatnya.
***
"Hallo, Nik kamu, di mana?" Suara Tyas terdengar cemas, saat Manika menjawab panggilan teleponnya.
"Exit B3."
"Oke, kita kesitu sekarang." Panggilan pun terputus.
Manika duduk di bawah jembatan penyeberangan orang. Beberapa pedagang makanan menawarinya. Namun Manika menolak. Tak lama kemudian Tyas dan Ayuni pun sampai. Mereka berdua hampir tak mengenali manika. Kalau gadis itu tak memanggilnya, karena hari ini untuk pertama kalinya, Manika memakai kerudung.
"Ya ampun, Nik, cantik banget, kamu pakai kerudung," ucap Tyas.
"Iya, sampai pangling," timpal Ayuni.
"Ayo, cari tempat duduk, yang nyaman bisa ngobrol!" ajak Tyas.
"Dingin begini, mending ke Macdonald atau Starbucks, bisa sambil ngopi," Ayuni mengusulkan.
Mereka pun mengangguk tanda setuju. Ketiga sahabat itu pun berjalan. Meninggalkan tempat itu yang penuh dengan orang, mayoritas warga Indonesia. Termasuk para laki-laki yang jumlahnya masih minim. bekerja di Hongkong.
"Sekarang, coba ceritakan ada apa, Nik!" pinta Ayuni.
"Iya, Nik, apa yang terjadi?" imbuh Tyas.
Bukannya menjawab, Manika malah meminta maaf, kalau mengganggu acara Tyas. Tyas menjelaskan, kalau acaranya ketemu sama Thoriq sudah selesai. Karena Thoriq ada urusan. Sebenarnya Thoriq mengajak Tyas dan Ayuni. Tapi mereka berdua menolak, karena tahu ada sesuatu dengan Manika, saat Ayuni menelpon tadi. Sehingga mereka memilih untuk menyusul Manika.
Sebelum memulai bicara, Manika menarik napas dalam-dalam, mengembuskan kembali perlahan-lahan. "Aku, sudah ketemu, Ibuku,"
"What!" Tyas dan Ayuni berseru secara bersamaan.
"Kapan, di mana?" tanya Tyas, tak sabar ingin tahu.
Manika pun menceritakan semuanya. Dari awal bertemu di restaurant regal riverside hotel. Hingga tadi ibunya yang tiba-tiba datang merebut cincin dari tangan Erick, yang di peruntukan dirinya.
"Lalu?" tanya Ayuni, yang penasaran karena Manika berhenti bicara.
Manika pun melanjutkan kembali semua detail kejadian yang tadi dialaminya. Tak terasa bulir bening kembali menganak sungai, membasahi pipinya.
"Kalau, kalian berdua ada di posisiku, coba bayangkan, bagaimana rasanya," ucap Manika.
"Kita, paham apa yang, kamu, rasakan, Nik." Tyas merangkulnya, Ayuni menggenggam tangannya, sambil berkata." Allah pemilik skenario kehidupan. Pasti akan ada hikmah dibalik setiap kejadian."
"Ayuni, benar, Nik, yang ikhlas yah, semoga, Ibumu akan segera sadar. Dan kembali ke jalan yang benar. Sebagai anak. Tugasmu, harus mendoakan. Seburuk apa pun orang tua kita. Dari merekalah kita ada di dunia ini. Ingat itu!" Tyas menuturkan, agar Manika bisa berjiwa besar.
Manika terdiam, mendengar apa yang diucapkan, kedua sahabatnya. Bagaimana pun ada benarnya. Namun karena rasa sakit di hatinya teramat dalam, ia pun hanya mampu diam terpekur.
"Kita berdua, sangat paham, rasa sakit dihatimu, namun, harus ingat, setiap orang akan di beti ujian, oleh sang pencipta, dan yang namanya ujian itu, macam-macam. Kamu, Ibumu, Bapakmu, juga semua orang pasti di beri ujian. Istighfar yang banyak, tetap ingat, Ibumu yang melahirkanmu, dari bayi sudah merawatmu." Ayuni mengingatkan.
Mau tak mau, dengan berat hati. Manika mengangguk. Walau hatinya masih sakit, diselimuti kebencian. Namun ia sadar. Seburuk apa pun ibunya. Tetaplah statusnya orang tuanya. Yang tak bisa dihapus dengan apa pun jua.
Gadis itu sangat bersyukur, memiliki sahabat sebaik Ayuni dan Tyas. Yang selalu bisa membuatnya berpikir positif.
Hatinya sedikit lega, setelah menceritakan, apa yang ada dalam hatinya. Yang sedang kacau dan terpukul.
Mereka bertiga menyesap kopi bersama. Setelahnya, Ayuni bangkit dan berjalan hendak memesan tiramisu cake, kesukaan mereka.
Saat sedang memesan cake. Seorang lelaki bertanya pada Ayuni, apakah dia sudah ada tempat duduk, karena pengunjung lumayan ramai. Ayuni pun menjawab kalau dia bersama dengan kedua temannya, sambil menunjuk ke arah mereka.
Lelaki itu pun berkata. "Bolekah, aku gabung tempat duduknya, lihat! Nggak ada tempat lagi!"
Ayuni pun menjawab. "Tentu, kenapa nggak, tempat ini bukan milikku, silakan saja kalau mau gabung, aku, duluan yah?"
"Silakan nanti, saya, ke sana."
Ayuni pun tersenyum, ia berjalan kembali sambil membawa cake untuk mereka bertiga. Baru saja duduk, Tyas bertanya.
"Ngobrol apa, Ay, tadi sama, cowok itu?"
"Oh itu, dia minta izin gabung tempat duduk, karena nggak ada yang kosong," jawabnya.
"Cakep tuh orang, kirain ngajakin kamu kenalan. Akunya udah baper."
"Dasar, lagian tuh orang belum tentu juga naksir, aku. Bisa jadi nanti malah naksir diantara, kalian, berdua." ucap Ayuni sambil menyuap cake nya.
"Aku, ogah udah sold out." Tyas tersenyum.
Tak lama kemudian lelaki itu pun datang. Menyapa mereka dan meminta izin duduk bersama mereka.
Mereka berempat akhirnya saling berkenalan. Lelaki berasal dari Negara Maldives atau Maladewa, orang Indonesia menyebutnya. Negara kecil yang konon ceritanya, memiliki tempat yang sangat indah nan romantis, menjadi destinasi para turis dari belahan dunia, menjadikan tempat itu untuk berbulan madu.
Lelaki itu memerkenalkan dirinya, bernama Syahdan. Berparas tampan antara, India dan Timur Tengah.
"Maaf, apakah, aku, tidak mengganggu acara, kalian?" tanya Syahdan.
"Oh, tidak sama sekali," jawab Tyas dan Ayuni. Sementara Manika hanya mengangguk, tanda sependapat dengan kedua temannya.
"Syukurlah, aku, takut kalau kehadiranku, merusak acara, kalian bertiga."
"Kami, hanya pengin duduk, ngopi dan ngobrol tentunya," ujar Ayuni. Sesaat Syahdan dan Ayuni saling pandang, namun gadis itu buru-buru membuang, pandangan, ke tempat lain, begitu pun dengan Syahdan yang langsung menyesap kopinya.
Diam-diam Tyas, memerhatikan Syahdan, yang sering mencuri pandang pada Ayuni. Manika yang masih galau lebih banyak diam.
"Habis ini, kalian mau pergi kemana? Tidak mungkin kan, mau disini sampai nanti malam?" Syahdan bertanya sambil melihat wajah ketiga gadis itu satu persatu.
"Tidak ada acara sih, paling cuma jajan-jalan nanti ke pasar," jawab Tyas.
"Boleh, aku, ikut dengan kalian?" tanya Syahdan penuh harap.
"Asal jalan sendiri, jangan minta gendong!" balas Ayuni.
Syahdan tersenyum, terlihat Ia sedang menatap Ayuni. "Kalau, aku minta gendong paling, kalian langsung kabur."
"Ya, iyalah, panggil ambulance," sahut Tyas.
Mereka pun tertawa. Kendati baru saling mengenal, namun nampak seperti sahabat lama. Syahdan sangat senang bisa berkenalan dengan ketiga gadis itu, apa lagi, salah satu gadis itu telah menawan hatinya.
Suasana hati Manika, mulai membaik. Akhirnya bisa ngobrol bersama kedua sahabatnya, dan Syahdan. Mereka pun mengobrol tentang banyak hal.
Syahdan, memuji Manika yang cantik memakai hijab. Manika hanya tersenyum, ia pun kembali teringat sosok tampan, sang pemberi hijab yang sekarang sedang dipakainya.
Entah mengapa, bayangan lelaki, pemberi hijab, hadir melintasi pelupuk netranya. Ada desir aneh datang tanpa di undang. Namun Manika sadar, cepat-cepat menepiskan bayangan itu. Selain tak pantas, rasanya juga tak mungkin, kenal saja tidak. Meski kemungkinan selalu ada. Tapi Manika tak ingin berandai-andai.
"Nik, sedang memikirkan, seseorang?" tanya Syahdan.
Manika terkesiap, merasa heran dengan pertanyaan Syahdan, bagaimana lelaki itu bisa tahu, jika dirinya sedang teringat seseorang. Sosok yang tadi sempat ia sebut, namun hanya sebatas andai.
Bersambung.