Part 15 Terhempas
Dengan langkah cepat, ia keluar dari kereta, menaiki eskalator menuju ke atas. Sesampainya di sana, mengedarkan pandangan kearah panah penunjuk jalan, mencari pintu keluar B.
Sesampainya, di pintu keluar, Manika mencari sosok Erick. Akhirnya netranya menangkap lelaki yang dicarinya. Ia pun melambaikan tangan ke arah lelaki itu. Erick awalnya kaget melihat ada orang memakai kerudung melambai padanya.
Setelah gadis itu menyapanya, barulah Erick sadar, kalau itu ternyata Manika.
"Hai, Nik, aku kira, kamu tak jadi menemuiku." Erick berkata sambil memerhatikan penampilan Manika, yang berbeda.
"Aku, sudah janji, pasti akan kutepati. Karena aku tidak suka sama orang yang suka ingkar janji."
"Terima kasih, kamu, memang orang yang baik hati. Tak salah hatiku memilihmu."
Manika terdiam mendengar ucapan Erick. Lelaki itu mengajaknya jalan. Entah mau di bawa kemana dirinya.
Gadis itu mengikuti langkah Erick tanpa banyak bicara. Berjalan kaki sekitar sepuluh menit, akhirnya sampai. Ternyata mereka memasuki sebuah restaurant di dalam hotel panda.
Restaurants simplicity. Yang lumayan ramai pengunjung. Erick menarik kursi untuk Manika. Gadis itu merasa agak canggung, diperlakukan seperti itu. Apa lagi banyak pasang mata nampak melihat ke arahnya. Mungkin mereka heran, karena Manika satu-satunya yang memakai kerudung di tempat itu.
"Nik, kamu, pengin makan apa?" Erick bertanya, sambil melihat menu.
"Nasi goreng vegetarian," jawab Manika.
"Cuma itu?"
"Tambah sayur, yang vegetarian juga."
"Kamu, vegetarian? Nggak makan daging, atau ikan?" Erick yang merasa heran pun bertanya.
Manika pun menjelaskan. Bahwa dirinya bukan vegetarian. Namun karena takut masakannya tercampur makanan tidak halal. Ia memilih aman, yaitu menu vegetarian. Terlihat beberapa biksu juga sedang makan di sana. Yang sudah pasti mereka vegetarian. Karena seorang biksu tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung unsur hewani. Mereka makan makanan hasil bumi.
Erick pun mencoba memaklumi. Dan memesan makanan semua menu vegetarian. Demi menghormati gadis yang dicintainya. Setelah memesan beberapa macam makanan. Mereka pun ngobrol, sambil menunggu pesanan datang.
Ketika mereka sedang ngobrol, berkali-kali ponselnya berbunyi. Tanda pesan masuk. Namun Manika mengbaikan, karena ia sosok yang menghargai orang. Tidak suka bermain ponsel. Sementara di dekatnya ada orang yang mengajaknya bicara.
"Ponselmu bunyi terus, kenapa nggak dilihat, siapa tau penting," ujar Erik.
"Itu cuma pesan, kalau penting pasti nelpon," jawabnya santai.
"Setidaknya di lihat dulu, takutnya orang menunggu balasan."
Manika berpikir sesaat, akhirnya mengikuti saran Erick. Di bukannya ponsel yang sedari tadi berbunyi. Ternyata dari kedua sahabatnya. Setelah membalasnya, ia kembali memasukan ponsel ke dalam tasnya.
Erick ingin sekali menanyakan jawaban dari Manika, tentang pernyataan cintanya minggu lalu. Namun lelaki itu masih mikir. Takutnya membuat selera makan jadi hilang. Sehingga ia memutuskan untuk makan terlebih dahulu.
Tak lama kemudian, pesanan pun datang. Mereka menikmati makan siang berdua. Sesekali Erick mencuri pandang ke wajah Manika. Yang membuatnya semakin jatuh cinta.
Erick jatuh cinta pada Manika. Ketika pertemuan pertama, yang tak sengaja. Sejak itu ia selalu teringat pada gadis yang saat ini sedang duduk di hadapannya.
Erick sudah cukup menahan gelisah, waktu belakangan ini. Karena selalu teringat dengan Manika. Padahal banyak gadis yang cantik, namun entah mengapa persona Manika yang mampu menaklukkan hatinya.
Erick lelaki yang baik, selalu serius jika mencintai seseorang. Tidak suka mempermainkan wanita. Justru dirinyalah yang sering di permainkan oleh wanita.
Kali ini Erick sangat ingin serius, dan bisa menikah dengan Manika.
***
Selesai makan, Erick bersiap membuka suara, namun sialnya. Ponsel Manika berdering pertanda ada panggilan masuk. Membuatnya mengurungkan niatnya, karena gadis itu sudah mengambil ponselnya.
Manika meminta izin untuk menjawab panggilan masuk. "Aku, tunggu di luar yah." ucap Manika sambil melangkah pergi.
Erick yang kecewa, namun berusaha menyembunyikan, kekecewaannya. Ia tak ingin Manika tahu.
Setelah membayar. Erick pun keluar mencari keberadaan Manika. Terlihat gadis itu masih bicara di telepon. Erick pun mendekatinya. Tanpa bicara berdiri tak jauh dari gadis itu.
Manika yang melihat Erick, sudah berada di dekatnya pun. Menyudahi panggilan teleponnya. Ia pun bertanya. "Sekarang bagaimana, mau ke mana?"
"Kamu, ada sesuatu yang ingin dibeli? Ayo, aku, antar, kamu, belanja!"
"Tidak ada, aku, ke sini kan, khusus ketemu, kamu."
"Iya, tapi kalau kamu ingin beli sesuatu, aku akan belikan buat, kamu."
"Terima kasih, kamu sudah baik ke, aku, tapi tidak usah, kebetulan tadi aku sudah beli nih!" Manika menunjukkan tas yang dibelinya.
"Tidak pengin beli lagi, yang merek lain, kan bisa buat koleksi."
Manika tersenyum, lalu berkata.
"Semua perempuan, pasti pengin, punya tas banyak, begitu pun denganku. Tapi maaf, aku, tak terbiasa menerima pemberian dari orang yang belum lama kenal, apa lagi dari seorang laki-laki," tuturnya
Erick semakin dibuatnya jatuh cinta, dengan sikap Manika. Tak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal, semuanya sama hanya mau uangnya saja. Tidak tulus dengannya.
"Kok malah diam, mau berdiri terus di sini sampai kapan?" tanya Manika.
Erick tersadar, ia pun tersenyum. "Jadi tidak ingin membeli apa-apa nih?" tanyanya memastikan.
"Tidak usah."
"Ya sudah, lain kali kalau pengin beli sesuatu, bilang yah? Sekarang ke taman yuk! I have something for you!" Erick mengajak Manika. Gadis itu pun mengiyakan. Mereka berjalan menuju ke taman, yang lokasinya masih di sekitar situ.
Kedua orang itu, kini duduk bersebelahan di bangku taman. Pengunjung lumayan ramai. Banyak para perantau seperti Manika, menikmati hari liburnya. Dengan berkumpul bersama teman-temannya, ada yang menyanyi, ada yang hanya ngobrol, ada juga yang sedang main gitar, melepaskan penat setelah enam hari bekerja.
Erick membuka percakapan, dengan menanyakan tentang keluarga Manika. Gadis itu menjawab semua, kecuali satu, tentang ibu kandungnya. Ia tak ingin Erick tahu bagaimana dan seperti apa ibu yang sudah melahirkannya. Apa lagi orang baru kenal.
Erick pun bercerita tentang keluarganya. Manika mendengarkan dengan seksama. Erick semakin menyukai gadis yang saat ini berada di sebelahnya. Sosok lawan bicara dan pendengar yang baik.
Setelah cukup lama mengobrol, tentang keluarga masing-masing. Akhirnya Erick memberanikan diri melamar Manika. Dengan berlutut di depan gadis itu. Sambil memberikan kotak cincin warna ungu pudar, yang terbuka. "Bersediakah, kamu jadi istriku?"
Manika menjadi serba salah. Tak menyangka Erick seserius itu. Bahkan nekat melakukannya di tempat umum. Tentu saja Manika menjadi malu, karena orang-orang di sekitarnya kini sedang memerhatikan mereka.
"Wah, Kak, cowoknya so sweet, kayaknya serius deh! Ini tempat umum, tapi dia, nggak malu loh!" Seseorang yang berada tak jauh dari tempat duduk mereka, berseru. Manika hanya tersenyum sambil mengangguk kearah orang tersebut.
"Bangunlah, duduk sini! Malu tau dilihat orang!" Pinta Manika.
"Tidak mau, sebelum, kamu jawab!" tolak Erick tegas.
"Kamu, gila yah!"
"Iya, aku, gila karenamu."
"Ayolah bangun!"
"Jawab dulu."
Manika tak tahu harus berkata apa. Sementara Erick masih tetap berlutut. Orang-orang mulai banyak yang memerhatikan mereka. Begitu tahu kalau laki-laki itu ,sedang berlutut sambil memegang kotak cincin. Mereka pun berseru.
"Kak, terima saja!"
"Iya, Kak, kasihan kelamaan berlutut,"
"Hai gadis cantik! Dia benar-benar menyukaimu." ucap lelaki setengah baya, yang kebetulan lewat.
"Iya, Dek, lelaki ini serius, mencintaimu, apakah, kamu, tidak menyukainya?" Manika tak mampu menjawabnya, hanya terdiam mematung.
"Sudah, Mbak, tinggal ajukan syaratnya. Sepertinya dia serius banget,"
Masih banyak lagi, orang-orang yang bicara. Manika semakin bingung. Tiba-tiba saja seseorang datang langsung merebut kotak cincin yang di pegang Erick.
"Kamu!' Erick berang. Begitu tahu siapa orang yang berani, mengambil kotak cincin dari tangannya.
Manika hanya diam mematung. Menyaksikan adegan layaknya drama, di depan matanya. Terdengar pertengkaran antara Erick dan perempuan itu.
Perempuan itu mendekati Manika, Betapa kagetnya dia. Setelah perempuan itu membuka maskernya. Belum hilang rasa terkejutnya. Perempuan itu berkata tepat di depan Manika.
"Sudah berapa kali diajak tidur sama Erick? Nggak nyangka yah, orang pake kerudung, bisa jadi pelakor," Kata-kata pedas dan tegas meluncur dengan mulusnya, dari bibir perempuan itu.
Darah Manika mendidih, mendengar kata-kata kotor yang ditujukan padanya. Tangan perempuan itu hendak membuka masker Manika dengan paksa. Untung saja ia dengan sigap menangkap tangan itu, dan mencengkeramnya kuat.
"Dengar ya, Mbak? Aku bukan perempuan murahan sepertimu, yang sudah berkali-kali ditiduri banyak lelaki. Kalau saja aku tahu Erick pernah menjadi mangsamu. Tak sudi aku mengenalnya, paham!" Manika melepaskan tangan perempuan itu, sambil mendorongnya dengan kasar, membuatnya hampir terjatuh.
Erick mendekati Manika. Namun gadis itu bersuara dengan lantang. "Jangan pernah dekati aku lagi! Aku bukan perempuan seperti dia, yang mudah kau ajak tidur. Kau tahu? Dia punya suami dan anak di Indonesia!"
Setelah berkata Manika pun melangkah pergi dengan langkah cepatnya. Erick berusaha menjelaskan bahwa ia dan perempuan itu sudah tak ada hubungan, karena perempuan itu mengkhianatinya.
Namun Manika, sedikitpun tak peduli. Gadis itu tetap melangkah pergi, membawa rasa perih di hati.
Ditahannya sekuat tenaga, agar airmata tak sampai keluar. Tetapi gagal, dengan derasnya meluncur bebas, seiring rasa sakit di dadanya, bagai terhujani ribuan mata pedang. Menembus tepat di jantung hatinya.
Erick tak bisa berbuat apa-apa. Dia sudah berusaha mencegah Manika pergi. Namun sepertinya gadis itu sangat marah. Membuatnya jadi frustasi.
Perempuan itu mendekati Erick. Dengan cepat Erick merebut kotak cincinnya kembali, sambi berkata ketus padanya. "Ternyata, kamu punya suami dan anak yah, hebat bisa berganti laki-laki sesuka hatimu. Sungguh betapa bodohnya aku, terperdaya oleh perempuan murahan sepertimu."
Selesai berkata, Erick bergegas pergi. Tak peduli lagi dengan perempuan itu, yang terus saja. Memanggil-manggil namanya. Ia langsung berlari sekencang mungkin untuk menghindar.
Tinggallah perempuan itu sendiri.
Orang-orang menatapnya penuh ejekan. Namun perempuan itu tak peduli, akhirnya ia pun pergi dari tempat itu, menghidari tatapan mengintimidasi.
***
Sementara, Manika sudah berada di dalam kereta. Berkali-kali gadis itu mengusap airmatanya. Hari ini baginya adalah hari paling menyakitkan. Bagaimana tidak. Ia mengetahui fakta bahwa Erick yang menyukainya, adalah pacar ibunya. Walaupun lelaki itu bilang sudah tak ada hubungan lagi, sejak dikhianati.
Sebenarnya Manika percaya pada Erick. Hati kecilnya mengatakan, dia lelaki yang baik juga jujur. Namun tidak mungkin Manika bisa menerimanya, sementara ia tahu. Lelaki itu pernah menjalin hubungan dengan ibunya.
Manika benar-benar terluka, merasa terhempas. Jauh ke dalam jurang kesedihan, kecewa, malu, sakit hati, dan masih banyak lagi, menjadi satu. Ia tidak menyalahkan Erick. Karena lelaki itu selama ini bersikap baik dan sopan terhadapnya.
'Masihkah ada surga, dari seorang ibu seperti ibuku?' Manika bertanya sendiri dalam hati. Kenyataan yang baru saja terjadi, membuatnya sulit menerimanya. Kata-kata kotor yang keluar dari sang ibu, terus terngiang di telinganya. Ia ingin meluapkan amarahnya. Namun segera sadar berkali-kali mengucapkan istighfar. Agar padam segala amarah yang menguasai jiwanya.
Jika orang lain yang mengatakan. Mungkin sakitnya tak sampai membuat Manika merasa terhempas. Tapi ini orang yang melahirkannya ke dunia. Kembali Manika beristighfar, dan berzikir memohon kekuatan dari yang mahakuat.
'Ya Allah, adakah sebutan durhaka untuk orang tua? Atau sebutan itu hanya pantas tersemat pada seorang anak?' Manika kembali menghapus airmatanya.
Bersambung.