Chereads / FINDING MOM / Chapter 15 - TERTAMPAR

Chapter 15 - TERTAMPAR

Part 14 Tertampar

Bayangan wajah Erick dan Andrew. Masih menari di dalam benak Manika. Keduanya silih berganti dengan senyumnya masing-masing. Dua karakter yang berbeda, memiliki persona tersendiri.

Kedua pria yang berbeda, baik secara fisik mau pun kepribadian. Erick yang dewasa, dan lebih suka to the point. Sementara Andrew, memiliki sifat humoris, teman ngobrol yang menyenangkan.

"Nona! Mau, naik tidak?" tegur orang di belakang Manika. membuat gadis itu tersentak. Ia pun meminta maaf dan langsung naik bis yang sudah datang.

Tak lama kemudian, bis nomor 284 pun meluncur membawa Manika menuju. Belair Garden, rumah sang majikan.

Tak sampai sepuluh menit, hanya dua pemberhentian. Manika turun, langsung jalan melewati jembatan penyeberangan orang.

Sesampainya di rumah, sang majikan sudah pergi keluar. Bergegas membereskan dapur, mencuci piring yang sudah di tumpuk. Selesai membereskan dapur dan ruang tamu yang berantakan, kemudian, Manika segera membersihkan diri.

Manika menelepon keluarganya, di kampung melalui panggilan video. Kebahagiaan nampak terpancar, tatkala bisa melihat ayah, ibu sambung, dan adiknya. Ia sangat bersyukur, melihat sang ayah terlihat bahagia, dan nampak terawat, lebih bersih dan segar.

"Mah, terima kasih sudah merawat, Bapak, dengan baik," ucap Manika pada Mustika ibu sambungnya. Ia mengikuti anak Mustika memangginya dengan sebutan mamah.

"Ngomong apa sih, Nik, Bapakmu, bisa merawat dirinya sendiri kok."

"Tapi, Bapak, sekarang terlihat lebih muda, karena terawat dan tambah ganteng." Manika tertawa, begitu pun dengan Mustika dan Bayu.

"Kamu, bisa saja, Nduk," ucap Bayu, ayahnya.

"Beneran loh, Pak, Nika, nggak bohong."

"Bapakmu, langsung mengembang, Nik, dipuji," ucap Mustika.

Mereka kembali tertawa secara berbarengan. Manika benar-benar bahagia. Melihat sang bapak, akhirnya bisa memiliki pendamping terbaik, dan tulus menerimanya.

***

Hari demi hari terlewati. Hati Manika semakin galau. Mana kala kedua lelaki yang menyukainya mengajaknya bertemu. Andrew berulang kali menelepon, memohon minggu nanti ingin bertemu. Katanya ada hal penting yang ingin disampaikan secara langsung.

Sementara Erick pun ingin sekali mengajaknya bertemu. Manika pun meminta saran dari kedua sahabatnya. Menceritakan semua kegalauan hatinya. "Gimana, nih? Aku pusing banget," keluhnya pada Tyas dan Ayuni.

"Duh, yang laku, laku banget, sampai bingung mau milih, yang gak laku bingung juga akunya." Sambil tertawa Ayuni mengucapkan kata, candaan.

"Jangan ngomong gitu, Ay, jodoh nggak ada yang tahu. Semoga saja sebentar lagi jodohmu akan terlihat." Tyas membalas ucapan Ayuni.

"Kayak hilal aja terlihat. Terus sidang isbat pun diputuskan," gerutu Ayuni.

Tyas dan Manika pun tertawa, mendengar Ayuni yang menggerutu. Mereka bertiga memang tak ada rahasia. Jika saat ini Ayuni belum ada kekasih, bukan berarti dia tak menarik. Justru waktu masih di kampung, dialah primadonanya dari mereka bertiga. Karena Ayuni seorang penyanyi. Sering tampil di acara hajatan selain nyanyi di cafe.

"Gini aja, Nik, dari pada bingung, temui aja keduanya," Ayuni memberi saran.

"Gila! Saranmu itu bikin orang saling cemburu tahu! Iya kalau nggak adu jotos!" Seru Tyas, yang tak setuju dengan saran Ayuni.

"Yeh, aku, kan nggak bilang temui keduanya, dalam waktu bersamaan."

"Lah terus, satu persatu gitu?" Manika yang dari tadi jadi pendengar pun bersuara.

"Iya, Nik, sekali dayung dua Pulau terlewati." Ayuni menerangkan.

"Jiah, pakai pribahasa segala, sudah seperti penyair, tapi boleh juga usulmu, Ay," balas Manika.

"Boleh tuh, setuju! pagi sampai siang. Ketemu yang satu. Setelah itu baru deh satunya," sambung Tyas.

Manika berpikir, memertimbangkan usulan sahabatnya.

Akhirnya ia pun mengambil keputusan. "Okelah, aku, coba ngomong sama mereka," ucapnya.

"Nah gitu, ingat! Jangan mau diajak berduaan di ruangan tertutup. Nanti ada setan!" Ayuni berkata mengingatkan.

"Iya bener itu," imbuh Tyas.

"Kamu, juga Yas, bukannya mau ketemu cuma berdua sama, Thoriq?" Sekali lagi Ayuni mengingatkan sahabatnya.

"Yeh, siapa bilang aku mau ketemu Thoriq sendirian. Kamu harus ikut, dia ngajak sarapan bareng, di kantin masjid Wan Chai."

"Aku, jadi nyamuk dong, di antara double T, Tyas dan Thoriq," seloroh Ayuni.

"Double T, mau kencan, berarti yang ketiga adalah ….?" Manika tertawa tak meneruskan kalimatnya.

"Kenapa nggak di terusin tuh kalimat? Aku jadi setannya!" gerutu Ayuni kesal. Tyas dan Manika pun tertawa.

"Ya udah deh, aku mau nelpon Andrew sama Erick." Manika pun mengakhiri panggilan teleponnya.

***

Hari minggu pun tiba. Sesuai rencana Manika hendak menemui Andrew terlebih dahulu. Gadis itu pun menuju ke tempat janji bertemu. Harbour City Tsim Sha Tsui.

Setibanya di sana, Manika menghubungi, Andrew. Namun tak ada jawaban. Menunggu beberapa menit. Kembali menghubunginya, tetap tak ada respon.

Manika masih bersabar. Waktu menunjukkan sudah hampir jam sembilan. Namun orang yang mengajak bertemu. Belum juga menampakan batang hidungnya.

Gagis itu mulai kesal, karena ponsel Andrew tak bisa di hubungi. Ia pun memutuskan menunggu sampai jam sembilan. Kalau tak ada kabar juga, maka dirinya akan pergi.

Tepat jam sembilan. Ketika Manika hendak melangkah, ponselnya berdering. Ternyata Andrew memberi kabar. Tak bisa menemuinya saat ini. Karena ada urusan mendadak. Lelaki itu meminta bertemu jam makan siang. Tetapi Manika yang sudah terlanjur janji dengan Erick pun tak bisa menyanggupi. Akhirnya Manika memberi jawaban. Minggu depannya lagi ketemunya. Andrew pun mau tak mau akhirnya setuju.

Manika berjalan ke arah masjid. Ingin melakukan shalat dhuha. Karena masih pagi masjid belum terlalu ramai. Bergegas menuju tempat wudhu. Setelah selesai ia pun menuju ruang shalat khusus wanita.

Baru saja beberapa anak tangga kakinya berjalan naik. Seseorang bersuara. "Assalamu'alaikum, Sister, this is yours?" Seorang lelaki berwajah Timur Tengah, menyapa dengan memerlihatkan sepasang sarung tangan rajut miliknya. Ia baru ingat tadi meletaknya di dekat rak, saat dirinya menyimpan sepatunya.

"Walaikum salam, oh yeah, that is mine." Manika kembali turun untuk mengambil sarung tangannya. Tak lupa mengucapkan terima kasih.

Saat hendak berbalik lelaki itu berkata. "Wait! I have something for you!"

Manika pun berhenti. Sementara lelaki itu masuk ke ruangan dalam masjid. Tak lama kemudian, dia datang membawa sesuatu dalam bungkusan plastik. Memberikannya pada Manika.

"Hope, you'll like it," ucap lelaki itu ramah.

"What is this, Brother?" tanya Manika sopan.

"Just a little thing," jawab lelaki itu.

"Thank you," ucap Manika.

Manika menatap lelaki itu sesaat. Namun buru-buru mengalihkan pandangan. Lelaki itu tersenyum, sempat tertangkap oleh Manika, sebelum beralih. Gadis itu pamit hendak ke ruang shalat.

***

Setelah selesai melaksanakan hajatnya. Manika meletakkan kembali mukena dan sajadah pada tempatnya. Ia penasaran, dengan pemberian lelaki yang baru saja dilihatnya. Segera membuka bungkusan itu. Sesaat gadis itu tertegun. Memandangi sebuah kerudung, buatan dari Negara Turki.

Kerudung instant berwarna lembut, bergambar bunga, yang ia sukai. Tiba-tiba hatinya serasa tertampar. Rasa malu menjalar menyelimuti hatinya.

Selama ini orang selalu memuji rambutnya. Yang hitam mengkilat, lurus dan tebal. Bulir bening terjun bebas dari kedua iris matanya.

Entah berapa lama Manika termenung. Tiba-tiba bayangan lelaki yang tak dikenalnya melintas. Sang pemberi kerudung, dengan senyum menghias digaris wajahnya yang tampan. Gadis itu pun berandai.

'Andai saja lelaki itu, yang telah menampar hatinya. Menjadi im ….' Manika cepat-cepat tersadar, sebelum kata hatinya selesai berkata. Ia menggelengkan kepalanya. Sambil beristighfar. Mohon ampun dari sang pencipta. Karena telah lancang mendahului sang pemilik kehidupan.

Manika mengenakan kerudung pemberian itu. Mengambil cermin dari dalam tasnya. Melihat dirinya dalam pantulan cermin kecil. Ia tersenyum sendiri.

Baru jam sepuluh lebih. Menunggu waktu dzuhur masih lama. Akhirnya Manika memutuskan untuk keluar dari masjid. Entah mengapa hatinya menginginkan bisa bertemu kembali dengan sang pemberi kerudung yang kini telah terpakai dengan cantiknya menutupi rambutnya.

Ternyata lelaki itu tak terlihat. Walau kecewa. Manika tetap bersyukur, lagi-lagi dipertemukan dengan orang baik.

Ia pun melangkah keluar dari masjid.

Berjalan-jalan sendiri ke pertokoan, singgah di sebuah toko yang menjual tas, dan dompet, untuk pria dan wanita, merek cukup terkenal di Hongkong, walau belum mendunia.

Manika tertarik dengan model tas juga dompet dengan corak senada, warna lembut kesukaannya. Akhirnya ia pun membeli keduanya. Setelah membayar dengan kartu ATM, ia pun kembali melanjutkan perjalanannya.

***

Manika mengirim pesan pada Erick. Memberitahu kalau urusannya sudah selesai. Juga bertanya jam berapa dan

di mana bisa bertemu. Tak lama kemudian. Lelaki itu pun membalasnya. Mengajaknya bertemu di Tsuen Wan.

Manika pun segera menuju ke Tsuen Wan. Ketika sedang berjalan menuju ruang tunggu kereta, secara tak sengaja bertabrakan, dengan seseorang.

Manika langsung meminta maaf, begitu pun dengan seorang wanita cantik yang bertabrakan dengannya.

"Are you, alright sister?" tanya perempuan cantik, pemilik bulu mata lentik yang indah nampak memesona, ia saja sebagai perempuan terpesona dengan keindahan wajahnya, bagaimana dengan kaum Adam. Manika tersadar buru-buru menjawab.

"I'm, alright."

"Nice to meet you, sis, where do you come from?" tanya perempuan itu lagi.

"I'm from Indonesia, how about, you?" tanya Manika balik.

"I'm from Venezuela, but, my husband, from Palestine."

"Alhamdulillah, your husband, must love you so much."

Perempuan itu tersenyum mendengar ucapan manika, terlihat dari garis sudut matanya.

Ia kembali bertanya pada Manika.

"May, I know, what's your name?"

"My name is, Manika, how about you?"

"My name is, Zelia, are you married?"

"Not yet."

Keduanya menghentikan obrolan ketika kereta datang, mereka masuk bersama. Saat berada di dalam kereta, Zelia meminta nomor telepon Manika. Ia ingin berteman dengannya, karena ia menganggap, Manika enak diajak ngobrol, akhirnya mereka saling bertukar nomor telepon.

Zelia turun di stasiun Kwai Hing, sementara Manika masih beberapa stasiun lagi, untuk sampai di stasiun terakhir jalur merah, Tsuen Wan.

Kereta kembali melaju, penumpang semakin berkurang. Manika melihat ponselnya, beberapa pesan dari Erick, yang menanyakan posisinya.

Lelaki itu pasti khawatir, takut Manika tak jadi menemuinya. Padahal gadis itu tipe orang yang tidak suka mengingkari janji.

Sebisa mungkin Manika berusaha untuk selalu menepati janji. Ia sendiri paling tidak suka, dengan orang yang suka ingkar dan tidak jujur.

Ponsel Manika berbunyi, ternyata panggilan dari Erick.

"Nik, kamu sudah di mana?" tanya Erick khawatir.

"Dua stasiun lagi sampai."

"Oh, oke, aku tunggu di pintu B yah!"

"Oke."

Panggilan pun berakhir, menikmati perjalanan seorang diri. Membuatnya termenung. Memikirkan jawaban apa yang akan ia berikan pada Erick. Tentunya lelaki itu meminta jawaban kepastian darinya. Semakin dipikirkan, semakin membuatnya pusing.

Manika menghirup nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia harus memiliki jawaban untuk lelaki itu. Berdoa dalam hati, meminta petunjuk pada yang mahakuasa.

Dengan langkah cepat, ia keluar dari kereta, menaiki eskalator menuju ke atas, sesampainya di sana mengedarkan pandangan kearah panah penunjuk jalan, mencari pintu keluar B.

Bersambung.