Part 8 Tanda Lahir
Manika bergegas keluar. Pandangannya menyapu, setiap sudut ruangan di dalam restaurant itu. Sampai akhirnya iris netranya, menangkap sosok yang wajahnya, mirip dengan sang ibu. Berada di meja paling ujung. Bersama seorang laki-laki.
"Kakak, mau kemana?" Seru sang majikan. Ketika melihat Manika hendak berjalan melewati mereka.
"Eh Maaf, itu ada temanku, Mau ke sana sebentar boleh?" Jari Manika menunjuk ke arah meja paling ujung.
"Ya sudah, tapi jangan lama-lama,"
"Iya, cuma sebentar," ucap Manika, yang langsung berjalan kearah meja di mana perempuan yang mirip ibunya berada. Ia hanya ingin memastikan. Apakah dia ibu kandungnya, atau hanya kebetulan mirip.
Dari pada penasaran pikir Manika, lebih baik cari tahu. Ketika sampai di depan perempuan itu, ia pun berkata.
"Maaf, Mbak, kalau saya mengganggu. Boleh minta tolong, kirimkan pesan ke nomor ini? saya lupa bawa hp, padahal sudah janji mau menelepon. Takutnya teman saya dari tadi sudah menghubungi saya." Manika menyodorkan kertas berisi nomor telepon.
"Oh ya, ini kamu ngetik sendiri saja." Perempuan itu menyodorkan ponselnya, pada Manika tanpa curiga.
Manika segera mengetik pesan, langsung mengirimnya. Setelah terkirim, ia pun mengembalikan ponsel tersebut.
"Ini, Mbak, terima kasih banyak yah," ucap Manika.
Perempuan itu mengecek ponselnya lalu berkata pada Manika.
"Sudah centang dua tuh berarti sudah terkirim,"
"Sekali lagi terima kasih ya, Mbak, siapa yah namanya?" tanya Manika.
"Panggil saja Lala, kamu sendiri?"
"Saya Niki, Mbak. ya sudah saya permisi dulu, di tunggu sama boss soalnya. Oya kalau nanti teman saya membalas, bilang saja, apa adanya." Sebelum pergi Manika meminta maaf pada lelaki di sebelah Lala. Karena telah mengganggu waktu mereka.
Lelaki yang terlihat lebih tua, dari bapaknya. Tersenyum ramah padanya. Dalam hati Manika bertanya-tanya, mungkinkah lelaki itu pacarnya Lala.
Sekali lagi Manika melihat ke arah perempuan yang mengaku bernama Lala. Kembali menyampaikan terima kasih. Senyum ramah pun ia sunggingkan. Walau tak terlihat karena memakai masker.
Ada bara didadanya. Berkali-kali melafalkan istighfar dalam hati. Agar padam sekam yang terpendam. Ia berjalan sebiasa mungkin, menuju meja keluarga majikannya.
Manika kembali bergabung dengan keluarga sang majikan, ternyata hidangan telah siap di meja. Andai saja tidak bertemu Lala mungkin ia bisa makan dengan lahap.
"Kakak, cepatlah makan nanti dingin nggak enak!" titah majikan perempuan pada Manika.
"Iya baiklah," jawab Manika.
Manika pun langsung makan bersama. Sesekali Cristal dan Bryan sang adik, saling bercanda. Suasana yang hangat, dengan hidangan lezat. Tak mampu membuat nafsu makan Manika meningkat. Walau tersiksa. Namun sebisa mungkin ia habiskan makanannya.
Selesai makan, Manika minta ijin pulang mendahului mereka. Karena ia tak ingin ikut jalan-jalan bersama. Sang majikan pun mengerti. Apa lagi besok adalah hari liburnya.
Saat keluar dari restaurant. Manika melihat ke arah meja Lala. Ternyata sudah tidak ada. Meja bekas mereka makan. Sedang di bereskan oleh pelayan.
Berjalan kaki dengan tergesa-gesa. Manika ingin cepat sampai di rumah. Dengan napas terengah, ia sampai di depan pintu lift. Tak perlu menunggu lama. Lift pun terbuka, karena ada orang yang turun.
Ketika sampai di lantai 21, Manika bergegas membuka pintu apartment. Ia langsung menuju ke kamarnya.
Perasaan Manika tak menentu. Ia yakin Lala adalah ibunya. Kendati bertahun-tahun lamanya berpisah. Namun ia masih bisa mengenalinnya.
Tanda lahir berupa toh hitam di punggung tangan kanannya. juga tahi lalat di pipi, sudah membuktikan. Wajah bisa saja mirip. Tapi dua tanda lahir apa mungkin bisa sama. Begitu yang ada dalam pikiran gadis itu.
Dibukanya ponsel yang sedari tadi di simpan dalam jaketnya. Ia tersenyum telah mendapatkan nomor ponsel Lala. Sandiwaranya berhasil Saat minta tolong kirim pesan. Padahal itu terkirim ke nomor Manika sendiri.
Untungnya kemana pun Manika pergi. Selalu membawa kertas catatan nomor-nomor penting. Untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa terjadi di luar. Misalnya kecopetan atau ponsel hilang.
[Niki, kamu ganti nomor?] pesan teks Manika melalui aplikasi hijau terkirim ke nomor Lala.
Tak lama kemudian terlihat kalau Lala sedang mengetik.
[Maaf, Mbak, tadi Niki pinjam hp saya, karena dia nggak bawa hp, kebetulan tadi ketemu di restaurant] balasan dari Lala.
[Oh gitu ya Mbak, apa Niki masih di restaurant?]
[Tadi waktu saya keluar dari restaurant, Niki baru makan, sama majikan sekeluarga]
[Ya sudah terima kasih ya, Mbak] balas Manika.
[Iya nggak papa]
Manika tak mau membalasnya lagi. Dilihatnya pesan yang masuk begitu banyak. Juga beberapa kali panggilan tak terjawab. Ia bergeming.
Kembali hatinya terasa sakit. Walau rasa itu telah lama ia rasakan. Namun kali ini, benar-benar berlipat-lipat dari sebelumnya. Baru saja Ia melihat sendiri di depan mata. Penampilan ibunya, benar-benar seperti yang di ceritakan oleh teman bapaknya.
Indahnya masa kecilnya dahulu. menari-nari dalam ingatannya. Bagai sebuah film yang sedang diputar. Sangat jelas, seperti baru saja berlalu. Menambah kepiluan dalam kalbu.
Terlintas Wajah bapaknya. Lelaki setia yang terkhianati sedemikian rupa. Bertahun-tahun tetap bertahan. Karena cinta dan janjinya pada kesetiaan. Yang akhirnya terlupakan.
Terbayang dalam benak Manika. Sang ibu yang terlihat awet muda. Tentu saja ia pasti sangat menjaga kecantikan fisiknya. Dengan skincare yang mahal. Agar tetap terlihat cantik, dan menarik hati setiap laki-laki.
Pantas saja dia lupa. Pada suami, anak dan keluarga. Hidupnya bak sosialita. Penampilan glamour tak kalah dengan selebriti dunia.
Tiba-tiba Manika merasa muak. Membayangkan berapa banyak. Lelaki yang sudah berhasil meniduri ibunya. Sudah tentu puluhan bahkan, bisa jadi ratusan. Semakin membayangkan, Kebencian semakin dalam.
Gadis itu tak sanggup, menerima kenyataan. Kalau dia terlahir dari seorang perempuan murahan. Yang begitu mudahnya terlena dengan kehidupan fana.
Tenggelam dalam kehidupan bebas. Demi memuaskan hasrat dan nafsu. Yang tak akan pernah terpuaskan. Menikmati kenikmatan sesaat. Tanpa berpikir kalau ia akan menuai dan renta. Sama sekali tak ingat pada sang pencipta. Hingga tak mengenal kata dosa.
Andai boleh memilih, ia tak ingin dilahirkan oleh wanita itu. Yang bergelar seorang ibu, yang lalai pada tanggung jawabnya. Hanya memikirkan diri sendiri. Namun takdir telah tertulis tak mungkin terhapus selamanya, hingga akhir dunia.
Bulan menghiasi langit malam dengan cahaya terangnya, bintang gemintang tak mau kalah memperlihatkan keindahan kerlipnya.
Namun semua tak mampu mengusir kegalauan hati Manika. Walau jendela kamar terbuka, pemandangan langit yang cerah, keindahannya terpampang di depan mata.
Ada luka tak terkatakan. Sakit tak terlawan. Namun airmata nampaknya enggan keluar. Padahal kesedihan sangat mendalam. Tangisan hanya mampu tertahan, entah mengapa semua tak bisa ia tumpahkan. Tiba-tiba hati terasa membeku bagaikan patung batu nan bisu.
Untuk beberapa saat Manika hanya diam mematung. Mencoba melerai kepedihan hatinya. Namun betapa sulitnya. Berdamai dengan jalan hidup yang telah digariskan untuknya.
Sejenak gadis itu menarik napas dalam-dalam. Ia pun tersadar belum menunaikan kewajibannya. Bergegas ke kamar mandi. Untuk berwudlu dan melaksanakan shalat.
Tangis Manika akhirnya pecah. Di atas sajadah. Setelah bermunajat, kepada sang khalik. Entah berapa lama. Berhenti karena merasa lelah.
Bersambung