Part 4 Bertemu Erick
"Yas, kamu kok pengin tau banget, si korban penusukan yang di Tsim Sha Tsui itu. Emang siapa sih dia?" Sari teman Tyas bertanya dengan penasaran.
"Aku cuma ingin memastikan. Apakah dia itu tetanggaku atau bukan," jawab Tyas.
"Ooh, gitu, kalau nyemperin ke rumah sakit, udah pasti gak boleh yah, apa lagi kasus seperti itu, wong yang opname karena sakit biasa aja gak boleh di bezuk, iya kan?" tutur Sari.
"Iya makanya aku bingung, palingan nunggu kabar dari berita, itu pun kalau di jelaskan dengan detil, nama dan alamat orang itu," gumam Tyas.
"Ya udahlah tunggu aja beritanya, udah jam sembilan lebih loh, aku jalan dulu yah," Sari berpamitan.
"Mau naik apa?" tanya Tyas.
"Teng-teng ajalah yang murah, kamu mah enak tinggal jalan kaki deket," ucap Sari.
Tyas mengantar Sari sampai naik ke teng-teng jurusan Kennedy town, sementara ia pun bergegas pulang dengan berjalan kaki, kebetulan tempat tinggalnya dekat di daerah Wan Chai.
Ketika sedang istirahat, Tyas membuka aplikasi Facebook, ada sebuah postingan di group para perantau yang ada di Hongkong, menarik perhatiannya. Dengan seksama ia mengamati, photo dalam unggahan tersebut, hatinya lega, terjawab sudah sosok Larasati yang menjadi korban penusukan bukanlah ibu dari sahabatnya.meskipun berasal dari daerah yang sama, namun usianya baru 26 tahun, sementara ibunya Manika sudah berumur sekitar 45 tahun.
Tyas segera memberi kabar tersebut melalui pesan pada Manika juga Ayuni, meski tak ada balasan dari keduanya, namun ia sangat lega, karena tak perlu menunggu sampai besok, sehingga bisa tidur nyenyak, tanpa rasa penasaran lagi.
Manika yang baru selesai menemani kedua anak asuhnya, kembali ke kamar, langsung membuka ponselnya, membaca pesan dari Tyas, raut wajahnya nampak datar tanpa ekspresi. Ia pun tak ingin membalasnya.
Malam semakin larut, sisa-sisa musim dingin masih terasa, Manika menarik selimutnya, berharap cepat bisa terlelap, namun sepertinya rasa kantuk enggan menghampiri, pikirannya melayang ke masa silam, saat terakhir melihat wajah ibunya.
"Ibu, mau kemana?" tanya Manika kecil ketika itu, saat ibunya hendak pergi membawa tas pakaian.
"Sayang, Ibu, mau kerja cari duit yang banyak. Kamu, baik-baik di rumah, nurut sama Bapak yah!" Ucap Larasati kala itu.
"Nggak lama kan perginya, Bu?" tanya Manika lagi.
"Nggak sayang, nanti kalau Ibu sudah dapat duit banyak pasti pulang kok," tuturnya.
"Janji ya, Bu, cepet pulang!" Manika kembali berkata pada ibunya.
"Iya Ibu, janji." Larasati menunjukan jari kelingkingnya dan menyatukan dengan milik Manika.
Ponsel Manika bergetar, ada panggilan masuk, membuat lamunan tentang ibunya buyar. Cepat-cepat ia mengusap air matanya, dan menjawab panggilan dari Tyas.
"Nik, belum tidur kan?" tanya Tyas.
"Ini udah mau tidur," jawabnya.
"Kamu baik aja kan?" Ucap Tyas khawatir.
"Aku nggak apa-apa, percaya deh," tutur Manika meyakinkan sahabatnya.
"Jangan terlalu banyak pikiran, jaga kesehatan. Ini di kampung orang, jauh dari keluarga, jadi harus kuat menghadapi apa pun. Soal Ibumu aku yakin. Entah kapan waktunya pasti ketemu. Udah sekarang istirahat. Kalau nggak bisa tidur, dengerin aja murotal nanti lama-lama juga ngantuk." Tutur Tyas panjang lebar.
"Iya, Yas, makasih yah," hanya itu yang mampu Manika ucapkan.
"Tidurlah, besok sambung lagi"
"Oke," balas Manika.
Setelah saling mengucap salam mereka pun mengakhiri obrolan di telepon. Manika segera mematikan data selulernya, dan mulai memutar lantunan murotal. Seperti yang di sarankan oleh Tyas. Hatinya menjadi lebih tenang, lama kelamaan ia pun terlelap.
Pagi hari setelah sarapan. Manika mengantar kedua anak asuhnya ke sekolah, dengan berjalan kaki, karena jarak sekolahan cukup dekat dari rumah.
Manika bersyukur bisa cepat beradaptasi, dan bisa mengatur waktu, dari antar makan siang kesekolahan, bersih-bersih, jemput sekolah, menemani anak-anak mengerjakan PR, antar jemput les, dan masak untuk makan malam.
Itulah rutinitas sehari-hari Manika, namun ia senang mengerjakan semuanya. Karena keluarga majikan sangat baik padanya.
*****
Tak terasa waktu cepat berlalu, setengah tahun sudah Manika bekerja, komunikasi dengan bapaknya terjaga dengan baik, juga ibu dan adik tirinya.
Tiap bulan tak lupa mengirimkan uang untuk keluarganya. Apa lagi ibu sambungnya sendang mengandung calon adiknya. Manika tak sabar ingin melihat wajah sang adik yang belum lahir.
Selama di Hongkong Manika belum pernah bertemu dengan sang ibu.
Padahal setiap minggu, ia selalu pergi ke tempat yang banyak di kunjungi warga Indonesia. Namun jejak Larasati, perempuan yang telah melahirkan dirinya belum terlihat.
Musim pandemi juga menjadi hambatan tersendiri. Karena semua orang memakai masker, jadi tak terlihat wajahnya secara ke seluruhan.
Hari libur kali ini Manika sendiri, tanpa di temani kedua sahabatnya, Tyas tidak libur, beberapa hari sebelumnya sudah memberitahu, karena ada acara makan-makan di rumah majikan. Sementara Ayuni baru saja menjalani vaksin, di sarankan untuk istirahat saja di rumah.
Manika menikmati sendiri hari liburnya. Di sekitaran tempat tinggalnya. Ia memilih duduk di area tepi sungai Shing Mun. melihat orang berlalu lalang, bersepeda. Banyak juga warga Indonesia yang menikmati libur dengan menyewa sepeda.
Hari beranjak siang, perut Manika sudah meronta minta jatah. Baru saja beberapa langkah, berniat mencari makanan. Tiba-tiba saja dikejutkan orang jatuh dari sepeda. Dengan sigap Manika membantu orang tersebut dan memungut botol air minum yang jatuh menggelinding. Hampir saja terlindas pengendara sepeda lain yang lewat.
"Anda tidak apa-apa?" tanya Manika sopan, pada pengendara sepeda itu, dalam bahasa kantonis. Salah satu bahasa cina, daerah Hongkong dan Macau yang menggunakan bahasa ini.
"Tidak apa-apa, terima kasih yah?" Jawab lelaki itu, sambil menerima botol air minumnya dari Manika.
"Lain kali hati-hati," ucap Manika.
"Kamu orang mana?" tanya lelaki itu.
"Saya, Indonesia," jawab Manika.
"Namaku Erick. Boleh tau siapa namamu?" lelaki yang mengaku bernama Erick itu, kembali bertanya.
"Nama saya Manika." Jawabnya sambil tersenyum.
"Manika?" tanya Eric lagi.
"Iya, panggil saja Nik atau Nika bisa juga Niki," ucap Manika lagi.
"Boleh minta nomor teleponmu?" Erick berkata sambil mengambil ponselnya dari tas kecil yang menggantung di stang sepedanya.
Sejenak Manika berpikir. Akhirnya ia menyebutkan nomor ponselnya. Erick dengan sigap mencatatnya, dan langsung melakukan panggilan. Untuk membuktikan bahwa itu benar nomor gadis yang ada di depannya. Manika pun memperlihatkan ponselnya pada Erick, lelaki itu tersenyum.
"Maaf boleh buka maskermu sebentar, biar aku bisa melihat wajahmu, kan bisa saling kenal," pinta Erick.
Manika pun melepas maskernya dan tersenyum, Eric sendiri tidak memakai masker karena sedang berolah raga.
Setelah mengucapkan terima kasih, Erick pun pamit. Sebelum pergi ia menatap Manika. Untuk beberapa saat mereka saling perpandangan, ketika sadar keduanya jadi salah tingkah dan tersipu.
Siapa Erick? Ikuti kisah selanjutnya.
Bersambung.