Setelah memandikan dan memberi sarapan buat adik-adik, Indah mulai bersiap pergi ke sekolah mereka. Dan sarapan kali ini Indah membeli bubur ayam kesukaan Lucky. Ia makan sangat lahap dan sangat tergesa-gesa. Sudah tidak sabar pergi ke sekolah.
Setelah semua siap, Indah dan adik-adiknya berangkat. Tak tanggung-tanggung, mereka menaiki taksi online. Lucky yang paling suka naik mobil tak berhenti berceloteh. Apalagi, jika mobil yang dinaikinya sangat bagus seperti yang ia tumpangi saat ini. Dalam hati, Indah tak henti-hentinya bersyukur karena mendapat kenikmatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sekolah pertama yang ia kunjungi adalah sekolahnya Lucky. Di sana, Indah melunasi semua tanggungan uang sekolah Lucky. Sebenarnya, Ibunya tak ingin memasukkan Lucky ke paud. Tapi, berhubung Lucky anaknya sangat aktif dan suka bersosialisasi, maka tak ada pilihan lain bagi Bu Aminah untuk memasukkan Lucky ke Paud.
Dan Indah, sangat bersemangat hari ini. Memang, bagi Tuhan apa yang tidak bisa. Kalau sudah menjadi kehendakaNya, maka semua akan mudah. Lihatlah, betapa kemarin ia masih terlunta-lunta dan pusing memikirkan biaya kehidupan keluarganya. Sekarang, semua masalah sudah beres begitu saja. Memang, Allah Maha Baik dan Penyayang hambaNya. Indah mengambil nafas panjang, mencoba untuk selalu menghadirkan rasa syukurnya, di setiap detak jantungnya.
"Sudah ya, sekarang Lucky sekolah dulu. Nanti Kakak jemput dan kita akan beli tas, sepatu, dan apapun yang kau mau. Ok."
"Asik. Beli baju karakter boleh?"
Indah mengangguk. Lucky tersenyum senang, "Hore, Sekarang Kakak sudah punya banyak uang."
"Sudah ya," Indah dan Sendy serta Bibah melambaikan tangan. Kali ini, Indah menuju kantor sekolahnya Bibah tak jauh dari kantor Paudnya Lucky.
"Kak, tanggunganku mau dibayar juga?"
Indah mengangguk. Bibah tersenyum senang, "Asyik, bisa ambil rapot dong."
"Iya sayang."
"Aku seneng banget Kak."
"Iya, Alhamdulillah."
"Iya Kak. Alhamdulillah. Kakak hebat. Bisa punya uang banyak."
"Ini semua rezeki dari Allah. Kamu yang rajin sholat ya, dan selalu berdoa, semoga Allah selalu memberikan rezekinya untuk kita."
"Iya Kak."
*****
Vian dengan setengah sadar mulai membenamkan dirinya di bath up. Perlahan, bayangan tentang Indah melintas. Ia bingung. Bagaimana bisa ia membayangkan Indah. Pelan, ia memejamkan mata, mengambil nafas panjang. Kenapa ia bisa melihat senyum Indah dengan jelas. Sejak kapan ia suka membayangkan cewek. Apalagi cewek seperti Indah. Kenapa ia jadi suka membayangkannya. Apakah ini yang dinamakan cinta.
Deg! Tidak. Mana mungkin ia menyukai gadis jelek seperti itu. Tapi ia bingung. Tak tahu harus memikirkan apa. Tapi, pandangan mata itu benar-benar membuat jiwanya hacur. Begitu polos dan lugu. Apakah ini yang namanya rindu. Ah, selama ini, terlalu banyak wanita yang ia kerjai. Terlalu banyak cewek yang menunggu. Dan sekarang, kenapa ia malah seperti ingin menunggu Indah.
Tidak. Ia tak boleh jatuh cinta atau bahkan menyukai Indah. Ini bukan cinta. Ini hanya .... Ah, entahlah. Ia mendengus kesal. Tapi masalahnya, kenapa ia jadi sering membayangkan Indah. Ya, pertemuan kemarin malam itu, benar-benar aneh.
*****
Kini Indah sudah mengambil rapornya Bibah. Perjalanan dilanjut ke sekolah Sandy. Indah bersyukur, akhirnya rapotnya adik-adik bisa diambil juga. Ia benar-benar tak menyangka jika selama ini, mereka ta pernah ambi rapot. Sebelumnya, ia memang sering mendengar Ayah atau Ibu mengeluh soal tingginya biaya sekolah, tapi ia tak terlalu peduli. Tapi, melihat kondisi Ayah yang sedang sakit seperti saat ini, tak ada pilihan lain selain ia harus peduli bukan, apalagi ia anak pertama. Pikir Indah dalam hati.
"Sppnya dari kelas satu dulu belum ya Mbak," kata wanita berjilbab manis yang menjabat sebagai staf tata usaha di sekolah itu.
"Iya Bu, berapa semua?"
"Semua?" tanyanya heran.
"Iya Bu," Indah mengangguk mantap, mendekap ranselnya.
"Sebentar ya Mbak, saya hitung dulu," wanita itu mengambil kalkulator sambil membuka catatan lama.
"Tiga puluh ribu dikali dua belas dikali tiga. Semuanya satu juta delapan puluh ribu Mbak."
"Ini untuk sampai akhir tahun kelas tiga nanti ya Bu?"
"Iya Mbak," wanita itu tersenyum.
"Ini Bu," dengan cekatan Indah mengeluarkan uang.
"Terimakasih."
"Sama-sama."
"Anda Kakaknya ya."
"Iya Bu."
"Oh iya."
"Sekali lagi terimakasih ya Bu."
"Iya sama-sama."
Sandy berbinar. Ia benar-benar tak pernah membayangkan sebelumnya bisa mendapatkan kebahagiaan seperti ini. Ia lega, sekaligus sangat semangat. Entahlah, melihat rapotnya, membuat i merasa semakin semangat saja untuk belajar di sekolah. Ia ingin sekali belajar dengan rajin supaya menjadi anak yang pintar.
"E, sama, punyanya Dini Dino kelas lima A."
Wanita itu mengerutkan kening, bingung. Selama ini, keluarga ini memang selalu nunggak untuk masalah keuangan. Tapi, kalau bukan karena kebaikan Bu Kepala Sekolah, tentu mereka sudah tidak bisa bersekolah di tempat ini. Masalahnya, Bu Kepala Sekolah pernah ditolong Pak Muhammad, Ayah Indah saat beliau kecopetan.
"Iya, saya hitungkan lagi ya."
*****
Setelah itu Indah segera menjemput Lucky. Mereka segera pergi ke mall terbesar di kota ini. Tentu saja anak-anak sangat rusuh. Sandy, Lucky, Bibah, mulai memilih baju dan sepatu serta tas dan mainan apa saja yang mereka inginkan. Tak lupa juga snack kesukaan mereka.
Sesaat, Indah melihat Vian sekilas. Ia memperhatikan penglihatannya dan memastikan apakah itu benar-benar Vian. Ternyata, hanya mirip. Indah mengambil nafas panjang. Kenapa jadi sering terbayang-bayang Vian. Apakah ini cinta. Indah tersenyum sendiri. Entah kenapa, dimana-mana ia jadi sering melihat Vian.
"Kak, main Playground dulu yuk," seru Lucky.
Indah mengangguk. Membuat mereka berlarian seru, menuju tempat play ground.
Dalam hati, Indah benar-benar bersyukur. Karena ia telah mendapatkan nikmat tiada tara seperti ini.
*****
Setelah puas bermain, mereka segera pulang. Dini dan Dino terkejut saat mereka pulang. Terihat adik-adik yang lain sibuk dengan belanjaannya masing-masing.
"Ini rapot kalian."
"Ha. Jadi ngambilin rapot kita juga?"
Indah mengangguk. Dini berkaca-kaca. Ia segera mengambil raport itu dan memeriksanya. Masalahnya ini adalah pertama kalinya ia membuka rapot.
Indah tersenyum, menyerahkan raport yang lain pada Dino, "Nanti, kita belanja. Tapi kalian harus jaga adik-adik dulu ya. Kakak mau ke sekolah Kak Bela."
"Iya Kak, Kakak tenang saja. Kami pasti akan menjaga adik-adik dengan baik."
Indah tersenyum, "Bagus."
*****
Indah sudah selesai membayar semua tanggungan biaya sekolah Bela. Kini, ia tinggal mencari anak itu dimana.
"Em, permisi Ustadhah, bisakah saya bertemu dengan Bela?"
Seorang wanita berkacamata mengerutkan kening, mencoba mengingat anak yang bernama Bela.
"Bela siapa ya, di sini, banyak yang namanya Bela soalnya."
"Em, yang laundry ustadhah. Kebetulan dia kelas dua cuma sekarang sedang libur dan ia bantu-bantu di laundry."
"Oh, Bela PU itu?"
"PU?"
"Iya, pembantu umum."
Deg!