Chereads / Liebe Wand / Chapter 46 - TAMU SPESIAL

Chapter 46 - TAMU SPESIAL

"Permisi. Assalamualaikum," Bu Popi dan Pak Mario memasuki kamar rawat inap tempat Pak Muhammad dirawat.

"Waalaikumus Salaam ...," jawab Bu Aminah, "loh Bu Popi ...."

"Iya Bu, bagaimana kabarnya?" Bu Popi dan Pak Mario menyalami Bu Aminah dan Pak Muhammad.

"Alhamdulillah Bu, baik."

"Pak Muhammad, bagaimana keadaannya, sudah baikan?" tanya Pak Mario.

"Alhamdulillah sudah Pak, Bu," jawab Pak Muhammad, tersenyum.

"Alhamdulillah ...."

"Sudah terlihat mulai segar sekarang Bu."

"Alhamdulillah ...."

"Aduh, Bu Popi kok repot-repot ke sini," kata Bu Aminah.

"Ah, nggak repot kok Bu," kata Bu Popi.

"Bapak sudah baikan kan ya. Alhamdulillah," kata Pak Mario.

"Alhamdulillah Pak. Ini sudah mendingan, daripada kemarin-kemarin."

"Iya, yang penting dijaga terus Pak itu, pantangannya apa saja. Makanan apa saja yang tidak boleh dikonsumsi itu di jaga."

Mereka mulai ngobrol ngalur ngidul dan membicarakan banyak hal tentang penyakitnya Pak Muhammad. Dan bagi Pak Muhammad sekarang, kesehatan adalah segalanya baginya. Dan ia harus menjaga baik-baik kesehatannya itu. Supaya penyakitnya tidak kambuh. Dan ia juga bersyukur bisa mendapatkan perawatan yang cepat dan berangsur-angsur membaik di rumah sakit ini. Sehingga ia bisa mengetahui tentang kondisi kesehatan yang sebenarnya. Maka bisa mendapatkan informasi tentang kesehatan yang sebenarnya.

"Tapi Alhamdulillah, Indah bisa membantu biaya pengobatan Ayahnya," tukas Bu Aminah.

"Membantu biaya pengobatan, Indah rajin menabung ya?" tanya Bu Popi.

"Iya Bu. Jadi kalau dapat uang saku dari sekolah, pasti semuanya langsung ditransfer ke adiknya. Ya, untuk biaya hidup kita semua. Tapi, untuk biaya yang ini, katanya Indah dapat uang dari hasil membantu teman-temannya mengerjakan tugas Bu."

Deg!

Bu Popi dan Pak Mario berpandangan. Indah kan anak yang pendiam dan tidak punya teman. Bagaimana mungkin ada temannya yang meminta bantuan padanya. Apalagi, sampai ngasih uang segala. Pikir Bu Popi.

"Benarkah Bu?"

"Iya Bu."

"Tapi, memang begitu kah, sepertinya di sekolah, Indah tak seperti itu?" tanya Bu Popi penasaran.

"Oh ya? Jadi, dia bohong Bu?" tanya Pak Muhammad khawatir.

"Bukan begitu Pak. Kami hanya tak tahu saja yang sebenarnya. Mungkin nanti kami bisa tanya lagi sama Indah."

"Tapi nggak apa-apa kan Bu, kalau membantu mengerjakan tugas temannya itu."

Bu Popi tersenyum, "Nggak apa-apa Pak. Tapi hanya mengajari saja. Kalau langsung mengerjakan ya tidak boleh."

"Oh begitu," kata Bu Aminah.

"Kalau di sekolah, Indah bagaimana Bu? Apakah ia betah? Soalnya saya lihat waktu mengambil rapot kemarin teman-temannya Indah tuh kayak sombong-sombong semua," kata Bu Aminah.

"Bu, bukan sombong-sombong. Cuma orang-orang kota dan terpelajar memang seperti itu Bu, mereka hanya menyingkat waktu. Kan semua harus cepat-cepat Bu," ujar Pak Muhammad.

Bu Popi tersenyum. Ia tak mungkin menyampaikan hal yang sebenarnya tentang kondisi Indah di situasi seperti ini. Mengingat Pak Muhammad sedang sakit. Apalagi, soal mengerjakan perkejaan temannya itu. Pikir Bu Popi dalam hati.

"Alhamdulillah, sejauh ini baik-baik saja kok Bu."

"Tapi ya itu Bu, nilainya jadi merosot. Karena banyak membantu mengerjakan tugas teman-temannya. Yah, meskipun Indah dibayar, tapi saya sudah larang dia Bu. Kan yang namanya tiga harus dikerjakan sendiri-sendiri," tukas Pak Muhammad.

Deg! Nilai Indah merosot gara-gara banyak membantu mengerjakan tugas teman-temannya. Apa mungkin itu? Pikir Bu Popi dalam hati.

"Iya Pak, kedepannya nanti In Syaa Allah akan lebih saya awasi."

"Terimakasih Bu."

"Tapi di sana anaknya nggak sombong-sombong kan Bu? Takutnya Indah nggak punya teman. Kan dia sangat pendiam Bu," kata Bu Aminah.

Bu Popi tersenyum, "Nggak kok Bu. Yah memang anaknya pendiam. Tapi kalau ada masalah, Indah selalu ngobrol banyak sama saya."

"Alhamdulillah. Saya nitip Indah ya Pak, Bu," kata Pak Muhammad.

"Iya Pak, Bu."

"Terimakasih."

"Sama-sama."

"Oh ya, sekarang, Indahnya kemana?" tanya Bi Popi.

"Sedang di rumah Bu, menunggui adiknya," jawab Bu Aminah.

"Oh iya."

"Maklum Bu, adiknya banyak."

"Gak apa-apa Bu, banyak anak banyak rezeki."

*****

Siang hari, Bela dan Indah sedang berada di metromini saat mereka sedang asyik berdebat.

"Pokoknya, aku kecewa banget sama Kakak. Seharusnya tadi Kakak nggak perlu seperti itu," kata Bela.

"Udah deh Bel. Kok ngebahas itu terus sih."

"Habis gimana. Aku kan malu," sungut Bela.

"Ya maaf, habis aku ngelihatnya aneh. Kamu disuruh-suruh gitu."

"Kak, emang aku pesuruh. Jadi wajar kalau aku disuruh-suruh."

"Iya tapi sekarang kan kamu udah nggak perlu kerja begituan lagi. Jadi ya udah pulang aja. Lagian, mereka cuma butuh kamu doang ya kan. Ada nggak yang mau berteman tulus sama kamu. Nggak kan."

Deg! Bela terdiam. Iya sih, selama ini, ia cuma disuruh-suruh saja. Tidak ada teman yang mau berteman dengan tulus. Kalaupun ada, tetap aja mereka suka nyuruh-nyuruh. Apa karena dia miskin, jadi wajar jika disuruh-suruh terus.

"Loh kok diem?"

"Em ... iya Kak. Sebenarnya selama ini aku tuh nggak punya teman karena aku miskin. Kalaupun ada, ya cuma disuruh-suruh doang," gerutu Bela.

"Iya Kakak paham. Makanya kamu yang sabar ya. Seperti apapun kondisi kita, tapi jangan sampai merendahkan dan mau direndahkan orang lain."

Bela mengangguk, "Iya Kak. Aku seneng deh punya Kakak seperti Kak Indah. Ternyata tegas juga ya," Bela tersenyum tulus.

Indah menelan ludah. Mungkin ia bisa memberi motivasi untuk adiknya sekarang. Tapi, di sekolah sendiri ia seperti apa. Indah menghela nafas panjang.

"Kiri Bang ...," teriak Bela yang membuat Indah sedikit terkejut.

"Ayo Kak," Bela buru-buru turun lalu segera membayar ongkosnya, "Makasih Bang."

"Kenapa kita turun di sini?" tanya Indah yang sudah berdiri di belakang Bela. Sementara metromini sudah melaju.

"Kita cari Dino dan Dini dulu Kak. Biasanya mereka di sini."

"Oh ok deh."

Suasana taman masih cukup ramai. Udara panas semakin menyeruak. Indah mulai celingak-celinguk mencari kedua adiknya itu.

"Kakak ...."

"Hai Dini," seru Indah sambil tersenyum senang melihat adiknya itu berlarian.

"Kakak, ngapain?" Dini berhambur ke pelukannya.

"Kakak nyari kamu, sudah kita pulang ya."

"Dino mana?"

"Dia lagi ngamen. Uangnya apa sudah cukup?" tanya Dini sambil mengedipkan mata karena kena sinar matahari.

"Sudah cukup sayang, ayo kita cari Dino," ujar Indah sambil mengusap rambut adiknya itu.

"Ye, kalau begitu hari ini kita bisa pulang. Ayo kita tunggu Dino di situ."

*****

"Jadi, kemungkinan Indah berbohong begitu?" tanya Pak Mario sambil tetap konsentrasi menyetir.

"Sepertinya begitu. Aku mau observasi lagi soal Indah yang. Darimana, ia bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatan Ayahnya."

"Ok, kalau butuh bantuan, bilang sama sayangmu ini ya," Pak Mario tersenyum.

"Aduh kamu tuh," bu Popi mencubit pinggang suaminya itu.

"Aduh, aduh sakit ...."

"Awas ...."