Keesokan harinya Indah mengajak semua adik-adiknya pergi berlibur. Karena ini adalah impiannya sejak lama. Dan ia tak menyangka benar-benar bisa mengajak mereka berlibur. Bahkan Indah merasa seperti dalam mimpi saja. Maka dari itu, ia benar-benar bersyukur bisa mendapatkan kesempatan untuk mengajak adik-adiknya berlibur. Mereka pasti senang sekali. Maka dari itu, sejak pagi, ia sudah melakukan berbagi persiapan untuk acara berlibur hari ini.
"Ingat ya, Lucky, Bibah, dan Sandy nanti tidak bisa membeli sepatu atau perlengkapan sekolah lainnya. Karena kemarin kan sudah beli. Tapi, nanti boleh beli jajan," kata Indah.
"Yeeee ...," Lucky dan Sandy bertepuk tangan. Mereka sangat bahagia. Bibah memberikan isyarat untuk tetap berbaris rapi.
"Sedangkah Dini, Dino, dan Bela nanti boleh membeli perlengkapan sekolah kalian. Mengingat, kemarin kalian belum sempat belanja," kata Indah sambil mondar-mandir di depan adik-adiknya yang berbaris rapi.
"Yes, makasih Kak," seru Dino.
"Peraturannya nanti, pertama kalian harus tertib. Kedua, bagi anak yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. Sedangkan yang lebih tua harus menyayangi yang lebih muda. Begitu aturannya, paham?" kata Indah bak guru profesional.
"Paham ...," teriak adik-adik.
"Nah gitu dong."
"Kak, di sana nanti aku mu main air, boleh kan," kata Dini.
"Boleh, tapi harus hati-hati."
"Jangan, itu kan di pantai. Bahaya lo. Nanti kalau ada ombak besar bagaimana?" kata Dino cemas.
"Ah, pokoknya kamu hati-hati, jadi nggak masalah," ujar Dini.
"Iya-iya, boleh bermain air. Yang jelas, hati-hati," kata Indah.
Indah pun tersenyum senang, bahagia sekali memiliki banyak adik tapi semuanya bisa tertib.
Maka merkapun berangkat. Celotehan Lucky selalu menemani perjalanan mereka. Sekarang, mereka ke mall dulu untuk membeli perlengkapan sekolah. Suasana mall sangat ramai.
"Aku mau yang itu," seru Lucky seraya menunjuk mainan yang sudah lama diinginkannya. Indah sangat sabar menanggapi setap celotehan bahkan kerusuhan adik-adiknya.
Setelah membeli perlengkapan sekolah, mereka berlibur ke Ancol. Liburan pertama bagi keluarga itu. Adik-adik Indah masih sedikit bingung dan canggung saat memasuki kawasan Ancol. Sementara Indah, yang sudah terbiasa dengan gaya hidup modern dan orang-orang kaya, mulai mengondisikan dan banyak membantu adik-adiknya.
"Ayo, kita ke rumah hantu ...," seru Dino.
"Jangan. Biasanya kan kita baca-baca surat Al Fatihah untuk mengusir para hantu. Kenapa sekarang malah ke rumahnya hantu, nggak ah," ujar Sandy cemas.
Semua pun tertawa melihat Sandy ketakutan begitu.
"Ok, kita ke sana saja yuk, siapa tahu ada wahana yang ada menarik."
"Semuanya bagus-bagus Kak. Kayanya kita harus mencobanya satu-satu deh."
"Aku mau ke sana, aku mau ke sana ...," Lucky berlarian tak sabar ingin menikati setiap wahana yang membuatnya penasaran. Sementara Indah dan Bela sendiri bahkan sampai kewalahan menghadapi keaktifan Lucky.
"Udah, udah, Lucky ... ayok ...."
"Kak, aku mau naik unta," seru Bibah. Mereka sudah tiba di kawasan satwa.
"Jangan, itu untanya tinggi nanti kamu jatuh," kata Sandy.
"La terus naik apa Kak?" Bibah mulai merengek. Sementara Indah sudah tidak bisa merasakan apa yang sebenarnya terjadi. Udara panas dipadu dengan ramainya pengunjung, sontak membuat Indah kepayahan.
"Ya udah terserah Bibah mau naik apa sana. Cepat!" seru Indah.
"Ya udah deh, aku naik kuda kecil itu aja. Gak apa-apa kan Kak Sandy."
"Nah itu aman, kudanya pendek soalnya."
"Aku juga mau naik," seru yang lain.
Jadilah mereka naik kuda bergantian. Tak lama setelah itu, mereka berkunjung ke kawasan pantai. Di sana mereka bebas berenang, meski Indah dan Bela harus ekstra hati-hati dalam menjaga adik-adiknya. Apalagi, Lucky yang sangat aktif dan tidak bisa diam.
"Ayo Sandy, muka kamu kok masih kering?" tanya Bela heran melihat Sandy tidak terlalu sibuk bermain seperti yang lainnya.
Sandy menggeleng, "Aku nggak bisa berenang Kak."
"Ayolah ini tidak berenang, hanya main air aja."
"Nggak ah."
Bela berdecak, sebal dengan sikap Sandy.
*****
"Adik-adik sudah tidur?" tanya Indah saat melihat Bela duduk menghampirinya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Sudah tidur semua Kak. Mereka kayaknya kecapekan deh. Seharian tadi muter-muter terus."
Indah tersenyum, "Tapi senang kan."
Bela manyun, memijit tangan dan kakinya yang mulai terasa pegal.
"Eh, rencananya nanti kita mau jualan apa?"
"Em ... bentar Kak, aku pikir dulu."
"Jangan lama-lama mikirnya, ntar kita malah gak jadi jualan soalnyabanyak mikir."
"Iya Kak. Aduh bawel banget sih. Gimana kalau kita jualan somay," kata Bela berbinar.
"Somay. Emang kamu bisa bikinnya?"
"Aduh Kak. Somay mah gampang. Kan nanti Kakak belikan hp baru bukan. Nah itu nanti kita cari resepnya, kita coba, terus kita jual deh."
"Ok. Itu ide bagus. Selamat berjualan ya."
"Siap Kakak."
*****
Waktu semakin cepat berlalu. Indah tak sabar menunggu hari Minggu tiba, hari dimana pesta ulang tahun Vian digelar. Tapi, itu masih dua minggu ke depan. Indah berdecak, masih dua minggu, undangannya sudah disebar.
Dan hari-hari liburan Indah isi dengan membantu menjaga Ayah dan menjaga adik-adik di rumah. Sementara Bela, mulai konsentrasi untuk usaha jualan somay yang akan ia rilis.
Hari kepulangan Ayah pun tiba. Indah bersiap untuk menjemput Ayah dari rumah sakit. Dari pagi ia sudah mengondikasikan adik-adik dan berbagi tugas.
"Bibah bertugas menjaga Lucky, Sandy bertugas membersihkan rumah, Dino bertugas mencuci piring, Dini bertugas mencuci baju dan Bela bertugas menyiapkan makanan.
Meskipun hasil perkejaan adik-adik pasti lebih banyak kurangnya daripada lebihnya, hanya bikin rusuh saja, tapi, Indah senang. Paling tidak, ia mengajarkan adik-adiknya tentang kerja keras dan tanggung jawab bersama.
"Kak, terus ini gimana?" tanya Dini. Badannya kurang tinggi hanya untuk sekedar menjemur baju.
"Iya sini Kakak bantu," kata Indah menghampiri adiknya.
"Lah, kok jadi lengket gini lantainya?" tanya Indah sibuk melihat lantai di bawahnya.
"Hahaha ... tauk tuh Kak. Kan Sandy yang ngepel," ujar Dini.
"Ya udah, sekarang, Kakak jemput Ayah dulu ya, jaga rumah ya, kalian semua. Ingat rencana kita ya," kata Indah bersemangat.
"Siap Kak ...."
Indah tersenyum, mengambil nafas panjang dan mulai beranjak. Setelah masuk taksi online, ia mulai mengambil ponselnya. Sepanjang perjalanan ia hanya bisa senyum-senyum sendiri melihat pesan dari Vian. Dan sungguh ia sangat bingung hanya untuk membalas pesan itu. Masalahnya itu sangat istimewa bagi Indah. Meskipun ia juga ikut grup wa kelas, tapi ia hanya menjadi silent reader. Tak berani komen apapun. Masalahnya, ia tahu siapa dirinya. Baginya dirinya hanyalah butiran debu yang tak berguna, bahkan sedikit pun. Dan meskipun Vian sudah memberi pengumuman ke grup wa dan membuat grup itu lebih ramai dari biasanya, tapi ini yang dirasa sangat istimewa bagi Indah. Bagaimana tidak, ia langsung dijapri oleh Vian. Pastilah Vian menganggap dirinya sangat istimewa.
Dengan mantap, Indah membalas pesan Vian, "Iya, aku pasti datang."