"Ini," Bu Aminah menyodorkan baskom itu lagi.
"Terimakasih," jawabnya di sela-sela batuk kecilnya.
"Jadi, siapa namamu?" tanya Bu Aminah sambil meletakkan baskom di bawah tempat tidur, sebelum menutupinya dengan kantong plastik.
"Budi," jawabnya lemah.
"Budi. Nama yang klasik," jawab Indah.
"Klasik bagaimana maksud kamu?" tanya Bu Aminah.
"Ya biasanya kalau kita belajar di sekolah dulu waktu kecil kan, suka ada Budinya Bu. Seperti, ini Ibu Budi. Kayak gitu," kata Indah.
"Ah kamu bisa aja."
"Nggak lucu," desis Budi.
Suster datang sambil membawa kereta dorong berisi makanan. Dengan cekatan Indah membantunya, dan menyiapkan makanan untuk Ayah. Ia segera memberi suapan pada Ayah.
Pak Muhammad tersenyum, melihat tingkah anaknya itu.
"Nah gitu dong, yang perhatian sama Ayahnya," kata Bu Aminah sambil tersenyum.
"Indah selalu perhatian kan Bu."
"Iya-iya. Terimakasih ya Sus," kata Bu Aminah.
"Sama-sama," suster itu keluar, sambil membawa kereta dorongnya kembali.
"Sudah makanlah," Bu Aminah menyiapkan makanam untuk Budi.
"Nggak mau. Ini kan kuah santan. Bukankah saya gak boleh makan santan. Kan santan menyebabkan batuk."
"Tapi ini sudah menu dari dokter, dokter tahu kok. Mana makanan yang bagus dan tidak buat kamu," ujar Bu Aminah.
Lelaki itu tetap menggeleng dan menolak makanannya.
"Permisi, saya periksa dulu ya Pak Budi," deokter Zaim masuk dengan seorang suster di belakangnya.
"Eh Dok, saya tuh nggak sakit," Budi mulai batuk-batuk lagi.
"Iya," jawab dokter Zaim sabar.
"Kenapa saya malah disuruh makan santan. Ini tuh menyebabkan batuk tahu nggak."
"Sudah Budi, kamu nurut aja sama dokter, biar cepet sembuh tuh, kayak Pak Muhammad. Lihat nih, dia sudah sembuh sudah mau pulang. Kamu juga harus nurut biar cepat pulangnya," kata Bu Aminah.
"Iya Bu, tapi saya nggak sakit."
"Pak Budi tenang ya, ini saya periksa dulu."
"Ini apa lagi. Kok saya tidurnya nggak berbaring. Nggak enak tahu."
"Dok, kita pulang sekarang boleh nggak, berisik soalnya," kata Indah sambil menyuapi Pak Muhammad.
Dokter Zaim tersenyum. Sementara Bu Aminah geleng-geleng kepala sambil menatap anak sulungnya yang kelihatannya sangat sebal.
Dan lelaki itu masih tidak mau makan. Setelah diperiksa dokter, ia disarankan untuk istirahat sambil menunggu obat.
"Jadi, siapa yang beli obat?"
Lelaki itu mengangkat pundak.
"Baik biar suster nanti yang menghubungi keluarga Anda. Kalau begitu, saya permisi dulu ya, mari Bu, mari Pak, mbak ...."
"Iya Dok ...."
"Keluarga kamu kemana sih. Masak nggak ada yang jaga. Terus sekarang kalau butuh beli obat kayak gini, gimana?" tanya Indah sambil mendekati Budi.
"Indah. Nanti keluarganya juga dihubungi sama dokter. Udah ah, nggak boleh gitu," ucap Bu Aminah.
Tak terasa waktu yang ditunggupun tiba. Pak Muhammad akan segera pulang.
"Dimakan ya, rotinya," kata Bu Aminah.
"Katanya keluargamu mau kesini, kok nggak datang-datang?" tanya Indah galak.
"Indah, keluarganya akan datang. Tapi mungkin sedang sibuk atau ada macet," ucap Bu Aminah.
"Sudah-sudah. Budi, kamu di sini baik-baik ya. Jangan lupa makan yang banyak biar cepat sembuh," kata Pak Muhammad sambil mendekati Budi. Semua sudah siap tinggal berangkat pulang saja.
"Iya Pak, terimakasih."
"Kami duluan ya Budi, hati-hati."
"Ya Bu."
Merekapun bersalaman.
"Sepertinya keluargamu tidak akan datang. Kamu yang sabar ya," tukas Indah sambil menyalami lelaki itu.
"Aku kan memang tidak punya keluarga."
"Sudah Indah, ayo," tukas Pak Muhammad.
"Hati-hati ya. Bay ...," Indah melambaikan tangan, tersenyum.
Sepanjang lorong Indah mengamati begitu banyak orang yang duduk di lantai menggelar tikar. Mereka adalah keluarga pasien. Raut wajah mereka seperti ingin menangis sekaligus tertawa. Bingung dengan situasi yang sedang dihadapi. Memikirkan tentang keadaan keluarga sekaligus biaya rumah sakit yang mahal. Belum lagi masalah-masalah lain. Indah menelan ludah, menganggap begitu banyak dalam dirinya hal yang patut disyukuri. Kalau ingin merasakan syukur, jalan-jalanlah ke rumah sakit. Maka, kau akan tahu arti betapa pentingnya sehat dan begitu banyak yang memang harus disyukuri.
"Berapa biaya semuanya Bu?" tanya Indah saat mereka sudah sampai di tempat administrasi. Bu Aminah sulit menelan ludah, cemas kalau-kalau uang yang dimiliki Indah kurang. Tadi, ia sempat bertanya pada orang di sebelahnya yang juga sedang mengurus administrasi. Orang itu bilang habis tiga juta rupiah. Sementara Pak Muhammad hanya bisa mengutuki dirinya sendiri. Kenapa jadi orang yang begitu bodoh dan tak berdaya. Yang bisanya hanya menyusahkan istri dan anak-anaknya.
"Semuanya, dua ratus enam ribu lima ratus mbak."
Deg!
"Em, berapa Bu?" Indah tak yakin dengan apa yang baru saja didengar.
"Dua ratus enam ribu lima ratus Mbak."
"Oh ... i ... iya," Indah bergegas mengeluarkan uang. Yah, meskiun ia nggak yakin dengan apa yang didengarnya. Masak cuma habis sedikit. Pikir Indah dalam hati.
"Terimakasih Mbak," kata Ibu itu ramah, sambil memberikan kwitansinya.
"Sama-sama," Indah tersenyum.
"Habis berapa?" tanya Bu Aminah cemas.
"Ini Bu," Indah menyerahkan kwitansinya.
Bu Indah terbelalak, "Kok cuma sedikit?"
Pak Muhammad heran dengan apa yang sedang didengar.
Indah tersenyum, "Itu karena kemarin waktu ada bule itu loh Bu. Kan kelihatan banget kamarnya sangat Ibu rawat dengan baik dan bersih."
Bu Aminah manggut-manggut, "Bisa jadi ya."
"Alhamdulillah," ujar Pak Muhammad.
*****
"Selamat datang Ayah ...." teriak adik-adik sambil membawa balon dan terompet kertas warna-warni.
Pak Muhammad dan Bu Aminah terkejut. Indah tertawa bahagia sambil meletakkan beberapa kantong plastik berisi baju-baju dan perlengkapan Pak Muhammad lainnya.
"Semoga sehat selalu ya Ayah," kata Bela sambil memeluk Pak Muhammad.
"Iya, amin, ini apa-apaan pakai beginian segala."
"Ayah ...," Lucky berhambur ke pelukan Ayahnya. Pak Muhammad lantase menggendong anak bungsunya itu.
"Idenya Kak Indah ini Yah, Bu. Biasa. Sekarang Kak Indah kan sudah jadi anak gedongan Yah, Bu," kata Bela, sambil memeluk Ibunya.
"Ini apaan ada tulisannya segala?" kata Ayah sambil membaca tulisan di dinding yang terbuat dari balon warna emas.
"Sehat selalu Ayah, begitukan tulisannya," kata Bibah sambil tertawa riang.
"Wah, hebat anak Ayah sudah bisa baca," kata Ayah tersenyum senang.
Hari ini, keluarga Indah bahagia sekali. Mereka bersyukur karena Pak Muhammad sudah diperbolehkan pulang. Dan Indah sangat bersyukur dengan semua ini. Dalam hati, rasa bahagianya yang bertubi-tubi membuat hatinya merencanakan sesuatu.
*****
Indah sudah berada di lorong kamar rumah sakit tempat Ayahnya dirawat kemarin. Setelah pergi ke mall sebentar untuk sekedar membeli kebutuhan untuk pergi ke ulang tahunnya Vian nanti malam.
Sengaja ia ingin menjenguk Budi, lelaki malang itu.
"Assalamualaikum," kata Indah sambil memasuki kamar.
Lelaki itu terkejut, menatapnya sekilas, "Kamu?"
"Kalau ada orang mengucapakan salam itu, harus dijawab."
"Ngapain kesini. Pulang Sono!"
Deg!