Chereads / Liebe Wand / Chapter 51 - PESTA

Chapter 51 - PESTA

"Aku cuma ingin lihat keadaan kamu aja kok. Pasti nggak ada yang jenguk ya," kata Indah sambil tersenyum.

"Iya. Kenapa? Memang nggak ada yang peduli kok sama aku."

"Pantesan bajunya dari kemarin belum ganti. Nggak punya baju?"

Budi melirik Indah sinis, "Nggak usah ngurusin aku deh."

"Nih," Indah menyerahkan dua bungkusan plastik berisi baju dan makanan.

"Kamu udah beli obat?"

Budi melirik lagi.

"Ya udah, nanti aku ke bagian administrasi ya supaya kamu dikasih obat. Oh ya, aku pergi dulu. Jangan lupa, banyak-banyak baca syahadat. Bay ...," Indah tersenyum, lalu keluar.

"Iya, lebih baik pulang sana!"

Indah menahan nafas, masuk kamar lagi, "Eh, kamu ngapain bentak-bentak aku?"

"Siapa yang bentak?"

"Itu tadi kamu bentak aku. Asal kamu tahu ya, kamu ini diambil tuh infusnya pasti udah megap-megap mau koid. Huh."

"Iya. Emang lebih baik aku mati aja. Males hidup," sungut Budi.

"Capek deh. Ya udah mati aja sono!" Indah berlalu.

Budi masih pura-pura tak peduli. Tapi setelah Indah keluar, dengan menahan batuk ia membuka bungkusan itu. Menelan ludah, melihat begitu banyaknya makanan dan juga dua stel baju serta celana. Memang, gadis itu sebenarnya sangat perhatian padanya. Terkadang, dunia ini memang sangat aneh. Bagaimana tidak, orang yang sudah lama mengenal kita tapi sama sekali tak perduli. Sedangkan, orang yang tidak kita kenal, malah sangat perhatian. Pikir Budi dalam hati.

*****

Saat Indah pulang, masih banyak tetangga atau kerabat yang menjenguk Pak Muhammad. Indah melempar senyum manis pada setiap orang. Kali ini, meskipun ia seorang intovert, tapi ia harus terlihat ramah. Paling tidak, jangan sampai dianggap sombong. Maka, ia akan berusaha sedikit terbuka dan murah senyum pada setiap orang. Ya, meski sedikit masih canggung dan malu. Tapi entahlah, bagi Indah, sekedar menyapa orang memang sulit. Karena memang ia orang yang intovert.

"Itu Indah, yang sekolah di Tunas Bangsa, sekolah elite itu?" tanya seorang lelaki, yang masih kerabat Indah.

"Iya, Alhamdulillah."

"Memang betah sekolah di sana. Kan tempatnya orang-orang kaya."

"Alhamdulillah, betah-betah saja ya Ndah," kata Bu Aminah.

Indah menelan ludah. Ya, sebenarnya sangat tidak betah. Tapi mau bagaimana lagi. Dan, bukankah rencananya itu memang dia ingin keluar saja dari situ. Tapi, setelah ada Vian entah kenapa semua begitu lebih semangat. Dan ia tidak terlalu merasa sedih lagi. Ya, mungkin, ia akan mencoba bertahan. Pikirnya dalam hati. Indah mencoba tetap tersenyum.

*****

"Jadi kamu mau pergi ke pesta itu?" tanya Pak Muhammad.

"Iya Yah, boleh ya, cuma sebentar."

"Pantesan, pakai baju, tas dan sandal baru. Bagus-bagus lagi," kata Bela sambil meletakkan teh untuk Ayah di meja.

"Aduh, Bel, kan nggak setiap hari Kakak gini. Ya mumpung punya uang lah. Itung-itung Kakak juga harus menyesuaikan gaya baju mereka kan."

Bu Aminah tersenyum, "Iya, Ibu mengerti maksud kamu. Pokoknya kamu harus hati-hati ya. Jam sembilan harus sudah si rumah."

"Iya Bu. Yuk Bel."

"Ha, sama aku?" Gadis berjilbab itu menunjuk dirinya sendiri.

"Iya dong."

"Tapi kan aku nggak punya baju bagus Kak. Malu ah."

"Ih, ayo udah bawel. Itu udah Kakak siapin."

"Ha, jadi Kakak beliin baju juga buat aku?"

"Udah Ayuk ...," Indah menarik Bela untuk siap-siap.

Sementara Pak Muhammad dan Bu Aminah tertawa, "Alhamdulillah, anak kita sudah besar-besar ya Bu. Jadi ada yang bantu Bapak sekarang."

"Iya Pak, makanya Bapak sehat-sehat ya, supaya tidak nyusahin anak tuh."

"Iya Bu," Pak Muhammad tersenyum.

*****

"Tumben Kakak suka dandan. Kakak jadi sedikit rapi deh kalau kayak gini," kata Bela manyun.

Indah mendengus, "Memangnya selama ini Kakak nggak rapi apa?"

"Nggak," Bela menggeleng, tertawa.

"Ih, kamu tuh ya, udah tuh. Pake!"

"Tapi kan aku pakai jilbab Kak. Nggak apa-apa nih."

"Nggak apa-apa dong. Masak nggak boleh. Pokoknya kamu nemenin aku ya."

Bela menarik nafas panjang, "Sebenarnya, Bela males banget sih Kak, mau ikut. Ntar temennya Kakak tuh, semuanya pasti cantik-cantik, bajunya bagus-bagus, tasnya juga. Lah kita. Buluk gini. Nggak ah, malu," Bela bergidik. Membayangkan suasana di pesta nanti.

"Terus, kamu tega gitu sama Kakak. Menghadapi situasi seperti itu sendirian?"

"Ya Kakak kan udah biasa. Ya udah nggak apa-apa kan."

"Tapi kalau ada yang nemenin kan lumayan Bel," kata Indah memelas.

Bela menarik nafas panjang, berhenti sejenak. Ia pikir, bukankah Kakaknya selalu bersedia membantu apa saja sepanjang dia mampu. Lalu, kenapa dia nggak bisa bantu?

"Ok deh Kak. Aku ikut."

"Nah, gitu dong itu baru namanya adik aku," Indah memeluk adiknya erat.

"Aduh Kak, udah lepasin gak bisa nafas," kata Indah sambil mencoba melepaskan diri.

Indah tertawa, "Makasih ya," bisiknya.

*****

Bela dan Indah turun dari taksi online. Mereka berhenti di sebuah villa mewah di kota ini.

"Aduh Kak, lihat deh. Indah banget villanya ...," kata Bela sambil mengamati halaman villa yang luas, dihiasi dengan tanaman dan pohon yang rindang. Bangunan villa terkesan sangat modern dan mewah. Lampu-lampu kecil menyilaukan mata membuat Bela sedikit pusing.

"Ayok," dengan mantap Indah menggandeng Bela mengajaknya masuk.

"Kak, serius kita jadi masuk, lihat tuh, banyak orang kaya di sini. Takut ah," Bela bergidik, mengamati sekitarnya. Mobil-mobil mewah terparkir rapi. Beberapa orang lalu lalang tak peduli. Bela menelan ludah, canggung dengan segala keindahan, kemewahan, dan kehidupan modern di villa ini.

"Udah Bela, nggak apa-apa. Ayo masuk aja," Indah menarik adiknya itu. Membuat Bela terpaksa berjalan dengan susah payah.

"Terimakasih," Indah tersenyum setelah menunjukkan id card melalui ponselnya pada resepsionis cantik yang ia temui. Lalu, ia segera masuk ke dalam, setelah mendapat petunjuk dari resepsionis itu.

"Kak, beneran nih, lantainya bersih banget lagi."

"Bela plis deh. Gak usah norak. Biasa aja," kata Indah menutupi rasa canggungnya. Tapi, harapan untuk bertemu Vian malam ini sungguh telah memupuk keberaniannya untuk bisa hadir di acara spesial ini. Entahlah, akhir-akhir ini Indah sering bermimpi tentang Vian. Yang memakai jas abu-abu dengan senyum indah memberinya sekuntum bunga mawar. Di belakangnya cahaya lampu kecil remang-remang menghiasi tempat romantis dan indah itu.

Kalau sudah ingat mimpi itu, Indah jadi senyum sendiri. Itulah yang membuatnya kuat sehingga ia bisa hadir di tempat ini sekarang.

Mereka sudah sampai di aula tempat pesta berlangsung. Suasana sangat meriah. Musik berdentum kencang, membuat siapapun ingin bergoyang.

Indah dan Bela celingak-celinguk saja. Mereka jadi bingung sendiri. Indah mencoba menghampiri seorang teman yang kebetulan satu kelas dengannya.

"Hai," sapanya manis tapi yang diajak ngomong seolah tak peduli. Ia diam saja, tanpa ekspresi.