"Kak, yang ulang tahun siapa sih, cari kek," bisik Bela.
"Iya." Jawab Indah singkat. Ia juga bingung mencari Vian. Masalahnya, getaran di hati yang entah kenapa terasa begitu kencang, sudah mulai mengganggu dari tadi.
Jengah dengan sikap kakaknya yang seperti orang bodoh, Bela menarik kakaknya untuk duduk, "Sudah Kak. Kita di sini saja."
"Ok." Indah tetap mengedarkan pandangannya.
"Hai, Indah ya." Jeny dan teman-temannya sudah berdiri di depan Indah dan itu membuatnya terkejut.
"Hai ...."
"Itu siapanya, cupu banget." Kata Maria pada Evrin yang sanggup didengar Indah dan Bela.
"Dia adik aku. Bela namanya," kata Indah sinis.
"Eh, ayo Kak, kita ke sana yuk," bisik Bela.
"Oh adik. Makanya kok sama jelek dan cupunya gitu ...." Kata Jeny sambil tertawa yang dibuat-buat.
"Kalian kenapa sih, selalu protes dengan kejelekan kita. Emang kita jelek kok. Terus mau apa?"
Deg!
"Wow. Kamu udah pinter ngomong ya sekarang."
"Kak, dia siapa sih?" bisik Bela.
"Eh, kamu namanya siapa?" tanya Jeny pada Bela.
"Aku, Bela Kak," jawab Bela malu-malu.
"Oh Bela. Kelas berapa?"
"Masih SMP kak," kata Bela, sedikit percaya diri karena senang diajak ngobrol sama gadis cantik dan kelihatannya sangat tajir ini.
"Kalau SMA nanti, mau sekolah di mana. Apa di tempat kita juga, biar ada yang menggantikan keculunannya Kakak kamu."
"Hahahaha ...."
Deg!
Indah mendengus kesal. Bela panik ketakutan. Jeny melipat tangan, tak peduli jika ada keributan. Ia benar-benar sudah gemas dengan anak ini. Entahlah, semua terasa semakin berat saja. Bukannya apa-apa, Indah hanya lebih berani sekarang. Masalnya, reputasinya sudah cukup bagus. Ia dikenal dan disukai banyak cowok. Ya, meskipun itu sangat aneh.
"Hei, Indah. Kamu datang?" Vian sudah berdiri di sampingnya.
"Hei, Vi. Selamat ulang tahun ya." Indah menyalami Vian yang tersenyum lebar.
"Iya, terimakasih."
"Oh iya ini, kado buat kamu, semoga kamu suka." Indah mengeluarkan kotak kecil dari dalam tasnya. Vian segera membukanya.
"Wow, terima kasih ...." Vian tersenyum karena Indah memberikan jam tangan mewah untuknya.
"Sama-sama."
"Eh, itu kan jam tangan mahal," desis Maria.
"Kok bisa kamu membeli jam tangan itu?" tanya Chlara.
"Sudahlah, kalian nggak usah julid. Memang kenapa kalau Indah bisa membelikan aku hadiah ha?" tanya Vian.
"Ya aneh aja sih."
"Aneh apanya? Ini wajar," desis Vian.
Jeny merah padam. Darimana Indah bisa mendapatkan uang untuk membeli hadiah semahal itu. Ini keanehan lagi. Belum juga masalah yang lalu selesai, sekarang ada masalah baru lagi. Jeny mendengus kesal,mulai memikirkan sesuatu. Ya, ia harus tahu, darimana semua keanehan yang terjadi pada Indah. Ia tak boleh diam saja. Jeny mendengus kesal.
"Bisakah kau membantuku?" tanya Vian.
Dengan senang hati Indah melingkarkan jam tangan itu di tangan Vian. Jeny menahan nafas melihat adegan itu. Sungguh, hatinya tak rela melihat Indah mendapat kehormatan seperti itu.
"Sekali lagi makasih ya," ujar Vian.
"Sama-sama," Indah tersipu malu.
Bela melongo melihat Kakaknya bisa sebegitu romantisnya dengan laki-laki.
"Vian, serius kamu suka sama dia?" Jeny terbelalak.
Vian tertawa, "Apaan sih kamu. Gak usah aneh-aneh deh."
"Gak usah aneh gimana?" Jeny melipat tangan, membuat beberapa anak mulai memperhatikannya.
"Aku cuma main-main aja sama Indah. Mana mungkin serius," Vian tertawa.
Deg! Indah tahu, Vian tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya di hadapan banyak orang seperti ini. Yang penting, ia sudah cukup perhatian itu sudah lebih dari apapun.
"Huh, dasar aneh," Jeny mendengus kesal. Ia lalu pergi ke area kolam renang diikuti teman-temannya.
"Oh ya, kalau nggak salah kemarin tasku ketinggalan ya," ujar Vian.
Deg!
"Tas, bukankah tas itu sudah kamu kasihkan ke aku?" tanya Indah.
Sementara Bela celingak-celinguk, melihat sekitar. Ia sungguh sangat antusias dengan suasana pesta yang meriah. Apalagi, di area kolam renang itu yang penuh dengan anak-anak. Mereka sekedar nongkrong sambi menikmati hidangan yang tersedia. Ada juga yang dengan sukarela memberikan lagu spesial untuk Vian. Dengan diiringi mini band terkemuka di kota ini. Apalagi, pakaian yang dikenakan anak-anak yang hadir di sini. Sungguh, membuat Bela merasa insecure dan sangat tidak percaya diri.
Perlahan, terbesit di hatinya penyesalan yang tiada tara. Seharusnya ia tak hadir si tempat ini. Karena baju yang dipilih Kakaknya paling bagus untuknya, justru ia jadi pusat perhatian. Pastilah, pakain yang dikenakannya ini sangat jelek.
Bela bergetar, Ya Rabb. Kenapa ini begitu buruk. Seorang anak laki-laki terlihat melihatnya terus. Ini membuat Bela semakin tidak nyaman.
"Apa? Tasnya kuberikan padamu? Dengar ya Indah. Sebenarnya waktu itu aku mabuk. Ya omonganku ngelantur lah. Masak nggak bisa bedain orang yang omongannya waras dan nggak."
Indah mengerutkan kening, "Maksud kamu?"
"Maksud aku, ya aku nggak sadar ngasih kamu tas. Jadi tolong kembalikan tas itu ya."
Deg! Indah lemas, dadanya bergetar dan ia tak bisa berpikir apa-apa.
"Tapi kan aku, nggak tahu kalau kamu lagi mabuk. Jadi, aku pikir tas dan uangnya itu untuk aku."
"Ada apa Kak?" Bela sadar ada yang tidak beres.
"Gini loh Ndah. Uang dan tasnya itu tolong kembalikan. Aku nggak serius ngasihkan ke kamu."
Deg! Indah terkesiap. Sulit menelan ludah, merasakan dunia benar-benar berhenti berputar.
"Tap ... tapi uang itu ...."
"Iyalah, kamu tak mungkin bisa berada di tempat ini jika tanpa uang itu kan. Gampang, kamu tinggal mengembalikan saja," Vian melipat tangan.
"Hai Vi, kok di sini aja. Nggak seru-seruan sama anak-anak lain?" Leo menghampiri Vian.
"Bentar, aku ada urusan sejenak."
"Jadi uang itu ...." Indah bingung dengan apa yang harus dikatakannya.
"Indah, jadi begini ya. Aku kasih tahu kamu. Uang itu tolong kembalikan. Nggak harus segera kok. Sebisamu aja."
Deg!
"Darimana aku bisa mendapatkan uang itu?"
"Terserah lu lah."
"Ada apa sih?" Leo mengerutkan kening.
"Nggak ada apa-apa Le. Cuma masalah sedikit. Hai mantan, eh, ini siapa? Kok cantik banget?"
Bela tersipu, Indah menelan ludah. Ia tahu, wajah adiknya lebih banyak cantiknya daripada jeleknya. Terkadang, ia juga bingung sendiri. Dan berkata apakah ia anak kandung? Masalahnya, wajah adiknya lebih menarik daripada dirinya.
"Udah, nggak usah ganggu adik gue," bisik Indah ketus.
"Kak, dia mantan Kakak?" Tanya Bela pelan, yang sanggup didengarkan Leo.
"Oh, jadi kamu adiknya Indah. Kenalin, aku Leo, mantannya Kakak kamu." Leo mengulurkan tangan, yang disambut hanya dengan tatapan mata Bela.
"Eh, kalau nggak mau kenalan ya nggak apa-apa." Leo menarik kembali tangannya.
Indah mendengus kesal.
"Eh, Le. Kayaknya dia cemburu tuh," Vian tertawa.
"Oh ya, beneran kamu cemburu? Dengar ya. Sebenarnya, aku nggak pernah suka sama kamu. Kita cuma taruhan."
Deg!