Chereads / Liebe Wand / Chapter 49 - LELAKI MALANG

Chapter 49 - LELAKI MALANG

Dengan semangat Indah membantu Ibunya berkemas. Ia senang sekali pada akhirnya Ayahnya bisa pulang. Bagaimanapun juga, menurutnya, Ayahnya akan lebih bisa beristirahat jika di rumah sendiri. Sementara jika di rumah sakit beliau tidak bisa bebas. Dan begitu dikabari Pak Dokter tadi sudah bisa pulang, maka ia segera bersiap. Dan ini sungguh membuatnya bahagia.

"Permisi," seorang perawat masuk, dan mulai memeriksa Pak Muhammad, "Sebentar lagi, Dokter Zaim akan datang dengan dua orang tamu dari Australia. Mereka mau berkunjung ke kamar ini. Bapak pulangnya dua jam lagi kan."

"E ... iya Sus. Tapi, tamu siapa ya?"

"Ya kebetulan ada kunjungan dari luar negeri Bu. Perwakilan WHO. Mereka mau melihat kondisi kamar pasien."

"Oh begitu, iya Sus."

"Tapi kenapa kamar ini yang dikunjungi Sus?" tanya Indah.

"Saya juga kurang tahu Mbak. Alhamdulillah Bapak sangat segar dan benar-benar sudah diperbolehkan pulang tadi sama dokter Zaim. Semoga sehat terus ya Pak," kata suster sambil tersenyum ramah.

"Iya Sus, makasih."

"Ayah lebih gemuk dan terlihat lebih sehat jika di rumah sakit Sus," kata Indah.

"Masak, Ayah harus di rumah sakit terus," gerutu Pak Muhammad, yang disambut dengan tawa suster dan Bu Aminah.

"Permisi."

Semua pun terdiam, ternyata dokter Zaim beserta satu dokter magang serta dua orang bule. Pakaian mereka serba putih dan rapi.

"Silahkan masuk Dok," sapa Suster.

Mereka berbicara bahasa Inggris. Meskipun Pak Muhammad dan Bu Aminah tidak mengerti tapi mereka tetap tersenyum ramah.

"Bagaimana Pak Muhammad, sudah baikan?" tanya dokter Zaim.

"Alhamdulillah sudah Pak."

"Bu, kok ada bule segala?" bisik Indah pada Ibunya.

"Shuut .... Kok tanya begitu sih. Nggak sopan tahu," kata Bu Aminah.

"Yah, kan cuma nanya Bu."

"Sudah ah, diem!" Bu Aminah melotot.

Dua orang bule itu mengelilingi kamar dan mengamatinya. Bahkan melihat kamar mandi dalamnya juga.

Mereka ngobrol dengan bahasa Inggris tapi Indah bisa menangkap sedikit pembicaraan mereka. Bahwa ternyata perilaku Ibu selama menjaga Ayah selama ini, diperhatikan oleh dokter Zaim. Ibu selalu menjaga kebersihan dengan rajin membersihkan kamar. Apalagi, tempat cuci tangan juga diberi sabun lengkap dengan tempatnya. Selain itu, pengharum ruangan dengan wangi yang shoft juga dipasang di tembok. Membawa semuanya menjadi terasa lebih tenang. Wangi parfum itu juga menenangkan.

Dua orang bule itu terlihat manggut-manggut mendengar penjelasan Dokter Zaim. Bu Aminah, Indah, dan Pak Muhammad mengamati mereka dengan seksama. Meski mereka tak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan. Setelah itu, mereka berpamitan dengan Ayah, Bu Aminah dan Indah. Termasuk sang suster, ia berpamitan dan tak lupa melemparkan senyum. Bu Aminah lega, semua terasa lebih baik sekarang.

"Wah, Ibu keren," Indah menghambur memeluk Ibunya.

"Apa sih Ndah?"

"Ibu tahu nggak. Tadi sebenarnya Ibu dapat pujian loh."

"Pujian apa? Memang kamu mengerti?"

"Mengerti dong Ayah."

"Permisi," beberapa suster perempuan dan laki-laki mendorong tempat tidur dan membantu seorang lelaki yang sakit. Ia dibaringkan di tempat tidur di samping tempatnya Pak Muhammad.

Indah penasaran. Siapa lelaki itu. Terlihat sangat kurus dan tak terurus. Posisi tidurnya, sama dengan Pak Muhammad. Tidak dibaringkan, tapi agak didudukkan. Masalahnya lelaki itu terlihat sendiri. Tidak ada satu anggota keluargapun yang menemani.

Setelah melaksanakan tugasnya, para suster pun keluar. Lelaki itu terlihat murung dan tak berdaya. Perlahan, Indah menatapnya. Sungguh, lelaki yang malang. Bagaimana tidak, tubuhnya tinggal kulit berbalut tulang.

Indah menelan ludah. Lelaki ini pasti sangat menderita. Ternyata, ada yang lebih menderita daripada dirinya. Ia tahu, hidupnya selama ini sudah sangat penuh dengan yang namanya penderitaan. Tapi, setelah melihat lelaki itu, ia merasa penderitaannya selama ini bukanlah apa-apa.

Perlahan, Indah sadar. Bahwa ia harus lebih banyak bersyukur pada Allah. Bukankah ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dari Vian tentu adalah pertolongan dari Allah. Siapa lagi yang menggerakkan hati Vian untuk memberinya banyak uang kalau bukan dari Allah.

Sesosok perempuan masuk dengan tergopoh-gopoh.

"Sudah ya Bud. Bude tinggal," kata wanita itu.

Lelaki itu hanya meliriknya sekilas.

"Eh, Bu, titip ponakan saya ya. Permisi." Kata wanita itu, tersenyum, lalu pergi begitu saja.

"Siapa namamu Mas?" Bu Aminah mendekati lelaki itu.

Lelaki itu kembali melirik lemah, tak peduli.

Indah berkemas. Bu Aminah memberikan beberapa roti pada lelaki itu, "Ini untukmu. Makanlah."

Lelaki itu menggeleng lemah. Terlihat ia ingin menyembunyikan wajahnya.

"Kenapa, ada yang sakit?"

Lelaki itu batuk-batuk. Terdengar sangat menyakitkan. Buru-buru Bu Aminah mengambil baskom yang sudah dilapisi plastik kecil milik Pak Muhammad yang masih bersih. Ia menyodorkannya pada lelaki itu. Ragu, tapi ia membuang ludah di sana, "Terimakasih," katanya sinis.

Indah menyodorkan tisyu. Lelaki itu memandangnya sekilas, lalu menerima tisyu itu dan membersihkan mulutnya.

"Ini, minumlah. Ini air hangat. Sangat penting untuk mengencerkan dahakmu," Bu Aminah menyodorkan air minum hangat pada lelaki itu.

"Terimakasih," lelaki itu meminum sedikit lalu meletakkannya di atas lemari, tepat di sampingnya.

"Kenapa cuma sedikit, kamu harus banyak minum," kata Bu Aminah.

"Saya tidak sakit Bu," kata lelaki itu dingin.

"Tidak sakit kenapa ada si sini? Mana keluargamu?"

"Ibu saya meninggal sejak saya kelas 2 SMA. Lalu Ayah saya menikah lagi. Sementara Ibu tiri saya nggak suka sama saya. Jadi, saya dititipkan Bibi saya."

"Jadi yang tadi itu Bibimu?" tanya Indah.

Lelaki itu mengangguk.

"Oh ya siapa namamu? Kamu gak bawa baju ganti? Atau apa gitu?" tanya Bu Aminah heran.

"Apa. Dompet saja saya gak punya Bu. Lagian saya tuh lo nggak sakit. Nggak tahu aja kenapa Bibi dan sepupu saya membawa saya kesini. Saya cuma muntah darah sedikit saja, sudah bikin heboh."

"Itu bahaya Nak. Lihat Bapak ini. Kemarin juga muntah darah seperti kamu. Dan kata dokter, sepuluh menit lagi gak dibawa ke rumah sakit, entah apa yang terjadi," kata Bu Aminah tegas. Masih teringat saat malam itu, ia sedang menyetrika baju. Suaminya yang sudah lima hari di dalam kamar saja karena batuk-batuk terus, tiba-tiba minta diambilkan air.

Ia segera menyodorkan minuman saat mulai merasa ada yang aneh. Tidak seperti biasanya sapu tangan yang dipakai Pak Muhammad selalu dicengkeram seperti itu. Dan betapa terkejutnya ia saat mengambil sapu tangan itu, untuk diganti dengan yang baru. Karena sapu tangan itu sudah penuh dengan darah.

Saat itu juga ia segera minta tolong pada tetangga yang punya mobil. Beruntung, ada seorang tetangga yang bersedia membantu. Dan ia menyetir mobil dengan sangat cepat. Bahkan lampu merah pun diterobos. Ia pikir, kalaupun ditilang polisi tak masalah, toh membawa orang sakit.

Bu Aminah berkaca-kaca mengingat malam itu.

"Uhuk ... uhuk ... uhuk ...."

Lelaki itu batuk lagi. Rasanya seperti sangat ngilu dan menyakitkan.