"Pembantu umum?" Indah mengerutkan keningnya.
"Iya Mbak. Dia bantu-bantu di pembantu umum juga."
"Oh jadi, dimana saya bisa bertemu dengannya?"
"Em ... kalau gak di dapur umum, loundry, juga koperasi Mbak. Mungkin bisa di telfon saja."
"Iya, makasih ustadhah."
"Sama-sama Mbak," wanita itu tersenyum, kemudian berlalu.
Indah mengambil nafas panjang, "Kira-kira dimana ya," gumamnya.
Indah mengamati sekeliling. Suasana pondok yang tenang. Beberapa anak melintasi dengan jubah dan kerudung panjangnya yang khas. Kalau melihat anak gadis dengan penampilan seperti itu, entahlah, Indah merasa sangat senang. Lebih menentramkan hati dan menyejukkan mata saja. Ya, tidak seperti penampilannya sekarang yang meski memakai jilbab tapi ala kadarnya saja.
Meski masih sedikit bingung Indah mencoba menghubungi Bela kembali. Masalahnya dihubungi dari tadi ponselnya nggak aktif.
Dan saat ia mulai menelfon, terlihat Indah di dalam koperasi sedang sibuk membersihkan lantai. Serta merta Indah menghampirinya. Ia lega akhirnya bisa menemukan Bela. Beranjak segera menghampirinya. Terlihat Bela memakai gamis panjang juga. Dengan susah payah ia menjijing gamisnya, sambil melakukan pekerjaannya. Indah menarik nafas panjang. Ternyata, seperti inikah perkerjaan adiknya di sini.
"Bela."
"Kakak. Ngapain di sini?"
"Kamu bantu-bantu juga di sini?"
"Iya dong Kak."
"Sini Kakak bantu," Indah merebut tongkat pel yang sedang dipegang Bela.
"Aduh, jangan Kak. Udah aku saja," Bela mengelak.
"Nggak apa-apa. Kakak bantu biar cepat selesai ya," Indah bersikeras untuk membantu. Ia segera mengambil tongkat pel lain yang kebetulan juga tersedia di kaleng besar khusus untuk kebersihan.
"Aduh Kak, nggak usah. Aku jadi malu tahu."
"Udah nggak apa-apa. Lagian supaya cepat selesai."
"Udah selesai kok Kak, ini," Bela bersiap.
"Baik, sekarang membersihkan mana lagi?"
"Udah Kakak pulang aja deh. Ngapain sih kesini segala. Siapa yang jaga adik-adik coba?"
"Kan kamu sendiri yang bilang. Adik-adik nggak usah dijaga gak apa-apa. Makanya Kakak kesini."
Bela bersiap membawa kaleng kebersihan, dan serta merta Indah membantunya.
"Sekarang kita mau kemana?"
"Kakak belum menjawab pertanyaannya. Ngapain Kakak kesini?"
Indah mendengus kesal, "Baiklah, Kakak kesini karena sedang ada keperluan."
"Keperluan apa?" kali ini mereka sudah tiba di kamar anak perempuan.
"Melunasi semua tanggungan kamu."
Deg!
"Ha? Serius?" Bela melongo.
Indah tersenyum, mengagguk, "Iya. Mulai detik ini, kamu nggak perlu capek-capek lagi kerja kayak gini."
"Kakak dapat uang darimana? Beneran Kak?" Bela masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.
"Iya Bela. Hari ini adalah hari terakhir kamu bantu-bantu di sini. Untuk selanjutnya nggak usah."
Bela berhenti di depan kamar, mengurungkan niatnya untuk masuk, meletakkan kaleng kebersihannya.
"Kakak dapat uang darimana?"
Indah terpana dengan kehidupan pondok pesantren. Ternyata seperti ini. Terlihat lalu lalang para santri. Rupanya, sedang jam istirahat, "Kakak itu di sekolah sana biasa bantu teman-teman Kakak mengerjakan tugasnya. Jadi, Kakak dikasih imbalan gitu. Bagi mereka itu uang kecil yang dikasih. Tapi bagi kita itu seperti harta karun kan. Tapi sama Ayah nggak boleh seperti itu. Yang namanya tugas harus dikerjakan sendiri. Jadi, mungkin ini tahun pertama dan terakhir kali kita mendapatkan uang banyak sekaligus membayar semua hutang-hutang kita. Dan semua sudah lunas."
Mata Bela membulat, "Ha? Benarkah Kak. Nggak salah. Ini bukan mimpi kan?"
"Bukan dong sayang. Rencananya nanti, sisa uangnya buat kita modal jualan aja. Ibu kan jualan gorengan. Kita nambah jualan apa gitu. Yang bisa dipakai online juga. Jadi kita beli hp baru, yang canggih gitu, bisa buat jualan-jualan."
"Wah, gitu ya Kak. Alhamdulillah."
"Iya."
"Aku jadi gak sabar untuk segera berjualan."
"Gimana, kamu seneng nggak?"
"Ya seneng dong Kak."
"Ok deh. Kalau gitu, nanti kita pikir-pikir lagi ya di rumah."
"Jadi ini beneran Kak. Nggak bohong?"
"Nggak dong, ngapain Kakak bohong?"
Bela memekik. Ia memeluk Kakaknya. Ia jadi merasa bersalah. Karena menganggap Kakaknya ini hanya santai-santai saja. Ternyata, malah yang lebih banyak membantu. Ia bangga dengan Kakaknya yang tanggung jawab dan pengertian seperti ini.
"Makasih ya Kak. Aku seneng banget deh," Bela melepaskan pelukannya.
Indah mengangguk, "Iya sama-sama."
"Ya sudah, kalau gitu aku mau ngelanjutin perkerjaanku dulu ya."
"Dengan syarat. Kamu harus mau Kakak bantu."
"Aduh Kak, ngapain sih pakai bantu segala. Nggak usah Kak."
Indah mengambil nafas panjang, "Sudah, ayok. Kita harus segera pulang kan. Kakak nggak mau ya kamu pulang malam kayak kemarin."
"Kan nanti aku bareng sama ustadz."
"Meskipun bareng, nggak usah. Ntar kalau kamu sampai malam, kamunya kecapean, terus, marah-marah. Ya kan."
Bela menelan ludah. Iya sih, dia memang suka marah-marah jika kecapean, "Ya udah deh, ayok."
Indah dan Bela bergegas memasuki kamar, "Assalamualaikum, mohon maaf mau bersih-bersih."
Terlihat semua anak sedang santai di kamar. Bahkan beberapa ada yang sedang makan rujak bersama-sama.
Indah meski malu-malu mencoba tersenyum untuk menyapa mereka. Meski tidak ada yang memperdulikan, tapi Indah dengan cekatan segera membantu adiknya itu. Yah tidak beda jauh dengan yang di sekolah. Di manapun, ia selalu disepelekan. Tidak ada yang peduli.
Beberapa anak mulai menyuruhi Bela. Ambilkan inilah, itulah. Indah jadi jengah sendiri. Padahal, perkerjaan Bela kan belum selesai. Indah jadi gak betah di tempat ini. Ia ingin keluar saja. Tahu begini, lebih baik ia nggak usah membantu tadi.
"Bela, tolong lipatkan selimutku ya!"
"Cucianku tadi gimana Bel, udah kering?"
"Bel, ambilkan kopi dong!"
Dengan terpaksa Indah melanjutkan membersihkan kamar sendiri. Sementara Bela mulai melayani permintaan anak-anak.
Dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Indah mempercepat perkejaannya. Berharap supaya cepat selesai.
"Mbak, itu di bawah kolong masih ada yang kotor," ucap seorang anak dengan sinis.
Sabar Indah membersihkan kolong itu. Kalau bukan karena niat membantu adiknya, ia nggak bakalan mau disuruh-suruh seperti ini. Sudah cukup di sekolah saja ia diintimidasi. Capek.
"Bel, kapan kelarnya nih, udahan yuk," bisik Indah saat melihat Bela kembali.
"Aduh Kak, kan belum selesai. Kalau Kakak capek tunggu di luar aja ya. Bentar lagi juga selesai."
"Bukan itu masalahnya. Aku males, lihat kamu disuruh-suruh terus kayak gini."
"Lah kan memang ini kerjaanku Kak."
"Ini kan hari terakhir kamu di sini. Udah, yuk, tinggalin aja."
"Iya Kak, tap ... tapi ini kan udah tanggung jawab aku."
"Udah nggak apa-apa," Indah berkemas. Membawa kaleng kebersihan itu keluar.
"Loh Kak mau kemana, kan belum selesai?" tanya seorang anak perempuan. Kulitnya hitam tapi hidungnya mancung. Mungkin orang Madura.
"Eh, udah ya, maaf Bela ada keperluan mendadak. Tolong lanjutkan sendiri ya," teriak Indah.
"Eh, ta ... tapi Kak ...," Bela bingung tapi tak bisa berbuat apa-apa.