Chereads / Liebe Wand / Chapter 43 - REZEKI yang tak DISANGKA-SANGKA

Chapter 43 - REZEKI yang tak DISANGKA-SANGKA

Indah menelan ludah. Lucky sudah di depan kamar sambil mengucek-ucek matanya. Vian terkesiap. Ia segera keluar rumah sementara Indah langsung mengunci pintu dan menggendong adiknya itu, membawanya ke kamar dan menidurkannya kembali. Berharap, adiknya ini dapat melupakan sesuatu yang barusan ia lihat tadi, dengan cepat.

*****

"Ini tas siapa Kak?" tanya Bela saat pagi-pagi sekali ia sudah bersiap berangkat kerja. Indah yang masih melipat mukenanya serta merta langsung mengambil tas itu.

"Ini milik Kakak. Kemarin habis diloundry."

"Oh gitu, Kakaknya tukang loundry ngeloundryin tas juga," Bela manggut-manggut.

"Udah kamu sekarang berangkat aja. Serahin masalah Ayah dan adik-adik sama Kakak. Ok."

"Kakak mah tinggal enaknya doang. Adik-adik itu, udah terbiasa mandiri. Nggak perlu dijagain juga gak masalah. Nih ya, aku sekolah sambil kerja, Ibu jualan. Ayah juga kerja. Jadi siapa yang biasa jaga adik-adik. Nggak ada. Tapi mereka juga masih hidup tuh."

Deg! Dan aku cuma bisa main-main di sekolah. Pikir Indah dalam hati.

"Helooo, kok Kakak jadi ngelamun. Akhir-akhir ini tuh, Kakak emang suka ngelamun ya. Ngelamunin apa sih Kak?" kata Bela sambil berkemas.

"Ah, sudah-sudah. Cepat berangkat sana! Bawel loh."

"Kak, listrik sudah tiga bulan belum bayar. Kontrakan juga, kalau nggak salah udah empat bulan. Terus, air. Air yang enam bulan," Bela tersenyum, "ditambah nanti dalam waktu dekat Ayah juga harus pulang."

Deg!

"Terus, sekolahnya adik-adik tuh. Mereka belum pernah bayar saat pertama masuk sekolah. Nunggak terus. Gimana dong?"

Indah menelan ludah, "Udah kamu tenang aja. Nggak usah dipikirin."

"Iyalah. Kakak tinggal pergi ke sekolah. Akunya yang kerja sambil sekolah."

"Cukup Bela!"

Deg!

"Kakak, kok bertengkar?" Dini sudah berdiri di samping mereka.

Indah dan Bela terkesiap.

"Eh, Dini, kamu sudah bangun?" Indah bersikap manis di hadapan adiknya.

"Kak Bela, hari ini aku sama Dino mau kerja juga kok."

"Udah ya, aku berangkat," Bela mendengus kesal.

"Kak ...," Dini memanggil Bela yang semakin menjauh.

"Sudah Din, mandi dulu, sarapan, terus berangkat sekolah ya."

Dini menggeleng, "Nggak Kak. Hari ini Dini bolos aja nggak usah sekolah."

Deg! "Kenapa?"

"Dini mau kerja Kak, bantu Kak Bela. Supaya dia nggak marah-marah terus. Kecapean soalnya. Kalau libur kayak gini aja, kerjanya Kak Bela pasti langsung full."

"Udah, kamu sekolah ya. Biar Kakak aja yang kerja."

"Nggak mau Kak. Nanti itu rapotan dan Dini sama Dino sudah kelas lima SD. Sedangkan kita belum pernah bayar. Nggak usah diambil deh. Kayak biasanya."

Deg! Indah tercenung. Membiarkan Dini yang bersiap ke kamar mandi. Ia duduk lunglai, bingung dengan apa yang harus dilakukannya.

"Kak, Dino sama Dini berangkat dulu ya," kata Dino sudah siap.

"Kalian mau kerja apa?" tanya Indah bingung.

"Apa aja Kak. Tergantung nanti sikonnya apa. Kalau nggak ngamen ya ngemis, ya mulung, ya jualan koran. Tergantung deh, nanti kondisinya kayak gimana."

Indah menghela nafas panjang.

"Ayo Din. Berangkat dulu ya Kak."

"Kalian jangan pergi. Kalian di rumah aja. Biar Kakak yang kerja."

Dino dan Dini berpandangan, "Ya udah, kalau Kakak mau kerja ya kerja aja. Kita semua harus kerja Kak. Kakak nggak lihat tadi, kebutuhan kita banyak banget."

"Iya Kakak tahu."

"Makanya kita harus kerja Kak."

"Tapi kan kalian masih kecil, mending sekolah aja dulu."

"Nggak bisa Kak. Kita nggak punya banyak waktu."

"Iya Kak. Sementara kebutuhan kita mendesak."

"Kakak, tahu, kalian yang sabar ya. Kakak yang kerja, kalian sekolah ok."

"Sudahlah Kak. Kita akan sekolah kok. Tapi kerja lebih penting."

Deg!

Dino dan Dini segera berlalu. Sementara Indah hanya bisa menahan sesak di dada. Ia ingin sekali berteriak tapi tak sanggup. Kembali duduk dengan lunglai. Lihatlah sekarang, adik-adiknya sudah pandai bersikap acuh demi uang.

Ia mengambil tas ransel itu, berfikir mungkin bisa dijual. Ya, meskipun harganya tak seberapa. Pelan, ia mulai membuka tasnya. Dan betapa terkejutnya ia saat menemukan begitu banyak uang. Indah terkesiap, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

Ia ingat malam itu Vian bilang, semua ini untukmu. Jantungnya bergetar cepat. Tak menyangka ia akan diberi uang Vian sebanyak ini. Tapi, sebegitu banyaknya uang yang diberi, Indah tahu. Ini tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan uang jajan Vian.

Ia menangis. Ya, menangis karena Tuhan begitu baik. Ia selalu memberi rejeki dari arah yang tak disangka-sangka. Indah beringsut sujud syukur. Dan di dalam sujudnya, ia bersyukur. Memuji Allah dengan segala pujian. Mengutuki diri sendiri yang tidak pernah mau berterimakasih padaNya, dan perkerjaannya hanya mengeluh saja. Dalam tangisnya ia bersujud lama. Lama sekali, menghadirkan seluruh rasa syukur dan bahagianya. Ya Rabb, maafkan aku. Selama ini, aku sudah selalu berburuk sangka padaMu. Pikir Indah dalam hati.

"Terimakasih Ya Rabb ...," bisik Indah di tengah isak tangisnya.

"Kakak ngapain? Ye ... Kakak main kuda-kudaan, ayo, ayo," seru Lucky sambil menaiki punggung Indah.

"Ngapain Kak?" seru Bibah.

Indah ingin duduk tapi ia tak mau memudarkan kebahagiaan adiknya. Maka, dengan menyembunyikan wajah yang penuh air mata ia berjalan merangkak menirukan seekor kuda berjalan. Membuat kedua adiknya tertawa riang.

Indah menurunkan Lucky dari punggungnya dan mengusap wajahnya. Terihat adiknya itu tertawa senang penuh kegembiraan.

"Kakak kenapa? Kakak nangis?" seru Bibah.

Indah menggeleng, tersenyum senang, mengusap air matanya yang tak mau berhenti mengalir, "Nggak. Kakak habis bersin-bersin."

"Kapan, kok Bibah gak denger?"

Indah menghambur memeluk kedua adiknya. Air matanya kembali menangis deras.

"Kak, aku mau kerja dulu ya," ujar Sandy yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Kamu hari ini juga terima rapot?" Indah melepaskan pelukannya.

"Kakak nangis, ada apa?"

"Dengar, Kakak baru dapat rejeki. Kakak punya teman yang baik banget. Ia tahu kesulitan kita. Lalu , dia memberikan uang yang banyak buat Kakak. Itu artinya, tunggakan uang sekolah kalian bisa dilunasi hari ini," Indah tersenyum senang.

"Benarkah Kak?" Sandy berbinar.

Indah mengangguk.

"Sekarang, kalian bersiap ke sekolah. Kakak akan melunasi semua tanggungan kalian. Ok."

"Yeee ...," Sandy bersorak gembira, "Kak, beli sepatu baru juga ya. Lihat deh sepatuku," Sandy menyodorkan sepatunya yang sudah sangat usang. Bahkan salah satu alas sepatunya sudah hilang. Kalau dipakai, tentu seperti bukan pasangannya.

"Iya sayang, nanti kamu boleh membeli apa saja yang kau butuhkan."

"Ye ...." Sandy dan Bibah bersorak

Melihat kakaknya bersorak begitu, Lucky pun ikut bersorak kegirangan.

*****

Vian sedikit membuka mata, ia terkejut karena sudah berada di dalam apartemennya. Dengan payah ia melihat sekeliling, mencari tas ranselnya. Perlahan, ingatan itu muncul kembali.

"Ambillah, semua, untukmu."

Deg! Vian mendengus kesal, ingin berteriak.

"Payah!"