Chereads / Liebe Wand / Chapter 41 - TARUHAN SELESAI

Chapter 41 - TARUHAN SELESAI

Terlihat Indah dengan tak berdaya dibuka selimutnya pelan-pelan oleh Vian. Geng playboy yang melihat adegan itu menahan nafas. Selanjutnya terlihat Indah seolah sangat tak berdaya mendapat hujaman dari Vian. Arah kamera hanya memperlihatkan wajahnya. Sementara dari arah kamera lain terlihat Vian mulai berkerja keras, menikmati bagian bawah tubuh Indah yang tidak diperlihatkan wajahnya.

Sungguh lihai permainan kamera Vian. Membuat geng playboy tersenyum puas dan menahan segala gelora yang ada.

"Gila. Apa, si Indah itu masih gadis?" seru Wahyu.

"Iya dong," jawab Vian santai menenggak minumannya.

"Wah lu bener-bener keren Vi," ujar Xinan, kagum dengan kehebatan temannya itu.

"Iya dong. Berarti di sini yang paling keren siapa. Gue kan. Ok, mana uangnya."

"Hu ...."

Anak-anak segera meletakkan uang yang telah disepakati di atas meja.

"Yesss. Seratus juta!" pekik Vian.

*****

Jam sebelas malam. Indah sudah sangat lama menunggu Bela pulang. Tapi, yang ditunggu tak kunjung datang. Ia bingung, tak tahu dengan apa yang harus dilakukan.

Indah hanya bisa mondar-mandir sambil sesekali melihat jam dinding kecil yang terpampang di dinding. Ia menatap adik-adiknya yang sudah tidur semua. Bagaimana dengan rumah kecil, yang terdiri dari satu ruang tamu kecil, kamar mandi kecil, dapur, lalu kamar tidur yang harus dibagi delapan orang. Sembilan orang jika ia sedang pulang. Maka, harus selalu saling berbagi tempat. Indah benar-benar tak menyangka. Hidup sesulit ini harus dilalui adik-adiknya yang masih kecil-kecil seperti ini.

Tapi sekarang, waktu mengeluh sudah habis. Ia harus bangkit dan berusaha untuk mendapatkan kenyataan yang lebih baik.

Terdengar pintu dibuka. Indah bergegas ke ruang tamu, "Kamu dari mana. Jam segini baru pulang?"

"Kakak. Kakak di sini?"

"Ini tuh Jakarta Bel. Kamu harus hati-hati. Banyak orang jahat di luar sana."

"Ah Kakak. Bela kan bisa bela diri. Ayah kita pandai kan. Ia selalu mengajari kita seni bela diri. Masak Kakak lupa. Jangan-jangan Kakak nggak pernah melatih jurus-jurus Kakak lagi ya. Mentang-mentang sudah sekolah di tempat elite."

"Shuut ... udah-udah kamu itu ngomong apa sih. Sekarang gini, Kakak tanya sama kamu, kamu pulangnya naik apa?"

"Aku dintar kok Kak sama Pak ustadz. Ada istrinya juga. Mereka sekalian mau pulang jadi Bela bareng gitu," ujarnya sambil melepas jilbab dan meletakkan tasnya di meja. Lalu melemparkan tubuhnya di kursi papan yang keras.

"Oh gitu."

"Kakak, kesini jam berapa? Adik-adik udah makan belum? Gimana kondisinya Ayah?"

"Kakak ikut kerja ya di sana," kata Indah murung.

"Kok Kakak gak jawab pertanyaanku sih. Malah ngomong apa, gak jelas banget," Bela manyun.

"Iya, Kakak mau kerja aja. Lagian Kakak sudah nggak betah di sana," gumam Indah.

"Ha. Maksud Kakak?" Bela memekik.

"Eh, udah malem. Tidur, istirahat!" Indah tergagap.

*****

Dan malam ini, Leo, Xinan, Vian, Kevin dan Wahyu merayakan kemenangan mereka. Entah kemenangan apa mereka juga bingung. Mereka berkeliling kota sambil menghabiskan minuman. Udara sejuk dan dingin tak menyurutkan mereka untuk terus berputar-putar mengelilingi kota.

"Eh, udah malem nih, pulang yuk," kata Wahyu yang masih paling waras di antara mereka. Ia dengan serius menyetir mobilnya.

"Aduh, kita clubbing aja dulu, masak jam segini sudah pulang," kata Vian, sambil merem melek menahan mata supaya bisa tetap melek.

"Aduh, kita mau clubbing kemana lagi kan sudah selesai tadi."

"Eh, kita harus merayakan taruhan ini. Kita cari tempat lain yuk," ujar Xinan, sambil menggoyangkan kepalanya. Musik yang tadi menggema di diskotik masih terdengar alunannya di kepala.

"Ya udah deh," dengan terpaksa Wahyu memutar mobilnya dan mencari diskotek lain yang lebih murah.

Tak lama, mereka sampai. Dengan sedikit sempoyongan mereka memasuki diskotek itu. Remang-remang cahaya menyambut mereka. Musik yang mengalun keras membuat siapa saja yang mendengarnya memaksakan diri untuk mengngguk-nggukkan kepala.

Wahyu melemparkan tubuhnya di kursi sofa. Sementara Xinan segera memesan minuman. Rupanya, ia masih belum puas. Pikir Wahyu. Lalu ia menikmati pemandangan yang begitu indah.

Vian dengan lihai berdansa dengan beberapa wanita cantik sekaligus yang memakai pakaian seksi. Mereka bahkan menggeser-geserkan tubuh bagian bawahnya pada Vian. Membuat pria itu merem melek. Wahyu menelan ludah. Menatap arlojinya yang menunjukkan angka satu. Sebentar lagi, penari skriptis akan hadir. Mereka akan menampilkan tarian panas sambil melepas satu persatu kain yang menutupi tubuhnya. Ini tidak lucu. Wahyu menelan ludah, menahan segala hasratnya.

"Halo, mau minum apa?" tanya seorang wanita cantik berpakaian seksi yang memperlihatkan seluruh lekuk tubuhnya. Wanita itu menyentuh punggung Wahyu penuh kesabaran seperti seorang Ibu pada anaknya. Bau parfumnya menyeruak, membuat Wahyu tak bisa berkedip memandang belahan dada yang putih dan kelihatannya sangat kenyal itu.

"Mau minum apa sayang?" Wanita itu tersenyum, membuat bibir merah meronanya merekah. Helain rambut panjangnya mengenai wajah Wahyu yang membuatnya hampir pingsan saja.

"Saya masih SMA mbak."

Wanita itu tertawa.

*****

Indah hanya bisa menelan ludah memandangi semua adiknya yang sudah tertidur pulas. Ia tidak bisa tidur. Entahlah. Bantal dan selimut tipis yang disiapkan Bela tadi diletakkan begitu saja. Ia berpikir, bagaimana bisa kedua orangtuanya tidur dengan keadaan rumah yang sangat sempit seperti ini. Pasti mereka tidur di ruang tamu. Tapi, meskipun barang-barang sudah sangat sedikit, tetap saja. Rumah ini sudah sangat sesak dan rasanya seperti mau meledak saja.

Indah menarik nafas panjang, ingin sekali mengusir semua rasa gelisahnya. Di saat dirinya bisa bebas dan enak tidur di atas kasur empuk dan tempat tidur yang mewah dan nyaman, bagaimana bisa keluarganya harus tidur saling berdesak-desakan seperti ini. Apalagi, adik-adik semua sedang masa pertumbuhan. Otomatis, tubuh mereka akan semakin besar dan itu akan benar-benar membuat rumah ini meledak.

Jengah dengan pikirannya sendiri, Indah keluar rumah sekedar mencari angin. Sepi, jam satu malam. Ia duduk termenung di kursi panjang depan rumah, memikirkan sesuatu yang sebenarnya sangat ia benci.

*****

Wahyu sebal dengan teman-temannya. Satu persatu mereka diantarkan pulang. Tapi, bukan ucapan terimakasih yang diterima, malah amarah dan umpatan dari orang tua atau keluarga teman-temannya. Di sampingnya duduk Vian yang tidur mendengkur. Suara dengkurannya keras sekali hingga membuat Wahyu ingin berteriak.

Ia menghentikan mobil. Mengusap mukanya, berfikir dengan apa yang harus dilakukannya. Masalahnya kalau ia mengantar Vian pulang, sudah pasti dia akan kena marah. Sementara mengantar ke apartemennya sungguh sangat malas. Ia harus menempuh puluhan kilometer lagi untuk sampai di sana.

Bingung dan jengah dengan sikap dan sifat teman-temannya ini, tanpa pikir panjang Wahyu menyuruh Vian keluar.

"Apa?" tanya Vian.

"Keluar Vi!"

"Haaa ...," seperti orang bodoh Vian hanya membuka mulutnya. Ini semakin membuat Wahyu emosi. Cepat ia keluar dan membuka pintu mobil, lalu menarik Vian hingga terjatuh.

Wahyu sempat mengamati situasi yang memang kebetulan ia berhenti di kawasan yang sepi. Vian muntah-muntah tapi tak ada yang dimuntahkan dan Wahyu melempar tas punggung Vian ke hadapan Vian yang masih bersimpuh setengah sadar. Cepat, Wahyu segera menaiki mobilnya dan meninggalkan sahabatnya itu begitu saja.