Chereads / Liebe Wand / Chapter 39 - PERINGKAT 21

Chapter 39 - PERINGKAT 21

"Aduh, Bela apaan sih," Indah mengambil paksa raportnya dan menutup kembali.

"Biasanya kan Kakak rangking satu, kenapa sekarang ada dua puluhnya?" tanya Bela heran.

"Udah deh Bel, ah nggak usah cerewet," kata Indah sebal, sambil mendekap rapornya di dada.

"Bela, sudah ah. Ini rumah sakit loh. Jangan bikin ribut," seru Bu Aminah.

Bela manyun, sebal tidak mendapat penjelasan.

Indah duduk di tempat tidur kosong samping tempat tidur Ayahnya. Kamar ruang inap Ayahnya ini terdiri dari dua tempat tidur dan kebetulan yang satu kosong.

"Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu ya, karena semua adik-adik di rumah," ujar Bela tersenyum, melirik nakal pada Indah.

"Iya deh, nanti aku susul ya."

"Ah, nggak usah Kak. Kakak di sini saja jaga Ayah."

"Ok deh."

*****

"Jadi bagaimana?" chat Vian terkirim ke grup "playboy."

"Serius, kamu sudah berhasil?" Leo membalas pesan itu.

"Kalau nggak percaya kalian lihat aja." Vian tersenyum, memandang pemandangan pinggir jalan yang ditumbuhi tanaman dan pohon hias yang tinggi menjulang.

"Ok. Di tempat biasa, kita ketemuan nanti jam sembilan," Xinan membalas chatnya.

"Siapkan uangnya ya. Yes, seratus juta." Vian terkekeh, membuat Ayahnya yang duduk di depan meliriknya.

*****

Indah dengan sabar menyiapkan air untuk mengelap tubuh Ayahnya supaya segar. Sementara Bu Aminah membersihkan kamar mandi dalam dan fasilitas apapun yang ada di kamar itu. Semua bersih dan wangi. Bagi Bu Aminah, penyakit suaminya ini disebabkan oleh virus. Jadi, mau nggak mau ia harus bebas dari virus kan. Makanya tempat harus selalu bersih dan wangi.

"Indah, kenapa nilai kamu jadi jelek nak," tanya Ayah saat Indah mengelap punggungnya.

Indah sulit menelan ludah, "Maaf Ayah."

"Bukan permintaan maaf yang Ayah harap. Tapi, jawaban kamu. Kenapa kamu jadi begini?"

Deg! Indah menghela nafas panjang. Sungguh, sebenarnya ini bukan saat yang tepat untuk bercerita tentang ini sama Ayah. Dia kan lagi sakit. Tapi, kalau ingat beberapakali waktu terakhir di sekolah ini, sungguh membuat hatinya sangat hancur dan remuk redam, tidak ada kebahagiaan dan titik cerah sedikitpun. Apa yang terjadi padanya, sangat berpengaruh pada prestasi belajar. Dan bagaimanapun juga, ia harus merahasiakan hal ini dari Ayah.

"Loh, kok malah ngelamun?"

"Maaf Yah, tapi, Indah nggak mau Ayah jadi kepikiran. Ayah kan sedang sakit."

"Nggak masalah Ndah. Kamu cerita saja sama Ayah."

"Mungkin, nanti Indah mau cerita jika Mas sudah sembuh. Sekarang, Mas harus fokus dulu ke kesehatan Mas dulu ya," ujar Bu Aminah.

Pak Muhammad, Ayah Indah hanya bisa diam sambil menarik nafas panjang jika istrinya sudah bicara. Mau bagaimana lagi. Sebagai seorang Ayah, ia merasa sudah sangat gagal untuk menjadi Ayah yang baik, Ayah yang bisa mencukupi kebutuhan keluarganya dan memberikan perlindungan serta mendidik keluarga, untuk menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah.

Ia hanya bisa memberikan banyak anak, tanpa bisa mencukupi kebutuhan mereka. Hal itulah yang sungguh sangat menghancurkan hatinya.

"Indah, di sini, Ibu bisa jaga Ayah kamu. Tadi pulang dari sekolah kamu langsung ke sini kan. Hari sudah mau sore. Kalau kamu mau pulang nggak masalah. Kamu pasti kangen kan sama adik-adik."

"Em .... Benarkah Bu, Ibu nggak apa-apa di sini sendiri?"

"Nggak apa-apa kok. Ayah kamu sudah baikan."

"Ehem ... uhuk, uhuk ...," Pak Muhammad mulai batuk-batuk. Bu Aminah dengan cekatan mengambil baskom kecil yang sudah dilapisi kantong plastik, dan menyodorkan pada suaminya itu, untuk membuang ludah.

"Baiklah, nanti kalau ada apa-apa Ibu bisa telfon aku ya."

"Iya," Bu Aminah mengangguk.

"Indah, darimana kamu dapat uang sebanyak itu?"

Deg!

"Ayah, meskipun nilaiku merosot, tapi, anak-anak banyak yang minta aku mengerjakan tugas mereka. Dan itu bukan seberapa dari uang jajan mereka Yah."

"Masalahnya bukan mereka sanggup membayar atau nggak. Ini hanya masalah tugas. Kalau dapat tugas, bukankah harus dikerjakan sendiri?"

"Iya Yah. Ya, mungkin hikmahnya jadi ada uang untuk bayar biaya perawatan Ayah kan."

Lagi-lagi Pak Muhammad mengambil nafas panjang. Apa yang dikatakan anaknya ada benarnya juga.

"Apa, nilai kamu anjlok karena kamu banyak mengerjakan tugas teman-teman kamu?" tanya Bu Aminah menyelidik.

"I ... iya sih Bu." Indah bersyukur karena menemukan jawaban yang tepat. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Em, ok deh."

"Eh, oh ya, nanti keburu Maghrib. Jadi Indah pulang dulu ya Yah, Bu," Indah mulai berkemas. Ia tak mau masalah rangking dua puluh satu ini menjadi panjang.

"Iya, hati-hati ya nak," kata Bu Aminah.

"Jaga adik-adik," ujar Pak Muhammad sambil mencium kening anak sulungnya ini penuh kasih sayang.

"Ayah cepat sembuh ya," ujar Indah sambil bersalaman dan mencium punggung tangan kedua orangtuanya.

*****

Senja mulai menyapa di ufuk barat. Hiruk pikuk kesibukan kota semakin terlihat. Sore hari, banyak orang-orang pulang kerja, ke rumah atau tempat tinggal masing-masing. Menghilangkan rasa lelah untuk hari ini, dan bersiap untuk esok dengan harapan dan semangat yang baru.

Begitulah rutinitas setiap hari dunia ini. Sekarang, kemarin, dan esok. Semua menyimpan misteri, kenangan, atau cerita sendiri-sendiri. Indah duduk termenung di metromini, menyaksikan pemandangan kota yang sibuk. Entahlah, rasanya pulang tahun ini sungguh berbeda. Di samping ia hanya mendapatkan rangking dua puluh satu, Ayah yang sedang sakit, berbagai kejadian aneh yang ia lewati akhir-akhir ini di sekolah, sungguh, membuat pikiran dan hatinya terganggu. Apalagi ternyata, di sekolah ada dua hal keanehan. Pak Galak yang ternyata bisa disuap, serta ada ruang rahasia untuk tidur bersama. Dan malam itu, sungguh sangat aneh baginya. Kenapa, ia tidak bisa menikmati saat-saat indah tidur bersama Vian. Ia kan juga ingin tahu. Bagaimana ketampanan Vian saat lelaki itu tertidur. Ia jadi geli sendiri. Dan dia sendiri, kalau tidur kata anak-anak suka mangap. Aduh, pasti jelek sekali deh. Indah mengambil nafas panjang, menepis semua pikiran aneh.

Dan senja semakin merayap. Menemani perasaan hati Indah yang sudah tak mampu lagi membendung kerinduan untuk bertemu adik-adiknya.

Setelah turun dari metromini dan membayar ongkos, Indah segera memasuki lorong gang yang sempit dan panjang seperti ular. Sangking banyaknya rumah tak beraturan dan bangunan-bangunan lain, ia hampir saja tersesat.

Meski malam akan segera datang, banyak warga atau anak-anak kecil yang masih di luar. Sesekali Indah tersenyum dan mengangguk sekedar menyapa mereka.

"Lah itu Indah?" tanya seorang wanita paruh baya berdaster abu-abu. Ia sedang mencari kutu rambut milik tetangganya. Beberapa orang mengamati Indah sambil penasaran dan heran.

"Bagaimana rasanya sekolah di tempat orang-orang kaya?"

Indah hanya tersenyum, sambil membenarkan letak tas punggung buntutnya.

Hingga sampailah ia di sebuah rumah kecil.

"Aku pengen es itu kak," kata anak laki-laki kecil usia empat tahun sambil menangis sejadi-jadinya.

"Nggak bisa uang kakak sudah habis," seru seorang anak perempuan yang berusia enam tahun.

"Sudah, jangan nangis nanti kakak belikan lagi ya," kata anak laki-laki kelas tiga SD.

"Tapi, kita dapat uangnya darimana?" kata anak perempuan kecil.

"Sudah kamu nggak usah khawatir, nanti saya dan Kak Dino biar ngemis lagi ya," ujar anak perempuan kelas lima SD.

Deg!