"Nggak usah Kak. Kan Kak Bela sudah berkerja di loundry pondok," ujar Bibah, anak perempuan kecil yang baru kelas TK B.
"Iya, tapi kan kasihan Kak Bela disuruh-suruh terus."
"Kalau bisa jangan ngemis deh." Ujar Sandy sambil menenangkan Lucky adiknya, yang masih menangis.
"Lah terus ngapain? Apa kita ngamen aja?" tanya Dini yang merupakan sudara kembar Dino.
"Em ... apa ya?"
"Kalau nggak ngemis, ya ngamen. Memangnya mau apa lagi?"
"Mending jualan koran."
"Ah, tapi kan udah banyak. Ntar malah dimarahin tuh sama abang-abang."
"Apa kuli panggul aja ya. Tuh di pasar-pasar."
"Badan kamu kan keci,mana kuat jadi kuli panggul."
"Kalau gitu, jasi ojek payung aja."
"Kan sekarang nggak lagi musim hujan."
"Iya juga sih."
Indah mengusap matanya yang tak sengaja telah berair dari tadi. Lihatlah, adik-adiknya yang masih kecil-kecil itu harus sudah memikirkan biaya hidupnya sendiri hanya untuk sekedar membeli es krim. Anak sekecil itu.
Dan Bela. Dibalik sikap cueknya selama ini ternyata ia juga berkerja di laundry di tempat ia menuntut ilmu. Bela sejak SMP memang mendapat beasiswa untuk bisa bersekolah di sebuah SMP yang juga satu kawasan dengan pondok pesantren. Anak sekecil itu.
Serta Dino dan Dini. Si kembar laki perempuan yang masih kelas lima SD tapi ternyata mereka juga mengemis, beradu nasib melawan panas dan pengapnya udara ibukota.
Tangis Indah semakin deras saat ia menyadari satu hal, bahwa selama ini ia mulai tak serius sekolah, hanya main-main ribut dengan perasaannya sendiri yang selalu dibully dan diacuhkan. Sementara keluarganya seperti ini. Apalagi Ayah yang sedang sakit.
Sungguh, ia sangat lemah sekarang. Ia marah dan sangat kecewa dengan dirinya sendiri. Keras dan mahalnya biayanya hidup di Ibukota, serta kebutuhan untuk sekolah yang mencekik leher, tentu uang yang ia kirimkan untuk keluarganya serta mati-matian dirinya untuk tetap hidup hemat tidak berarti apa-apa.
Tidak, ia tidak boleh seperti ini terus. Ia harus bangkit dan berubah. Demi keluarganya, adik-adiknya yang polos, dan masih kecil-kecil seperti itu.
Dengan mantap Indah mengusap air matanya. Adzan Maghrib mulai berkumandang. Mengajak umatnya untuk sholat.
"Assalamualaikum," Indah membuka pintu tripleks yang sudah hampir dua puluh tahun terpampang di bagian depan rumah.
"Waalaikumus Salaam ... kakak," Dini segera berhambur memeluk Indah. Ia tak menyangka kakaknya akan datang.
Sementara yang lain masih mengamati dengan perasaan bertanya-tanya. Barulah satu detik kemudian, mereka semua berhambur memeluk Indah. Sungguh, keakraban penuh kasih sayang seperti ini membuat Indah menjadi lebih kuat. Ya, di luar sana, masih terlalu banyak tantangan yang harus dihadapi. Tapi pelukan ini, sungguh sangat membuatnya bahagia. Bela pasti sengaja tak memberitahukan perihal kepulangannya. Ia sangat bahagia bisa melepas rindu yang sudah lama dipendam.
"Aduh, sakit ... sakit ...," seru si bungsu.
"Eh, awas, awas. Nanti adiknya kena loh," Indah menggendong adik bungsunya.
"Kakak," kata si bungsu manja.
"Lucky, sudah besar kamu ya."
Lucky mengagguk lucu.
"Kakak kapan datang, kok gak bilang-bilang?" tanya Dino.
"Em, sebenarnya Kakak sudah datang dari siang tadi, cuma Kakak harus ke rumah sakit dulu kan."
"Oh, jadi Kakak sudah menjenguk Ayah?"
"Sudah dong. Oh ya, sekarang, kita masuk, persiapan sholat Maghrib, terus makan ya," Indah tersenyum.
"Garamnya habis Kak."
Deg!
"Nasinya juga habis," kata Bibah.
Indah sulit menelan ludah. Di saat ia di sekolah sana makan dengan menu yang enak-enak, di sini adik-adiknya hanya makan dengan garam. Anak sekecil itu.
"Nanti Kakak beli ya."
"Kakak punya uang?"
"Punya dong. Kan Kakak juga kerja."
"Hore ... Kakak punya uang," seru Sandy polos. Tangannya mengepal ke udara.
"Iya. Alhamdulillah."
Indah tersenyum. Lihatlah, adik-adiknya betapa bahagianya mendengar ia punya uang. Sementara pada kenyataannya, dia sendiri seperti apa. Indah mendengus kesal, sebal dengan dirinya sendiri.
Dan malam itu, setelah sholat Maghrib Indah sambil menggendong si bungsu membeli makanan di luar. Sementara Dini dan yang lainnya memasak nasi yang sebelumnya tadi Dini sudah membeli beras di warung sebelah.
Tak lama Indah dan Lucky datang, dan kebetulan nasi sudah matang. Mereka segera siap-siap.
"Hore, Kakak datang," seru Dino.
"Ayo, kita makan sama-sama ya," Indah meletakkan makanan di meja.
"Wah sate ayam.
"Ada es krim juga," seru Sandy. Matanya berbinar bagai menemukan harta karun emas yang penuh harapan.
"Ini, aku punya ini," seru Lucky sambil membawa berbagai macam snack di dekapannya.
"Aku mau, aku mau ...," seru Sandy.
"Nggak boleh, ini punyaku."
"Lucky, tadi janji apa sama Kakak? Kan nanti semuanya dikasih," Indah tersenyum manis.
"I ... iya sih."
"Ayo dibagi sayang," seru Dini sambil meletakkan sate di piring.
"Tapi ...."
"Ayo, dibagi ya."
"Tapi ini punyaku."
"Kan tadi janjinya apa?"
"Tapi dikit aja ya."
"Iya, dikit aja. Pokoknya dibagi."
"Ok deh."
Semuapun ricuh. Tapi, meski sangat ramai dan berisik suasana seperti ini adalah yang dirindukan Indah. Dimana ia bisa berkumpul dengan semua adiknya.
"Wah, enak sekali Kak satenya," kata Dino.
"Eit, jangan lupa berdoa ya."
"Makasih ya Kak, sudah membelikan kita sate. Sudah lama ya kita nggak makan enak seperti ini," kata Sandy sambil menikmati satenya. Mulutnya belepotan dipenuhi bumbu.
"Iya, enak banget."
"Alhamdulillah."
"Kak Indah memang pembawa rezeki ya."
"Iya dong."
"Eh, nanti aku mau nambah satenya."
"Iya, aku juga."
Indah tersenyum getir. Lihatlah, adik-adiknya kini sedang menikmati makanan kesukaan mereka penuh riang dan rasa syukur. Sementara dirinya ....Ah, entahlah. Sepertinya ia tidak bisa selesai mengutuki dan membenci dirinya seperti ini. Ia benar-benar menyadari kebodohannya.
*****
"Ok, jadi bagaimana? Beneran, kamu udah berhasil merayu Indah?" tanya Leo.
"Udah dong?"
"Serius?"
"Kok bisa."
"Indah kan sulit kita rayu. Nggak seperti cewek-cewek lainnya. Ya, meskipun dia culun begitu."
"Caranya gimana?"
"Ah, kalian pada penasaran kan."
Kali ini mereka bertemu di apartemen pribadi milik Xinan. Setelah bercengkrama dengan keluarga sebentar, mereka langsng ketemuan lagi. Itupun bagi yang keluarganya peduli. Karena, keluarga yang tidak peduli lebih banyak lagi. Sepertinya, masing-masing dari anggota keluarga mereka, punya kesibukan dan kehidupan sendiri-sendiri.
"Kalian lihat saja," Vian tersenyum, menyalakan remote. Mengambil nafas, bersiap memberikan kejutan.
Semua bersiap dan mulai terpana dengan video yang terpampang jelas di layar. Di depan minuman dan berbagai macam snack, mereka menikmati detik demi detik adegan yang diperlihatkan.
Dimana terlihat Indah sedang tertidur pulas dengan hanya bagian dada sampai atas lutut yang tertutup.
Selanjutnya, Vian yang sudah tidak memakai sehelai kain pun, terlihat mengucap salam dengan isyarat ke arah kamera, lalu segera menaiki tempat tidur.