"Sudah Bu, gak usah didengar." Bisik Indah membuat Ibunya sedikit melirik ke belakang. Ia sedikit terkejut karena memang selama ini yang mengambil rapotnya adalah Ayah.
Indah dan Ibu mulai memasuki kelas. Indah mengajak Ibunya duduk di bangku yang biasa ia tempati, sementara Ibunya sangat canggung. Bagaimana tidak. Ternyata, sekolah anak sulungnya ini adalah sekolah yang sangat mewah dan elite.
Indah dan Ibunya telah duduk di tempat yang biasa disediakan. Indah menarik nafas panjang, menenangkan diri. Ayolah, ini hanya pengambilan rapot. Pikirnya dalam hati.
"Ayo Bu." Kata Indah sambil meletakkan kardus berisi Snack. Ia sengaja bersikap tenang supaya Ibunya tidak canggung.
"Ndah, tadi begitu Ibu masuk sekolah ini, Ibu benar-benar canggung Ndah. Bahkan Pak ojek yang Ibu tumpangi gak percaya kalau anak Ibu sekolah di sini," bisik Bu Aminah, Ibunya Indah.
"Iya Bu, gak apa-apa. Santai aja."
"Tapi Ibu canggung."
Sambil melirik sekeliling melihat serba rapi, serba bersih, dan serba modern. Belum lagi, pakaian yang dipakai para wali murid semuanya sungguh sangat bagus-bagus. Seharusnya ia tak perlu mengambil rapot seperti ini. Lihat saja pakaiannya, yang sudah sepuluh tahun terakhir dipakai pergi ke acara-acara yang agak penting. Seperti rapat RT atau kondangan. Memang, menjalani hidup sebagai orang miskin sungguh sangat sulit. Tidak pernah ada kebahagiaan sedikitpun. Semua serba sulit. Bahkan hanya untuk makan saja, setiap hari harus berpikir tentang uang. Bu Aminah mengambil nafas panjang, bingung jika ingat dengan kondisinya yang serba kekurangan. Apalagi, mengingat suaminya sedang sakit seperti saat ini. Maka, tidak ada yang bis dilakukan lagi selain tetap berhenti. Entah sampai kapan. Mungkin, hanya kematian saja yang membuatnya istirahat dari semua Penyiksaan ini.
"Iya Bu, Indah seneng banget Ibu bisa berkunjung ke sini."
"Tapi Ndah, apa ini acaranya masih lama?"
"Nggak kok Bu. Di sini on time. Sebentar lagi juga dimulai. Oh, ya Bu, aku duduk di sini lo biasanya." Kata Indah mengalihkan pandangannya, karena melihat beberapa anak yang saling mengenalkan orang tua pada teman-teman mereka.
"Ndah, Ibu pulang saja ya."
Indah menelan ludah. Yah, pasti saat ini Ibunya sangat tidak tenang. Bagaimana tidak. Di situasi seperti ini, tentu Ibunya yang amat sangat sederhana itu, menggunakan jilbab cokelat yang memang itu yang paling bagus, serta raut wajah yang terlihat lebih tua dari umurnya, serta sandal wanita yang sudah aus dan sangat ketinggalan jaman. Tidak seperti para wali murid lainnya yang membawa mobil, oleh-oleh untuk guru, perhiasan emas yang bergemerincing di tangan, atau pakain dan tas branded yang harganya bisa untuk membeli rumah.
"Sudah Bu, Ibu tenang saja. Sebentar lagi acaranya selesai. Ok."
Bu Aminah menghela nafas panjang, berharap ia bisa bebas dari tempat duduk dan kelas anaknya yang wangi ini.
Tak lama Bu Popi datang. Ia tersenyum dan mengedarkan seluruh pandangannya ke kelas. Meletakkan buku dan mengambil kunci almarinya, ia sedikit heran. Pada sosok wanita paruh baya yang terlihat wajahnya seperti menahan tangis. Di sampingnya duduk Indah yang berarti wanita itu adalah Ibunya. Baiklah, ini adalah kesempatannya untuk ngobrol dengan Ibu gadis itu.
"Baik Ibu-ibu saya mulai ya. Assalamualaikum, warohmatullohi wabarokaatuh ...."
"Waalaikumus salaam, Warahmatullahi Wabarokaatuh."
Bu Popi tersenyum, memulai acara pembagian rapotnya. Ia mulai melaporkan hasil belajar peserta didik selama enam bulan belakangan ini.
Bu Aminah menunggu acara selesai. Entahlah, ia hanya seperti duduk di kursi panas saja. Melihat lingkungan yang ternyata sangat wah dan mewah seperti ini sungguh membuatnya sangat tidak nyaman.
"Baiklah, Ibu-ibu, Bapak-bapak mohon maaf, untuk acara pembagian raportnya saya mulai dari sekarang ya."
Setelah sekitar tiga puluh menit melaporkan hasi belajar secara keseluruhan, Bu Popi mulai membagikan rapot satu persatu.
"Indah."
Bagai mendapat durian runtuh Bu Aminah segera berdiri dan maju ke depan. Indah sempat tersenyum dengan wali murid lain.
"Ndah, kenalin, ini Bapakku, calon mertua kamu," bisik Leo.
"Huuu ...," membuat anak-anak bersorak.
Indah hanya tersenyum sambil mengangguk pada lelaki paruh baya yang duduk di samping Leo. Selanjutnya ia tak berani menatap para tamu undangan yang lain saat melanjutkan langkah menuju ke depan.
"Iya Bu, silahkan tanda tangan di sini. Dan ini rapotnya Indah ya," kata Bu Popi saat Indah dan Ibunya sudah duduk di depan.
"Iya Bu, terimakasih," ujar Bu Aminah sambil tanda tangan.
"Indah kenapa pretasi belajarmu menurun?"
Deg!
Bu Aminah menatap Indah, tak menyangka ternyata anaknya seperti ini.
"Em, i ... iya Bu. Maaf," ujar Indah sambil menunduk. Ia pikir, wajar jika prestasinya menurun. Ia sudah menebaknya. Lagipula, apa yang harus dipikirannya. Semua sudah terjadi dan ia sendiri tak bisa berbuat banyak.
"Baik, Ibu hanya berharap di sini kamu bisa belajar dengan tenang ya."
"Apa ada masalah?" tanya Bu Aminah.
"Em, nggak ada kok Bu," Indah melirik Bu Popi.
"Lalu, kenapa menurun? Kan kasihan Bu Popi sudah capek-capek ngajar kamunya gak becus."
"Em, iya Bu, maaf," Indah menunduk, menyadari kesalahannya.
Bu Popi tersenyum, "Nggak apa-apa kok Bu. Nanti di semester dua Indah janji lebih giat lagi kan."
"Iya Bu," Indah di mengangguk, "Em, kalau begitu, kita permisi dulu ya Bu. Soalnya, kita harus segera menjenguk Ayah di rumah sakit."
"Jadi, Ayahmu sakit, pantesan jadi Ibu yang mengambil rapotmu."
"Iya Bu."
"Sakit apa?" Tanya Bu Popi, terlihat ada guratan cemas di wajahnya.
"Em ...," Indah melirik Ibunya.
"TBC Bu. Mohon doanya ya."
"Oh. I, iya Bu," Bu Popi mengangguk, "semoga lekas sembuh ya. Tapi sekarang keadaannya bagaimana?"
"Alhamdulillah sudah baikan kok Bu. Cuma masih perlu rawat inap."
"Oh iya-iya. Ya sudah, kalau begitu kita kapan-kapan aja ya ngobrolnya," tukas Bu Popi.
"Iya Bu, terimakasih," Indah bergegas. Begitu juga Ibunya. Mereka bersalaman dengan Bu Popi akrab sekali. Sementara anak-anak lain mulai jengah. Kenapa kalau ada rapotan selalu saja Indah dan orang tuanya yang didahulukan. Sudah gitu, Bu Popi terihat sangat perhatian sekali sama Indah. Padahal, mereka itu kan orang miskin. Kenapa malah mendapat perhatian lebih.
*****
Sepanjang perjalanan menaiki metromini, Bu Aminah sudah tidak tahan ingin bicara dengan Indah. Tapi, melihat raut wajah Indah yang sangat polos dan tak sabar ingin segera bertemu Ayah, ia urung untuk bertanya. Mungkin lain waktu saja.
Tak lama mereka sampai di rumah sakit. Sedikit berlari kecil Indah segera menuju ruang inap tempat Ayah dirawat.
"Ayah," Indah berhambur memeluk Ayah saat ia sudah sampai di sana.
"Ayah, bagaimana kabar Ayah?" tanya Indah sambil menatap lelaki enam puluh tahun itu.
"Ayah sudah baikan nak."
"Ha, kakak peringkat dua puluh satu. Gak salah nih."
Deg!