Seorang cewek berrambut cokelat dengan tantop kuning serta celana hitam panjang mucul dari dalam kamar mandi. Ia mengambil jajanan di dalam kantong plastik yang disimpan di dalam almari dapur.
Ia tersenyum manis pada Vian dan menatap aneh Indah yang tergeletak tak sadarkan diri. Bagaimana bisa, gadis polos seperti ini dapat dengan mudah dibodohi.
"Ok, sekarang, kita bereskan anak ini," kata Vian.
Gadis itu tersenyum aneh. Ia membantu Vian membawa Indah ke tempat tidur.
"Sekarang bagaimana? tanya gadis itu.
"Lakukan tugasmu!"
"Baiklah," gadis itu tersenyum.
*****
Indah sedikit membuka mata saat ia menemukan dirinya di tempat tidur. Kepalanya langsung pusing saat ia melihat cahaya lampu yang menempel di atap kamar. Cahaya itu menyilaukan mata. Membuat ia harus berkedip beberapa kali. Pelan, ia mengumpulkan ingatannya yang tercecer di kepala. Susah payah ia membuat pandangannya jelas.
"Hai, sudah bangun?" Vian menatap Indah sambil tersenyum.
"Ini dimana?" Indah masih mengumpulkan ingatannya yang tercecer di kepala.
"Satu jam lalu kamu tertidur. Ada waktu lima belas menit kita harus sudah kembali ke kamar sekolah."
"Hem. Apa? Eh, tapi kok, aneh ya. Aku tiba-tiba ketiduran gitu."
"Iya, kamu ngantuk berat. Sudah, ayo."
Vian mulai berkemas. Indah turun dari tempat tidur dan merapikan rambutnya.
"Cuma tidur doang?" tanya Indah merasa bodoh.
"Iya. Lupakan soal lima puluh juta. Dan ingat, jangan sampai hal ini ada yang tahu. Bilang, kalau uang itu kau dapatkan dari seseorang yang selalu kau bantu menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Ok."
Indah menarik nafas lega, "Ok."
"Ayo."
"Baiklah."
Merekapun bergegas kembali ke sekolah.
Indah dengan cepat segera mempersiapkan peralatan sekolah. Entahlah, ia sedikit merasa senang dengan apa yang sedang bergelayut di hatinya. Tatapan mata Vian membuatnya luluh bahkan mengira dunia yang amat luas ini hanyalah miliknya sendiri.
Ia merasakan bahagia yang aneh, dan ia berharap, tak rasa ini tak akan hilang begitu saja.
*****
Dengan mengendap Indah mulai memasuki kamar. Ia membuka pintu dengan sangat pelan. Kembali menutup pintunya, dan mengendap-endap ke tempat duduknya.
"Apa?"
"Jadi beneran aku udah tidur sama Haris."
Deg!
"Oh ya, serius. Terus gimana?"
"Udah, pokoknya enak banget. Coba deh."
Indah mendengar suara bisik-bisik itu. Dengan sangat pelan ia menuju tempat tidurnya.
"Tapi aku coba sama siapa?"
Terdengar suara cekikikan.
"Kamu tuh lucu banget. Ya sama pacar kamu lah."
"Emang dia mau?"
"Laki-laki mana yang nggak mau tidur sama pacarnya. Kucing kalau dikasih ikan pasti mau kan. Begitu ibaratnya."
"Tapi aku nggak punya kucing. Apalagi ikan."
"Aduh, ini aku serius. Malah diajak bercanda."
Indah langsung menyembunyikan dirinya di balik selimut sambil tetap memasang indera pendengarannya dengan tajam.
"Terus?"
"Ya udah, pokoknya kamu ajak aja dia tidur. Pasti mau deh."
"Yakin?"
"Yakinlah."
"Kok bisa?"
"Ya bisalah, namanya cowok."
Indah menelan ludah di balik kegelapan kamar. Tidur. Kenapa rasanya sakit. Terus enak. Dan dia, sudah tidur sama Vian barusan. Tapi, dia nggak merasa apa-apa. Hanya pusing sedikit. Dan enak. Enak apanya. Indah menelan ludah, bingung dengan perkataannya sendiri. Ia masih memasang pendengarannya dengan seksama.
*****
Tak terasa, waktu berlalu bagai desingan peluru. Indah menjalani hari dengan masalah yang sama. Tak ada teman dan hanya rasa sepi yang selalu menggoda. Dan cowok-cowok itu. Leo, Vian, Kevin, Xinan, dan Wahyu. Mereka masih memaksa Indah untuk diam-diam menjadi selingkuhannya. Seperti apapun Indah mencoba mengelak, tapi, siapa sangka. Mereka tidak pernah putus semangat. Hingga satu minggu berlalu dari malam sejak ia tidur dengan Vian. Indah mencoba menjalani semua dengan normal. Dan ia sedikit menjalani semua dengan apa adanya. Karena memang bagi Indah, hidup harus dijalani. Karena bagaimanapun juga, seperti apapun hidup, memang harus dijalani dengan sabar.
Dan kali ini, Vian sudah siap bertemu dengan Bu Popi. Sebenarnya, ia sedikit merasa aneh pada keadaan. Tapi, ia yakin. Semua pasti akan baik-baik saja.
"Kenapa kamu memberi imbalan pada Evrin dan Gina hanya untuk menjadi teman Indah?"
"Em ...."
"Ayo jawab. Kenapa?"
tanya Bu Popi saat ia memanggil Vian untuk menghadapnya.
Vian sedikit lega karena ia dipanggil hanya untuk ini. Sebelumnya, ia sedikit khawatir kalau ini ada hubungannya dengan dirinya dan Indah saat malam kemarin. Malam saat ia tidur bersama Indah. Dan malam itu, ia yakin. Adalah malam istimewa buat Indah. Ya, gadis lugu itu, pasti sangat polos dan tidak tahu apa-apa bukan.
"Ya, karena saya kasihan lihat dia Bu."
Bu Popi mengerutkan kening, seperti ada yang janggal, "Benarkah?"
Vian mengangguk, "Iya Bu. Masak Vian bohong?"
"Ok deh. Ibu percaya sama kamu. Ibu harap, kamu nggak merusak kepercayaan Ibu."
"Baik Bu."
"Bagus. Ingat ya, jaga baik-baik Indah. Jangan sampai kau mengecewakannya."
"Maksud Ibu?"
"Dengan kamu bersikap baik seperti ini, tidak menutup kemungkinan kan jika Indah suka sama kamu."
"Ah, Ibu ada-ada saja. Nggak mungkin Indah suka sama saya. Saya, nggak menaruh harapan kok Bu, padanya.
*****
Indah berjalan menyusuri koridor sekolah. Kabar terakhir yang didapat Ayahnya sudah mendapat pertolongan dan sedang dirawat inap. Sebenarnya, ia ingin sekali mengambil cuti sekolah. Meski hanya beberapa jam saja. Toh rumahnya masih satu kota dengan sekolah ini.
Tapi, apa daya. Sebentar lagi ujian semester tiba dan ia tidak bisa berbuat apa-apa selain belajar dan belajar. Masalahnya akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang mengganggunya, sehingga pelajarannya terganggu.
Satu minggu berlalu dan tak terasa Indah sudah melewati masa ujian itu. Seperti biasa pebagian laporan hasil belajar tiba dan wali murid wajib datang untuk mengambil hasil pembelajaran putra-putrinya.
"Ibu," lirih Indah sambil berlari ke arah Ibunya saat ia melihat sang Ibu tiba di halaman sekolah.
"Indah," wanita lima puluh tahun itu memeluk anak sulungnya.
"Bagaimana kabar Ibu?" Indah melepas pelukannya.
"Alhamdulillah sehat nak. Kamu sendiri bagaimana?"
"Saya juga sehat Bu. Ayah bagaimana?"
"Sudah dua minggu Ayah dirawat di rumah sakit. Nanti setelah ambil rapotnya kamu langsung ikut Ibu ya menjenguk Ayah."
"Iya Bu," Indah tersenyum lega. Ia tak perduli dengan hasil nilai belajarnya selama enam bulan terakhir ini. Yang ia pedulikan hanyalah kesehatan Ayah.
"Baiklah Bu, kita ke dalam yuk," Indah segera membawa Ibunya ke kelas dimana rapotnya akan dibagikan.
Sesekali mereka berpapasan dengan Ibu dan anak lainnya yang juga akan mengambil rapot. Sementara Indah sudah tak sabar untuk pulang dan liburan selama dua minggu ke depan. Memang setelah penerimaan raport anak-anak diperbolehkan langsung pulang untuk liburan.
"Eh, si cupu sama Ibunya. Kelihatan banget kalau mereka miskin," kata Jeny dan kawan-kawannya, saat berpapasan dengan Indah.
Deg!