"Maksud kamu?" Indah merasa dadanya sesak.
"Nanti aku yang ngatur. Kamu hanya perlu menemuiku di sini, nanti malam jam sembilan."
Deg!
Indah sulit menelan ludah, "Maksud kamu tadi apa tidur denganku? Bukankah selama ini kita tidurnya harus dipisah dan tidak boleh satu kamar antara laki-laki dan perempuan?" suara Indah terdengar bergetar.
"Iya. Nanti kamu akan tahu. Ok," Vian tersenyum sekilas, lalu pergi.
Sementara Indah masih bingung dengan perkataan Vian tadi. Jelas ia sangat kecewa tapi juga berharap banyak padanya. Mau bagaimana lagi. Tapi, tidur dengan Vian. Memangnya ngapain? Kenapa harus tidur dengannya?
Dengan gontai Indah berjalan dan tak terasa ia tersesat. Tak menemukan kelasnya kembali. Ia sampai di koridor lantai dua. Mengedarkan pandangannya, dan bertemu dengan salah satu anak perempuan yang tidak peduli. Ia jadi mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Terdapat tempat sampah yang lumayan bagus bersandar di dinding tepat di depannya. Dengan bingung Indah mencoba membuka salah satu kamar. Terdapat enam tempat tidur yang masing-masing tersusun dua. Almari bagus dan jendela yang mewah juga. Bingung, Indah menutup pintunya kembali.
Ia melangkah dan membuka pintu salah satu ruangan lagi. Terdapat balkon untuk menjemur baju dan kamar mandi yang sangat bersih. Setelah mengedarkan seluruh pandangannya kembali ia menutup pintu.
Tak lama ia berjalan dan menemukan sebuah ruangan besar yang kosong. Ini aula. Tempat dilaksanakannya pertemuan-pertemuan. Di sebelahnya sebuah ruang kelas bersih yang semuanya berlantai granit dari gedung sekolah ini, menambah kesan mewah di kelas ini. Papan tulis bersih serta tempat duduk per anak yang nyaman. Yang semua terbuat dari besi paling mahal di kota ini. Indah mengalihkan pandangannya dan menemukan pemandangan menakjubkan di koridor sekolah. Masih di lantai dua, tapi dari sini ia seperti menemukan view lain di sekolah ini yang paling mempesona. Rerumputan hijau bergoyang, menghiasi pinggir tembok yang didesain untuk pagar.
Seorang anak perempuan terlihat berdiri dan merenung di sana. Mungkin, ia juga punya masalah sepertinya. Tempat ini, memang enak untuk merenung. Masalahnya, kemana dia selama ini? Kenapa baru sekarang menemukan tempat seindah ini di sekolah elite seperti ini.
Pelan, Indah melangkah. Ia harus segera menemukan kelasnya. Sebelum nanti, kembali berpikir tentang kata-kata "tidur" dari Vian.
*****
Indah sudah menunggu selama lima menit di gudang ini. Yang ia rasa, sudah sangat lama. Seharian, banyak sekali yang dipikirkannya. Tentang bagaimana keadaan Ayahnya, apakah uangnya sudah ditransfer atau belum. Dan tentang kata-kata tidur yang Vian bilang sebentar lagi ia akan mengerti. Ah, entahlah. Semua terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Tak lama Vian muncul. Dan malam ini, ia seperti tak biasanya. Menggunakan celana dan jaket bermerk yang sangat bagus dan sudah pasti paling mahal di kota ini.
"Hai, suah lama?" sapa Vian.
Indah hanya bisa melongo tak menyangka Vian bisa sebegitu tampannya. "E ... Ng ... nggak kok."
Vian tersenyum. Aroma parfumnya membuat Indah sedikit senang menghirupnya.
"Ayo." Sebelum Vian berhasil meraih tangan Indah, mereka harus buru-buru bersembunyi, mengingat terlihat bayangan sesosok orang dibalik lampu minyak yang selalu menyinari sedikit ruangan di tempat mereka bertemu, hanya untuk sekedar melihat sebuah objek meski tidak begitu jelas.
Mereka segera bersembunyi di bawah meja tak jauh dari tempatnya semula. Terlihat seorang cowok yang seperti menunggu seseorang dengan gelisah. Rupanya, cowok itu juga punya kegiatan yang sama dengan Vian serta Indah.
Indah menelan ludah, merasakan genggaman tangan Vian yang erat, dan membuatnya merasa nyaman. Kapan lagi tangan ini digenggam cowok kekar, tampan, dan kaya seperti ini. Perlahan, Indah merasakan sedikit kebahagiaan yang membuatnya bisa melupakan masalah yang begitu berat dan sangat buruk sekalipun.
Dan di saat yang sama, Indah ingin sekali bertanya, tentang, uang itu. Apakan ia sudah transfer atau belum. Tapi, sepertinya sudah. Bukankah tidak ada telepon lagi untuknya. Berarti sejauh ini mungkin sudah aman. Hibur Indah dalam hati.
Vian masih mengawasi anak lelaki itu. Setelah bertemu dan bicara sejenak dengan anak perempuan yang baru saja menemuinya, mereka segera pergi. Entah kemana. Mugkin saja mendapat dispensasi dari Pak Galak, tentu dengan sedikit uang yang memang harus dibayarkan.
"Mereka sudah pergi, ayo," bisik Vian.
Dug!
"Aduh," pekik Indah. Membuat ia harus menunduk kembali. Rasa sakit yang luar biasa membuat ia harus mengusap-usap kepalanya.
Vian terekeh, "Makanya hati-hati."
"Habis ini serem banget aku takut kalau ketahuan."
"Iya ya sudah, ayuk." Vian menggandeng Indah lagi dan mengajaknya ke suatu tempat. Tentu saja sambil mengendap-endap dan tetap waspada, takut kalau-kalau ada yang memergokinya.
"Kita mau kemana?" bisik Indah.
"Shuut .... Udah kamu tenang aja." Kata Vian sambil meletakkan telunjuknya di mulut. Kali ini, Vian membawa Indah memasuki kawasan halaman belakang sekolah yang luas yang disekelilingnya dipenuhi tanaman pepohonan rindang dan kuat.
Indah mengawasi sekeliling. Malam semakin gelap dan udara dingin mulai menusuk tulang, membuatnya merapatkan jaket.
Mereka sampai di sebuah tempat sampah besar sebagai pembuangan tetakhir di kawasan sekolah itu.
Indah menutup hidung karena bau sampah yang menyeruak. Sementara Vian membuka tutup sebuah tempat sampah lain di sisinya.
"Ngapain?"
"Ayo masuk," bisik Vian.
"Apa?" Indah terkejut. Sorot matanya membulat seperti mau copot.
"Sudah nanti kamu juga tahu sendiri," Vian membawa Indah masuk. Hanya sebuah kotak tanpa sehelai sampah satu pun. Kotak seukuran dengan orang dewasa dengan lebar 2x2 sentimeter.
Vian langsung membuka pintu besi yang mulai berkarat. Mereka segera memasuki lorong gelap yang lumayan panjang sebelum Vian menutup itu kembali.
"Tempat apa ini?" tanya Indah penasaran.
"Sudah kamu masuk aja," kata Vian seraya memasuki lorong itu duluan.
Meski takut tapi Indah sudah kepalang basah. Apalagi, ada hal penting yang belum ia katakan. Lorong itu cukup kecil tapi bisa menampung satu orang dewasa saat duduk. Maka mereka berjalan sambil jongkok sejauh lima ratus meter, cukup membuat Indah lelah.
"Vi, apa kamu sudah mentransfer uangnya?" tanya Indah mengusir rasa ngilu yang mulai menjalari kaki.
"Sudah dong sayang, kamu tenang aja." Kata Vian sambil tersenyum, membuat Indah merasakan bahagian yang aneh.
"Ah terimakasih," ingin rasanya ia bersorak.
Tak lama mereka sampai di ujung lorong. Harus sedikit melompat karena tempatnya yang ternyata tinggi. Ada satu ruangan lagi yang mirip seperti ruang pertama. Indah masih sibuk mengawasi sekeliling saat Vian mulai membuka tas kecilnya dan mengambil sebuah kunci untuk membuka pintu besi itu.
Begitu Vian membukanya kesan gelap yang menyapa. Saat Vian menyalakan lampu betapa terkejutnya Indah karena sebuah kamar berukuran lumayan besar terpampang rapi di sana. Ternyata mereka sudah berada di dalam kamar, lengkap dengan tempat tidur, kamar mandi luas, televisi besar yang tertempel di tembok, serta mini kitchen bersih dan harum.
Indah bergetar. Ada satu hal rahasia lagi yang ia temukan di sekolah ini. "Tempat apa ini?" Tanyanya sambil tetap mengawasi barang-barang mewah yang ada di kamar itu.
"Di sini nanti kamu akan tidur denganku. Sesuai dengan janji kamu. Ya kan."
Deg! Indah takut sekaligus penasaran. "Kenapa aku harus tidur denganmu? Bagaimana jika ada anak yang mencari?"
"Siapa yang peduli denganmu? Tidak ada Indah."
Deg! Iya juga sih. Siapa yang peduli denganku. Mau ke laut kek. Mau mati kek. Mau hidup kek. Juga nggak pernah ada yang peduli.
"Ok." Desis Indah, seperti sedang tidak berada di ruangan itu.
"Ini, minumlah!" Vian sudah menyodorkan gelas berkaki satu yang dulu sering dilihat Indah saat melihat sinetron di rumah tetangga.
Ragu Indah meminum cairan itu. Wek. Pahit. Indah hampir saja memuntahkan cairan yang sudah ditelannya sebelum akhirnya dengan terpaksa semua cairan itu tertelan juga.
"Kok pahit?" desisnya.
Tak lama ia mulai merasakan pusing yang hebat dan membuatnya jatuh tak sadarkan diri.