Chereads / Liebe Wand / Chapter 35 - MISKIN

Chapter 35 - MISKIN

Leo begitu saja menempelkan mulutnya ke pipi Indah.

"Lepas!" Teriak Indah sambil melepaskan dirinya.

"Kenapa?" Leo terkejut.

"Jangan pernah sentuh aku!" Ujar Indah seraya pergi keluar.

"Ndah," teriak Leo sebal. Selalu seperti ini.

"Udah." Teriak Indah, tak peduli.

*****

Indah hanya bisa merenungi nasibnya. Entah, kenapa selalu seperti ini. Bayangan masa lalunya yang sepi, perlahan menghantui. Ia merindukan masa-masa itu. Dimana tidak ada yang peduli, dan menemaninya. Terkadang, kesendirian memang surga tersembunyi dalam hidup ini.

"Indah, dipanggil Bu Indra. Ada telpon katanya," ujar Ana.

"Telpon. Oh iya, maskasih ya." Kata Indah meski lawan bicaranya sudah pergi. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya dan segera berlari ke ruang telpon.

"Halo," ujar Indah pias. Tapi ia juga senang ditelpon pada saat diluar jam komunikasi. Dalam satu minggu, setiap anak mendapatkan jatah menelpon orang tua dengan waktu lima belas menit. Dan di ruangan ini, ada seratus box untuk telpon, yang didesain satu box berisi satu pesawat telpon dan satu kursi kecil. Hatinya penuh dengan harap-harap cemas. Ia berharap mendapatkan kabar baik. Tapi, rasa rindunya juga membuncah.

"Halo, kak Indah?"

"Iya ini siapa?" Kalau menelponnya mendadak seperti ini, ia jadi khawatir. Pasti ada sesuatu yang sangat penting.

"Kak, aku kangen. Keluarga juga kangen."

Indah menghembuskan nafas. Kirain ada apa. Pikirnya dalam hati. Tentu ia sangat senang bisa mendengar suara keluarganya. Sekedar melepas rindu dan mendapat sedikit hiburan dari segala permasalahan yang ada di sini.

"Iya. Kakak juga kangen. Bagaimana keadaan semuanya, baik-baik kan," Indah sadar, Bu Indra tentu tidak akan memanggilnya jika keluarga tidak ada urusan mendesak.

"Semua baik-baik saja Kak. Cuma ...."

"Cuma apa?" Indah mulai khawatir.

"Cuma Ayah masuk rumah sakit Kak. Dan nggak ada biaya untuk kesana."

Deg!

"M ... mak ... maksud kamu?" Indah bingung. Tapi juga takut mendengarkan penjelasan selanjutnya.

"Iya Kak. Ayah masuk rumah sakit. Dan kita harus menyiapkan uang lima puluh juta. Dan harus cepat Kak. Sekarang juga. Atau Ayah tidak akan ditangani."

"Ini Bela kan."

"Iya Kak, ini aku Bela."

"Kamu yang sabar ya."

"Iya Kak, nggak ada pilihan lain kan."

Indah menelan ludah. Bela baru kelas dua SMP tapi ia harus sudah membantu mengurus adik-adik dan ia hanya main-main di sini. Indah memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan. Perlahan, rasa menyesal menyelinap di hati. Seharusnya, di sini ia dengan serius belajar. Bukan cuma main-main seperti ini.

"Dengar Bel. Ayah kan sudah punya BPJS."

"Kak, penanganannya lama. Aku takut kalau Ayah tidak segera ditangani. Apalagi, sudah banyak rumah sakit yang kita datangi tapi tak mau. Alasannya kamar penuh Kak."

"Ok. Kamu tenang aja. Sebentar lagi Kakak transfer ya."

"Makasih Kak."

"Untuk biaya transportasi dan lain-lain bagaimana?"

"Itu gampang Kak. Aku bisa pinjem sana-sini. Yah, meskipun harus mendapatkan amarah dan perlakuan kasar dulu."

Indah menelan ludah, "Bisa pinjam saudara ya Bel."

"Kak, Kakak kan tahu keluarga-keluarganya Ayah kayak gimana. Mereka cuma berisik dan nyalahin terus tapi nggak pernah mau bantu. Sementara keluarganya Ibu cuma bisa ngasih nggak seberapa meskipun mereka kaya-kaya."

"Udah-udah, kamu yang sabar ya. Nanti Kakak akan pulang jika selesai ngurusin transferan ya. Oh ya, Ayah sakit apa?"

"Batuk. Nggak selesai-selesai Kak. Kakak kan tahu lima tahun ini Ayah suka batuk-batuk. Dan setengah jam tadi muntah darah. Dan harus segera ditangani kan."

"Ok, sekarang kamu ke rumah sakit, yakinkan jika pasti akan kita bayar. Yang penting Ayah harus segera ditangani."

"Baik Kak. Aku tunggu transferannya ya."

"Ok. Kakak titip semuanya ya."

"Iya Kak."

"Maafkan Kakak gak bisa bantu nunggu Ayah."

"Tak apa-apa Kak. Kakak di sana cari uang, sama aja kan."

"Iya, sekali aku titip semuanya ya."

"Iya Kak, oh ya sudah gitu aja ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumus salaam."

Tut ... tut ... tut ....

Sambungan telepon terputus. Indah menarik nafas panjang dan hanya bisa meletakkan ganggang telepon di tempatnya dengan lemas. Padahal, ia masih ingin ngobrol banyak dengan Bela untuk melepas rindu, tapi situasinya seperti ini.

Dan sekarang, darimana ia mendapat uang sebesar itu. Belum lagi nanti biaya obat dan lain-lain. Ya, meskipun tiap bulan ia selalu mengirim uang sakunya untuk keluarga. Tapi tetap saja. Bukankah biaya kehidupan di Ibukota sangat mahal.

Indah membuka pintu box dengan gontai. Ia menunduk dan menatap sepatu usangnya yang nggak banget. Belum lagi baju seragamnya yang sudah tidak layak pakai, meski ia rawat setiap hari. Dan lihatlah anak-anak di sini. Jika sedang tidak berseragam, baju mereka bagus-bagus. Hampir setiap hari baru. Koperasi sekolah yang menyediakan berbagai keperluan yang lengkap dan bisa disebut toserba, selalu menyediakan stok baju, sepatu, tas, yang selalu baru dan up to date. Sementara pakaiannya .... Itulah kenapa ia selalu dipandang sebelah mata. Tidak diperhitungkan dan bahkan dianggap tidak ada.

Pelan, Indah melangkah sambil tetap merenungi semua. Yah, memang ternyata semua memerlukan uang. Ia menghentikan langkah saat sampai di balkon kelas tingkat dua. Lihatlah, begitu megah dan indahnya gedung sekolah ini. Ruang kelas yang modern berjajar membentuk huruf U. Dihiasi beberapa tanaman hias yang membuat suasana sedikit lebih segar. Tapi, begitu banyak hal buruk yang harus dilalui.

Perlahan, gadis berrambut panjang sebahu yang selalu mengurai rambutnya itu mengingat masa-masa saat ia masuk pertama kali di sekolah ini. Betapa ia dengan nilai-nilai dan prestasinya berhasil mendapatkan beasiswa untuk bisa sekolah gratis di sini.

Tapi sekarang, kenapa semua berbanding terbalik. Semua terasa hampa, kosong, dan tak ada apa-apa. Yang ada hanya sepi, sendirian, dan sekarang, begitu banyak masalah yang datang.

Indah mengambil nafas panjang. Memikirkan sesuatu yang harus dilakukannya. Perlahan, ia mendapat titik terang. Ya, ia harus melakukannya. Lagipula, tidak ada pilihan lain bukan.

*****

"Berapa?" tanya Vian.

"Mmmm ...," Indah bergumam, ragu.

Seperti biasa di gudang lama, setelah Indah mengirim memo ke bangku Vian untuk bertemu sebentar, dengan alasan pergi ke toilet pada Guru, mereka bisa bertemu di sini. Tempat ini seolah telah mejadi tempat rahasia mereka untuk bertemu.

"Lima puluh juta, ayahku sakit." Kata Indah dengan sorot mata yang berair karena membendung tangis dan menyimpan harapan yang besar.

"Tulis nomer rekeningnya. Nanti aku ke koperasi untuk mentransfer ya."

Deg! Bagai menemukan angin segar Indah merasa mendapat udara yang telah lama dirindukannya.

"Benarkah, terimakasih Vi."

"Tapi ada syaratnya."

"Kenapa pakai syarat segala?"

"Iya dong. Hari ini mana ada yang gratis."

"Tapi jangan sulit-sulit ya. Dan apakah kira-kira aku bisa melakukannya?"

"Tentu bisa dong. Dan itu mudah. Kamu pasti bisa melakukannya."

"Apa?"

"Tidurlah denganku."

Deg!