"Maksud kamu?" Wahyu terkejut, mengerutkan keningnya.
"Iya, aku ingin kita putus aja."
"Indah aku kan sudah bilang sama kamu. Jangan pernah peduli dengan Jeny. Aku hanya main-main sama dia. Apa kalau kamu cemburu lebih baik aku putusin saja dia. Gimana?"
Indah menggeleng, "Bukan Wahyu. Bukan masalah aku cemburu atau tidak. Aku cuma ingin kita beneran putus."
"Atau, kamu minta jadi pacar sah aku? Nggak masalah. Mungkin kamu hanya perlu resmi mutusin Leo dan kita jadian. Aku akan umumin. Biar satu sekolah tahu. Bagaimana?"
"Nggak Wahyu, bukan itu. Ingat, kita di gudang ini kita nggak punya banyak waktu. Aku harus segera masuk kelas pengembangan diri. Pokoknya, mulai sekarang kita putus."
Deg!
"Nggak, Indah!"
"Udah, kita putus aja." Sergah Indah seraya pergi sebelum Wahyu berhasil menarik tangannya.
"Ta ... tapi kenapa?"
Indah mengatur nafas, bingung dengan apa yang harus dikatakannya.
"Sama Bu Popi, kita nggak boleh pacaran."
"Alasannya?"
"Sudah Wahyu aku mau kembali dulu."
"Kasih tahu dulu apa alasannya?"
"Ya, alasannya cuma itu, kita nggak boleh pacaran?"
"Aturannya siapa?"
"Takutnya nanti kita terjerumus ke hal-hal yang tidak pernah kita inginkan."
Deg!
"Maksud kamu?"
Indah menghela nafas, "Pokoknya, aku bilang putus berarti kita putus. Ok." Indah sedikit meninggikan suara sebelum berhasil keluar.
"Heh, Indah, tunggu ....."
"Sudah Wahyu. Pokoknya kita putus," Indah menghentikan langkahnya.
"Nggak mau."
"Udah ah, pokoknya mau," teriak Indah.
Wahyu menghampiri Indah, "Jangan gitu. Itu alasan yang tidak beralasan."
"Bukannya tidak beralasan Wahyu. Pokoknya aku minta kita putus ya."
Wahyu menggeleng, "Aku tidak mau."
Indah tak menggubris, ia hanya bisa lari sekencang-kencangnya sebelum akhirnya bisa masuk kelas dengan aman. Ia mengambil nafas panjang, mulai duduk di bangkunya dan mengatur na
*****
Pagi hari. Seperti biasa anak-anak makan dengan tertib. Waktu mereka hanya lima belas menit sebelum pelajaran pertama dimulai. Setelah mengambil makanannya, Indah bersiap mencari tempat duduk. Ia pias saat melihat Evrin dan Gina bersama geng cantik. Mereka tertawa dan terlihat bahagia sekali. Sementara dirinya ....
Indah menghela nafas panjang, seolah menghilangkan semua beban. Dengan mencoba untuk tidak mempedulikan mereka, ia mulai duduk di tempat yang masih kosong. Menelan ludah, mencoba untuk memulai makan.
"Eh, Vrin, kasihan tuh, sendirian aja. Kamu nggak nemenin dia lagi?" Tanya Jeny tak jauh dari tempat duduk Indah.
"Yah, biar Vian nyari cewek lain aja buat jadi teman bayarannya Indah. Aku mah udah males," kata Evrin sinis. Berbanding terbalik berapa hari lalu, saat ia selalu bersikap manis di hadapan Indah.
"Wah, kamu kok gitu sih sama teman kamu."
"Iya nih, kasihan kan," kata Jeny.
"Tahu nih sih Evrin, nggak kasihan apa sama dia."
"Nggak boleh gitu dong. Kan kamu best friendnya dia."
"Iya nih. Hahaha ...."
Mereka tertawa, tak berhenti mencemooh Indah.
Entahlah, air mata seakan tak bisa terbendung. Indah urung menghabiskan makanannya. Tapi, ia bisa kena hukuman Pak Galak jika tidak habis. Maka, dengan susah payah Indah menghabiskan sarapan meski terburu-buru. Entahlah, ruang makan ini sekarang seakan dipenuhi para pengkhianat. Lihat saja Evrin dan Gina, serta Pak Galak yang sok garang tapi bisa luluh begitu saja jika diberi uang. Dan itu semua membuat ia semakin muak saja.
*****
Indah hanya bisa melangkah gontai merenungi nasibnya kini. Ya, para lelaki yang menyukainya memang masih mengejar-ngejar dia. Tapi, entah kenapa semua terasa hampa begitu saja.
Kini, ia sampai di halaman sekolah yang luas dan bersih. Anak-anak banyak yang berlalu lalang, sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Seragam jas merah muda kebesaran sekolah ini, sangat cocok dipadu dengan ornamen dan arsitektur bergaya afrika modern.
Bel berbunyi saat ia memasuki kelas. Pak Mario masuk sebelum semua anak duduk di tempatnya masing-masing. Mereka segera menyiapkan buku yang diletakkan di meja masing-masing.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumus Salaam," hanya sedikit saja yang menjawab. Yang lain masih sibuk dengan urusannya sendiri.
"Kalau ada yang mengucap salam, tolong dijawab ya. Bapak ulangi. Assalamualaikum, anak-anak," kata Pak Mario lebih tegas.
"Waalaikumus Salaam ...," jawab anak-anak meski masih banyak yang tidak peduli.
"Baik, kali ini Bapak akan menjelaskan tentang Indahnya zina di luar sana." Pak Mario mulai menyiapkan laptop serta menyalakan layar proyektor. Beberapa anak mulai masuk dengan nyelonong begitu saja.
"Baik, coba perhatikan ini."
Anak-anak masih banyak yang tidak peduli. Mereka masih ngobrol dan sibuk sendiri.
"Coba perhatiannya sebentar."
"Eh, kalau dilihat-lihat Pak Mario ini memang cakep banget ya," bisik Gina.
"Iya, mirip banget sama Ariel," desis Evrin.
"Tolong yang diperhatikan materi yang di depan ya. Jangan saya."
"Ah Bapak bisa aja," ujar Jeny. Semuapun tertawa terbahak-bahak.
"Sudah-sudah. Semua konsentrasi ke depan dan Bapak akan mulai menjelaskan."
Indah membenarkan letak duduknya.
"Indahnya zina di luar sana," Pak Mario menampilkan slide pertama.
"Ada yang tahu, zina itu apa?" Pak Mario mengedarkan pandangannya.
"Zina itu membuat anak di luar nikah Pak," celetuk Feri.
"Hahaha .... Gimana rasanya buat anak tuh. Pasti enak deh," celutuk yang lain.
"Hahaha ...."
Semua pun gaduh.
"Shuut ... tenang. Sekarang, Bapak akan menjelaskan apa itu zina. Dengarkan baik-baik!"
"Wah. Apaan tuh zina?" celutuk Andi.
"Makanya Ndi, dengerin dulu penjelasannya Pak Mario," kata Jeny.
"Iya nih. Tahu tuh anak."
"Ok, ok."
"Tenang ya, anak-anak. Bapak akan mulai menjelaskan," kata Pak Mario.
"Baik Pak," seru anak-anak.
Anak-anak mulai tenang. Sebagian mulai bersiap mendengarkan dan lebih banyak yang tak peduli. Mereka makin asyik dengan rutinitas masing-masing.
"Zina adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Zina tidak hanya sebatas melakukan hubungan di luar nikah. Tapi zina ada bermacam-macam," Pak Mario mulai membuka slide kedua.
"Waduh, zina seperti itu. Berarti kita banyak melakukan dosa dong," bisik Evrin.
"Iya nih, kayaknya kita harus bertaubat," gumam Maria.
"Maka dari itu, ki
Dan Indah mulai bosan. Padahal jam pelajaran baru saja dimulai. Ia membuka bukunya dan mulai mencatat. Melirik Evrin dan Gina sebentar. Sungguh, kehilangan teman adalah patah hati yang amat dalam. Daripada kehilangan seribu kekasih sekalipun.
"Catatanku ....
Tinta yang kugoreskan disetiap lembar kertas ....
Kurangkai setiap kalimat dan maknanya ....
Aku tahu, masih terbawa mimpi malam itu ....
Dan seharusnya tak jadi nyata ....
Yang tak seharusnya datang berulang-ulang
Karena hanya menghadirkan rasa sakit yang amat dalam
Kecewa ... luka ....
Kadang aku berpikir, apakah ini nyata?
Aku masih bertanya, menghadirkan amarah dalam diri
Kecewa ... luka ....
Dan tak ada obatnya ....
Pun tak ada tandingannya
Bukti kerusakan tinta ini adalah hadirmu
Kecewa ... luka ....
Yang kau goreskan dalam hati dan tak akan pernah mau pergi
Tetap abadi di dalam relung jiwa ini."