Chereads / Liebe Wand / Chapter 32 - PUTUS

Chapter 32 - PUTUS

"Maksud kamu?"

"Maksud aku ya kita putus aja."

"Kenapa?" tanya Leo terkejut.

"Nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa kok minta putus? Em, kamu, lebih memilih cowok lain ya daripada aku."

"Bukan begitu Le. Ya, sebenarnya aku sayang sama kamu. Cuma aku pengen kita putus aja."

"Iya tapi apa masalahnya? Kamu jelasin dulu dong."

"Ya, karena pacaran itu nggak boleh."

Indah menghela nafas, bingung dengan apa yang harus dikatakannya. Ia tahu, Leo pasti nggak akan menerima alasannya begitu saja.

"Apa karena aku nggak setampan dan sekaya mereka?"

"Buka begitu."

"Lalu apa. Kalau cuma nggak boleh pacaran? Itu kayaknya bukan alasan yang tepat deh. Kenapa nggak dari dulu?"

"Ya karena aku baru tahu sekarang."

"Oh ya, kata siapa?"

"Kata Bu Popi."

"Alasannya apa. Udah deh kamu bilang aja kalau aku jelek dan miskin. Nggak seperti anak-anak yang lain. Ya kan."

Deg!

Indah menggeleng cepat "Bu, bukan itu. Aku cuma nggak mau pacaran aja."

"Kenapa?"

"Ya karena nggak boleh sama Bu Popi."

"Alasannya apa Bu Popi ngelarang kita pacaran?"

"Ya, karena dia guru kita makanya kita harus nurut."

"Tapi Bu Popi harus ngasih penjelasan yang jelas dong, kenapa kita nggak boleh pacaran."

"Udah deh Leo, nurut aja sama Bu popi."

"Kan alasannya belum jelas. Jadi aku nggak mau nurut."

Indah menelan ludah, sulit dengan apa yang harus dikatakannya, "Em .... Ya kan Bu Popi kemarin bilang ke aku kalau kita tidak boleh pacaran."

"Iya. Itu dia masalahnya. Kenapa nggak boleh? Apakah itu melanggar hukum? Nggak kan."

"Ya, Bu Popi takut aja sih. Kalau kita sampai keluar jalur."

"Keluar jalur gimana?" Leo mengerutkan keningnya.

"Kalau kita sampai melakukan yang tidak-tidak. Kan bahaya."

Leo mengambil nafas panjang, "Melakukan hal yang tidak-tidak. Apa sih maksudnya?"

"Ya, kalau kita ...."

"Shuuut ...," Leo meletakkan telunjuknya di bibir Indah.

"Udah, jangan ngomong aneh-aneh. Yang jelas, aku cuma ingin pembuktian aja dari kamu. Apakah kamu benar-benar sayang sama aku atau nggak."

"Pembuktian apa?" Indah meletakkan telunjuk Leo.

"Pembuktian cinta lah."

"Maksudmu?"

"Udah. Kamu diem ya," Leo mulai menyodorkan bibirnya. Membuat Indah bergidik.

"Tikus!"

"Mana?"

Deg!

Leo tersentak. Mengurungkan niatnya.

Sebuah papan bekas jatuh. Menimbulkan suara berisik. Debu mulai menyeruak.

"Ada tikus tahu nggak," kata Indah panik.

"Mana sih."

"Udah ah. Ini sudah waktunya kelas. Kita balik yuk," kata Indah seraya pergi keluar.

"Tapi, kita nggak jadi putus kan," teriaknya.

"Kenapa nggak?" Indah berhenti.

"Aku sayang sama kamu. Aku nggak mau kita putus."

"Udahlah Leo. Kalau aku bilang kita putus ya artinya putus."

"Dan kalau aku bilang nggak, artinya ya kita nggak putus."

"Udah ah."

Sementara Leo hanya bisa menatap kepergiannya sambil menarik nafas panjang. Ia bingung, mulai mencari akal supaya Indah mau balikan.

*****

Indah mencoba bersikap biasa saja saat ia menemukan sepucuk surat di dalam lokernya. Ia melirik ke kanan dan kiri memastikan kondisi aman.

Buru-buru ia mengambil surat itu dan bergegas menutup loker serta memasukkan suratnya ke dalam saku jas sekolahnya.

Buru-buru ia pergi ke toilet dan bergegas membuka surat itu. Tangannya sampai gemetar karena ingin segera tahu apa isi surat itu.

"Dear Indah. Maaf, ada hal yang perlu kamu tahu. Tapi janji ya, jangan sampai ada pihak manapun yang tahu.

Kemarin, aku jalan sama Jeny. Kita memeng sudah resmi pacaran. Tapi ingat, meski dunia tak pernah peduli, dan kenyataan selalu mengingkari, aku akan selalu cinta sama kamu.

I love you Indah. Aku yakin, kami pasti juga mencintaiku. Nanti kita ketemuan ya. Di tempat dan jam biasa."

Deg!

Indah bingung. Bagaimana ia bisa mendapatkan surat itu. Lalu, bagaimana ia bisa menerima Wahyu lagi. Bukankah, ia ingin putus dari Leo. Tapi, kenapa yang ini malah masih ngajak selingkuhan.

Lalu, bagaimana soal jalan-jalan itu. Kenapa bisa keluar jalan-jalan. Bukankah tidak boleh. Tapi, bagaimana bisa mereka keluar?

Indah mengambil nafas panjang, meremas surat itu. Tidak, intinya, ia tidak boleh pacaran dengan siapapun. Bukan begitu?

*****

"Apa? Putus?" Wahyu menatap Indah tak percaya.

"Nggak. Aku nggak mau."

"Ayolah Wahyu."

"Aku nggak salah dengar kan."

"Nggak kita putus aja ya."

"Apa?"

Indah mengangguk. Sebisa mungkin ia menghindar tatapan mata yang membuatnya bahagia itu.

"Kenapa? Aku kan sudah bilang. Jeny itu cuma main-main. Aku nggak sayang kok sama dia."

"Oh ya, kok bisa kamu keluar?"

Wahyu tersenyum, bingung, "Em ... sebenarnya, aku dibukakan pintu rahasia sama Pak Galak."

"Kok bisa. Bukankah Pak Galak sangat menjunjung tinggi peraturan."

"Tinggal membayar sedikit saja. Dia sudah mau membukakan pintu untuk kita."

"Apa?" Indah menelan ludah. Tak menyangka ternyata bisa semudah itu.

"Pokoknya aku akan selalu sayang sama kamu. Dan Jeny hanya aku mainin aja kok."

"Kenapa kamu bisa tega seperti itu?"

"Bukankah dia suka mempermainkan kamu. Yah itung-itung buat balas dendam kamu ke dia."

"Balas dendam. Aku nggak pernah mikirin sampai itu Yu. Udah biarkan aja."

"Tapi kan dia selalu jahat sama kamu."

Indah tersenyum, "Iya biarkan aja udah. Nggak penting."

Wahyu menarik nafas panjang. Ia gak menyangka Indah bisa secuek itu.

"Kamu memang orang yang pemaaf ya."

"Ah, biasa aja Yu." Indah tersipu, senang dipuji seperti itu. Apalagi, jika yang memujinya adalah Wahyu, orang yang sangat ia suka. Apalagi, ketampanannya itu, sungguh membuat hatinya berdesir.

"Itu yang membuat aku semakin suka sama kamu. Kamu orangnya mudah memaafkan dan gak gampang dendam."

"Ah, kamu terlalu berlebihan Yu. Toh kemarin aku juga marah kan."

"Ya itu wajar. Karena memang semua orang kalau dibegitukan terus ya lama-lama marah Ndah."

Indah semakin tersipu. Untaian kata yang dialun Wahyu serasa menghujam jantungnya. Apalagi, jika menatap wajah rupawan itu. Sungguh, membuat semua terasa begitu syahdu. Kerlingan mata coklat yang menghiasi bentuk wajah sempurna, wajah asli negara ini. Kulit sawo matang dipadu dengan tubuh atletis. Dan suara itu, dengarlah. Sungguh mempesona dan membuat siapa saja yang mendengar merasakan ketenangan.

Indah sulit menelan ludah, merasakan pesona indah wajah itu.

"I love you," kata Wahyu pelan, mulai mendekati dan menggenggam tangan Indah.

Sementara Indah terkesiap. Ia seperti sesak nafas. Entahlah, seperti ada banyak butiran cinta yang membuat paru-parunya sulit menerima udara. Keringat dingin keluar, mulai susah mengatur nafas. Bahkan jantungpun berdegup sangat kencang. Entahlah, rasanya seperti sebuah penyakit aneh yang sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata tentang bagaimana rasanya.

Tapi, sebuah pikiran melintas. Indah menelan ludah, sebisanya berkata, "Maaf, kita putus saja ya."

Deg!