"Kenapa Bu?"
"Ya nggak boleh Indah."
"Tapi kenapa, banyak kan anak-anak yang pacaran."
"Iya, tapi mereka itu salah. Sebenarnya itu nggak boleh."
"Kenapa nggak boleh?"
Bukankah pacaran itu indah. Semenjak ada Leo, Indah jadi merasa tidak sendirian lagi. Ada yang peduli dan perhatian padanya. Kenapa malah disuruh putus. Kan sayang.
"Ibu kasih tahu kamu ya. Pacaran itu hanya mendatangkan masalah. Kalau bisa dihindari saja. Itu hanya akan membuat semangat belajarmu runtuh."
"Kenapa harus dihindari Bu? Sementara pacaran bisa membuatku jadi lebih bersemangat."
"Kamu yakin? Selama ini bagaimana sih gaya pacaran kamu sama Leo?"
"Biasa aja Bu."
"Biasa gimana?"
"Ya biasa aja. Kita ngobrol."
"Hal yang paling jauh yang pernah kamu lakukan?"
"Maksudnya?"
"Maksudnya ya, selama ini,gaya pacaran kamu seperti apa?"
"Ya, biasa Bu. Ketemu biasa."
"Beneran biasa?"
"Iya."
"Coba deh kamu ingat-ingat!"
Deg! Indah menelan ludah. Iya. Bukankah ia sama Leo pernah di gudang. Mau ngapain ya, sepertinya Leo mau .... Ah, masak gitu sih? Indah jadi bingung sendiri. Tapi, ia kan nggak ngapa-ngapain. Dan memangnya mau apa? Pikir Indah dalam hati.
"Iya sih Bu. Leo, pernah mengajak aku berduaan, terus ...."
"Terus apa?" Bu Popi panik. Ia tak mau hal buruk terjadi pada anak didiknya ini.
"Terus Leo kayak mau megang gitu Bu. Untungnya ada Kevin. Ia yang mengingatkan kita untuk menghentikan hal itu."
"Tuh kan. Ibu bilang jangan sampai pacaran. Coba kalau waktu itu tidak ada Kevin. Kalian bisa melakukan hal buruk yang lebih jauh lagi."
Indah menelan ludah. Meski kurang paham dengan hal buruk seperti apa yang dimaksud, tapi tak ada pilihan lain selain mengangguk. "Iya Bu, saya akan putusin Leo."
Bu Popi tersenyum, "Nah gitu dong. Yang pasti bagaimanapun juga kamu harus hati-hati. Jangan sampai berperilaku buruk dan membuatmu sampai melakukan hal yang sama-sama tidak kita inginkan."
"Iya Bu."
"Ibu seneng deh. Kamu mau nurut sama Ibu."
"Sama-sama Bu. Indah juga berterimakasih sekal karena sudah diingatkan."
"Iya Indah, ini semua demi kebaikan kamu bukan."
"Iya Bu. Indah janji, Indah nggak akan pacaran."
"Kamu benar-benar murid yang sangat baik. Mau menerima dan mendengarkan saran dari Ibu. Semoga kelak kamu menjadi orang sukses ya."
"Iya Bu, Amin, terimakasih."
"Sama-sama."
*****
Jeny sudah mulai bosan menunggu saat terlihat Wahyu datang. Raut wajahnya sumringah. Akhirnya, yang sudah lama ditunggu datang juga. Pikir Jeny dalam hati.
"Hai."
"Hai. Sudah lama?"
"Ya, lumayan."
"Gimana. Udah kamu urus semua?"
Jeny mengangguk senang, "Sudah kok."
"Ok."
"Tapi, kamu yakin?"
"Yakinlah."
"Kalau ketahuan bagaimana?"
"Kamu takut?"
"Nggak dong. Ngapain takut?"
"Ya udah ayo."
Maka mereka mulai berjalan keluar melalui semak-semak rerumputan liar yang tumbuh di belakang sekolah. Saat ini sudah malam, waktunya anak-anak tidur. Tapi Jeny dan Wahyu dengan sedikit uang untuk Pak Galak maka mereka bebas keluar. Meski bukan waktunya pulang atau liburan.
Pak Galak sudah menunggu di bawah pohon mahoni yang rindang. Setelah melihat mereka, ia segera membuka pintu kecil yang tertutup ilalang dan hanya bisa dia yang membuka. Karena hanya dia yang memegang kuncinya. Jenu berdebar. Sebenarnya, ia sedikitpun takut menyelinap seperti ini. Tapi, jika mengingat ia bersama Wahyu, maka kekhawatirannya sedikit berkurang.
"Ingat, waktu kalian hanya dua jam," kata Pak Galak. Suara dinginnya menyatu dengan jambang yang sengaja dibiarkan lebat supaya terlihat lebih garang.
"Baik Pak," kata Wahyu.
"Hati-hati."
"Iya Pak, terimakasih."
"Sama-sama."
Pak Galak segera memberikan kunci motor yang terparkir di pinggir jalan tak jauh dari tempat Wahyu berada.
Dengan sigap Wahyu dan Jeny segera memakai helm yang juga sudah disiapkan di atas motor. Dalam sekejap mereka sudah melaju dengan motor sport pinjaman Pak Galak pada temannya.
Satu detik kemudian, dengan sigap dan waspada Pak Galak segera kembali ke dalam dan mengunci pintu rahasia, lalu menutupnya kembali dengan rumput ilalang. Dengan kewaspadaan yang tinggi, ia mengamati sekeliling.
*****
Suasana malam yang ramai. Gemerlap lampu menghiasi pinggir jalan. Toko, warung makan, restoran, rumah, hotel, ruko, halte, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas umum lainnya menghiasi sepanjang jalan kota.
Gedung-gedung tinggi menjulang indah, menambah pemandangan kota yang semakin terlihat canggih di setiap tahunnya.
Jeny dan Wahyu menikmati pemandangan kota itu dengan perasaan bahagia yang membuncah. Biasanya yang dilihat hanya buku, tembok sekolah yang megah mengelilingi bangunan gedung yang rapi, dan itu-itu saja. Dalam satu tahun hanya bisa pulang dua kali. Dan masing-masing hanya diberi waktu dua minggu. Tidak ada ponsel, televisi, atau hiburan lainnya. Yang ada hanya belajar dan belajar. Satu-satunya hiburan bagi mereka hanyalah hobi. Mereka bisa membunuh waktu dan kebosanan dengan melaksanakan hobi masing-masing.
Meski masih ragu dan sedikit malu Jeny melingkarkan tangannya di pinggang Wahyu. Dan Wahyu tersenyum, merasakan tangan lembut dan putih itu.
Wahyu mengajak Jeny berkeliling kota selama tiga puluh menit. Waktu segitu sudah cukup buat mereka puas melepas penat dan pikiran mereka. Paling tidak, bisa menambah energi untuk belajar dan menjalani kehidupan di sekolah.
"Bukankah sebentar lagi mall nya tutup." Kata Jeny saat mereka mulai memasuki salah satu mall terbesar di kota itu.
"Masih ada waktu kok. Sebentar aja lumayan," ujar Wahyu.
Saat mereka menaiki eskalator, dengan ragu Wahyu mencoba memegang tangan Jeny.
"Eh, kita kesana yuk," kata Jeny sambil berlalu.
Wahyu sedikit malu tapi, ia menyembunyikan rasa itu sambil tersenyum, "Ok." Ia urung memegang tangan Jeny.
"Yu, aku denger kamu suka sama Indah?"
"Oh ya?"
"Iya, beneran kamu suka sama dia?"
"Kenapa, kamu tanya begitu?"
"Ya aku kan cuma nanya."
"Memangnya kenapa?"
"Pokoknya jawab deh. Beneran kamu suka sama Indah?"
Tanya Jeny saat mereka melihat pemandangan kota dari jembatan layang. Suasana sejuk dan dingin membuat mereka semakin dekat. Hembusan sepoi angin menghangatkan dua insan ini yang baru saja jadian.
"Kamu percaya dengan hal itu?"
"Jadi maksud kamu, itu apa?"
"Jeny, kamu dan Indah bagai langit dan bumi kan. Nggak mungkin lah."
Jeny tersenyum. Membuat Wahyu sedikit malu. Entahlah, kenapa malam ini ia begitu sangat pemalu. Apalagi, jika menatap wajah Jeny yang sangat cantik. Imut, hidung mancung, bibir sexy dan kulit putih itu, sungguh membuatnya sedikit bahagia.
Pelan, Wahyu mulai memegang tangan Jeny. Ia tersenyum, membuat Jeny merasa sangat istimewa. Ia menyambut uluran tangan itu. "Kita sudah dua jam diluar, waktunya pulang."
Wahyu mengangguk.
*****
"Hai Ndah, apa kabar? Kamu udah baikan kan." Kata Leo saat ia bertemu dengan Indah, seperti biasa di gudang lama.
"Iya aku baik-baik aja."
"Beneran?"
Indah mengangguk, "Le, kita putus aja ya.
Deg!