"Em ...," Indah bingung. Tak tahu harus berkata apa. Kalau ia menceritakan hal yang jujur sama Bu Popi, sudah pasti hal itu hanya akan membuatnya malu. Bukankah dirinya memang memalukan. Indah mulai mengutuki dirinya sendiri.
"Em, nggak apa-apa Bu."
"Yakin, nggak apa-apa?"
Indah mengangguk, "Iya Bu, aku baik-baik saja kok, aku nggak apa-apa," Indah menampilkan wajahnya yang ceria.
Bu Popi mengambil nafas panjang. Taman sekolah yang sepi karena memang jam ekskul serta pengembangan diri, memaksa anak-anak untuk belajar di lab sekolah. Sedangkan kali ini, dengan terpaksa Indah tidak mengikut kelas menulis karena sedang ada masalah yang harus didiskusikan dengan Bu Popi. Ia berharap, dengan sedikit diskusi kali ini, bisa membuatnya sedikit lebih tenang.
"Nggak apa-apa bagaimana? Ibu kan sudah bilang. Kalau ada masalah apapun silahkan dibicarakan sama Ibu. Sudah pasti Ibu mau membantu kamu."
"Trimakasih atas perhatiannya Bu."
Karena ini sebenarnya adalah masalah buruk. Indah benar-benar malu mengutarakannya pada siapapun. Apalagi sama Bu Popi. Masalahnya, bagi dirinya, menjadi anak pemalu adalah hal yang sangat memalukan.
"Sama-sama Indah, sekarang kami cerita ya."
"Em ... saya hanya ...." Air mata Indah pun tumpah. Entahlah, sebenarnya ia sudah menahan air mata itu. Tapi tumpah dengan sendirinya. Butiran air mata yang mati-matian ia tahan pun mengalir, sangat sulit ditahan, seperti masalah ini yang benar-benar tak bisa lagi ia anggap sepele.
Dengan penuh kasih sayang Bu Popi memeluk Indah. Ia tahu, tak mudah bagi gadis introvert sepertinya menjalani kehidupan di sini. Butuh perjuangan dan ekstra sabar untuk menghadapi tantangan di setiap harinya.
Bu Popi membiarkan isak tangis Indah mengiringi suasana sepi taman. Hanya suara kicauan burung, air gemericik taman, serta angin yang membuat tubuh terasa dingin. Biarlah Indah mengekspresikan kesedihannya. Biarlah isak tangis itu membuatnya istirahat sejenak dari kenyataan, serta biarlah ia menumpahkan segala rasa sedihnya selama ini.
Dan Indah, seperti tidak sadar menyandarkan kepalanya di pundak Bu Popi. Sebenarnya, ia sangat malu dengan hal ini. Tapi mau bagaimana lagi. Semua terasa begitu buruk. Entahlah, bersandar di pundaknya terasa sedikit menenangkan.
Dan Bu Popi, selama masa observasinya ia melihat Indah mulai bisa berteman. Entah kenapa tiba-tiba saja ada yang mau berteman dengannya. Mengingat dengan status sosialnya, ia selalu mendapat perundungan dari teman-temannya.
Mungkin memang sedang ada masalah pertemanan sehingga membuat Indah seperti ini. Ya, masalah dengan teman dekat memang bisa membuat kondisi psikologis sedikit terganggu. Apalagi, jika itu berhubung dengan anak pendiam seperti Indah. Tentu sangat menyiksa. Mungkin, bagi orang lain ini hanya masalah sepele. Tapi bagi anak pendiam seperti Indah ini, tentu hal seperti ini bukanlah perkara mudah.
"Bisa kau mulai bercerita, ada apa sebenarnya?"
"Iya Bu."
"Baiklah, Ibu siap mendengarkan."
Semakin ditanya Indah semakin menangis. Hal ini membuat Bu Popi harus menunggunya dengan sabar, supaya emosinya bisa lebih tenang.
Lima menit berlalu, dan Indah masih menumpahkan kesedihannya. Tapi, menangis terus seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Sementara berkata yang sesungguhnya pada Bu Popi hanya akan membuatnya malu. Maka, Indah mulai berhenti menangis. Ia memaksakan diri untuk lebih tenang, serta mengusap mukanya yang basah dengan air mata. Bagaimanapun juga, ia harus bersiap untuk mejadi lebih tenang, dan itu akan membuatnya menjadi lebih dewasa bukan.
"Ada apa?"
Indah menarik nafas panjang, memaksa diri untuk mulai bercerita.
"Tapi, saya malu Bu."
"Kenapa meski malu, nggak perlu. Ibu pasti merahasiakan masalahmu. Jadi kamu nggak usah malu ya."
"Tapi, bagaimana dengan Ibu. Ibu pasti akan menghinaku kan."
Deg!
"Menghinamu bagaimana? Tentu tidak sayang. Ibu janji tidak akan menghinamu. Itu namanya kamu su'udhon sama Ibu."
Indah menelan ludah, merasa bersalah. "Iya Bu, saya minta maaf."
"Ok, sekarang, ceritakan sebenarnya apa yang terjadi."
Sudah kepalang basah. Mau bagaimana lagi. Dengan terpaksa dan bingung, akhirnya Indah mulai menceritakan masalahnya.
"Jadi Bu, saya di sini temenan kan sama Evrin dan Gina. Awalnya saya bingung kenapa tiba-tiba mereka mau berteman sama saya. Tapi setiap hari, mereka semakin baik. Dan hal itu memaksaku untuk berteman dengan mereka Bu. Ya, meski sangat merasa aneh. Tapi, aku pikir semua orang itu baik. Semua orang tidak ada yang berniat jahat sama temennya. Tapi ...."
"Tapi apa?"
"Tapi, tadi saya dengar pembicaraan mereka. Bahwa, mereka mau berteman denganku karena dibayar sama Vian. Mereka benar-benar nggak tulus Bu, ternyata."
"Dibayar, kok bisa?"
"Itu dia masalahnya Bu, saya juga tidak tahu. Kenapa Vian menyuruh mereka untuk sekedar berteman dengan saya."
"Kenapa Vian membayar?"
Indah mengangat pundak.
"Jadi ini semua ada sangkut pautnya dengan Vian?"
Indah mengangguk pelan.
"Memangnya, ada apa dengan Vian?"
"Akhir-akhir ini, banyak yang menyukai saya Bu. Termasuk Vian."
Deg!
"Maksud kamu?"
"Em ... Ibu percaya nggak sih, kalau saya disukai banyak cowok. Padahal saya sudah punya pacar Bu. Leo namanya."
Deg! Bu Popi menelan ludah. Sungguh, ini semua terlihat sangat aneh. Bagaimana tidak. Jangankan punya pacar. Punya teman saja tidak kan.
"Kok bisa?"
"Iya itu Bu. Aku juga bingung. Dan yang semakin membuatku bingung juga ya itu Bu. Kenapa, banyak sekali cowok yang suka dan perhatian sama aku. Dan hal itu juga yang membuat Vian mau membayar Evrin dan Gina hanya untuk menjadi temanku."
Bu Popi menarik nafas panjang. Menurutnya, pacaran itu tidak boleh. Bukankah itu mendekatinya zina namanya. Tapi, dalam kasus Indah hal ini sangat aneh.
"Lalu, apa yang membuatmu bersedih sampai seperti ini. Meski merasa aneh tapi kalau mendapat banyak perhatian kenapa nggak kan."
"Itu dia Bu. Awalnya aku merasa, mendapatkan teman sungguh sebuah anugerah yang tak akan pernah bisa dibandingkan dengan apapun. Aku sangat bahagia Bu. Aku benar-benar bersyukur pada Allah. Tapi, ternyata, mereka temenan sama aku tuh tidak tulus Bu. Ya, aku cuma dijadikan bahan mainan aja."
"Baik itu mudah, Ibu akan bicara sama Vian tentang hal ini. Lalu, bagaimana hubunganmu dengan Leo?"
"Semua baik-baik saja kok Bu."
"Ok, kamu yang sabar ya. Anggap di sekolah ini, Bu Popi teman sekaligus orang tua kamu. Ada apa saja, kamu tak perlu khawatir dan silahkan bercerita pada Ibu."
Indah menelan ludah, sedikit lega, "Iya Bu. Terimakasih untuk semua ini Bu. Sekarang, aku jadi sedikit lega.
"Iya sama-sama. Pokoknya kamu harus tetap fokus belajar, jaga diri baik-baik, dan jangan sampai sedih lagi. Kalau ada apa-apa, bicarakan sama Ibu."
Indah mengangguk, "Iya Bu."
"Dan satu hal lagi. Jangan pernah pacaran. Putusin Leo."
Deg!