"Nggak usah Jeny. Silahkan kamu duduk aja. Biar Pak Galak yang mencarinya."
Deg!
"Atau saya saja Bu, bagaimana?"
"Nggak usah Leo. Tidak ada yang perlu mencari Indah. Biar Ibu yang menghubungi Pak Galak."
"Benar-benar aneh tuh anak," gumam Jeny.
"Jeny, tolong jaga bicara kamu ya."
Leo mendengus kesal. Ia bingung sekaligus was-was. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada Indah. Lagipula, ini begitu sangat aneh. Biasanya Indah bersama Evrin dan Gina tapi sekarang mendadak menghilang. Kemana dia sebenarnya. Ia khawatir jika sesuatu terjadi padanya.
*****
Indah masih menangis tersedu-sedu saat Pak Galak memasuki gudang lama. Mendengar ada orang, buru-buru Indah mengusap air matanya. Sebisa mungkin ia membersihkan hidung yang mulai penuh dengan ingus.
"Kamu di sini?" tanya Pak Galak. Sorot matanya tajam serta suara yang berat membuat ia semakin terlihat kejam. Belum lagi tongkat pendek yang selalu dibawanya kemana-mana. Bersiap untuk memukulkannya pada siapapun yang melanggar.
"Em, Pak?" Indah tergagap. Dengan gugup ia berdiri. Jantungnya berdegup kencang bersiap menerima hukuman atau umpatan apa saja dari Pak Galak.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Pak Galak berjalan pelan mendekati Indah, membuatnya ketakutan.
"Em, sa saya ...."
"Kenapa kamu menangis?"
Indah menggeleng, "Tidak ada apa-apa Pak."
"Kalau tidak ada apa-apa tak perlu menangis bukan."
"I ... iya sih Pak."
"Lalu kenapa tidak ke kelas?"
"Iya Pak, sa ... saya cuma sedang sedih saja."
"Sedih, kalau boleh tahu sedih kenapa?"
Indah menelan ludah, bingung dengan apa yang harus dikatakan, "Sa ... saya cuma sedang sedih saja Pak."
"Iya. Sedih kenapa? Ya sudah nanti kamu bisa cerita sama Bu Popi ya."
"I ... iya Pak," Indah menunduk.
"Sekarang kamu bisa masuk kelas!"
"Mas ... masuk Pak?" Indah tidak habis pikir jika ia masuk dengan keadaannya yang seperti ini. Bisa malu dan ditertawakan sama orang-orang. Belum lagi kalau mereka tahu jika habis menangis. Pasti akan semakin dibully.
"E ... iya Pak, saya akan masuk."
"Baik. Masuklah. Nanti Bapak akan menghubungi Bu Popi."
"Kalau bisa ... jangan dilaporkan Bu Popo ya Pak."
"Kenapa?" Pak Galak menaikkan sebelah alisnya.
"Em ...," Indah menunduk, bingung harus berkata apa.
"Apa kamu melakukan kesalahan?"
Indah menatap wajah garang itu, lalu menggeleng lemah.
"Lalu, kenapa tidak boleh saya laporkan?"
"Em, nanti malah merepotkan Bi Popi Pak," kata Indah pelan.
"Lah, guru kan memang selalu direpotkan murid. Itu sudah menjadi tugasnya."
Indah sulit menelan ludah.
"Sudahlah, pergilah! Yang jelas nanti saya akan melaporkan kami pada Bu Popi. Karena itu sangat penting," kata Pak Galak, dengan sorot mata yang yang tajam menatap Indah.
Deg! Indah menelan ludah. Baiklah, sekarang ia kena masalah baru lagi. Ia menghela nafas panjang, mencoba memgatur nafas.
Pelan ia mengusap mata dan membersihkan air matanya, lalu pergi keluar. Pak Galak menatap punggungnya hinggap berlalu. Ia menggeleng, heran dengan anak pendiam satu itu. Karena memang terlalu pendiam, ia jadi sulit menyesuaikan diri di sekolah elite ini. Pikir Pak Galak dalam hati.
*****
Indah memasuki ruang kelas dengan gontai. Sebenarnya, ia ingin sekali pergi ke tempat lain. Bahkan keluar dari sekolah ini. Tapi, hal itu adalah pikiran buruk. Tentu jangan sampai terjadi. Tapi menghadapi saat seperti ini sungguh sangatlah sulit. Meski bingung, ia tetap masuk. Ia menelan ludah, mengambil nafas panjang dan berusaha mengaturnya.
"Permisi." Katanya lirih, bahkan nyaris tak terdengar.
"Indah. Darimana kamu?"
Semua mata melihat Indah yang menunduk lesu.
"Maaf Bu, saya terlambat," desisnya.
Bu Popi meihat Indah sedang tidak baik-baik saja. Evrin dan Gina berpandangan.
"Baiklah silahkan duduk. Nanti Ibu bicara sama kamu ya."
Indah mengangguk pelan, berjalan menuju tempat duduknya.
"Eh, darimana saja kamu?" tanya Jeny.
Indah hanya menunduk.
"Telinga kamu itu, bisa mendengar nggak sih," cetus Maria.
"Iya nih anak. Aneh."
"Sudah-sudah. Ada apa ribut-ribut?" tanya Bi Popi, mengamati dengan sorot matanya yang tajam.
Setiap pasang mata melihatnya dengan acuh. Indah menarik nafas panjang, mencoba duduk meski dengan sangat lemah dan lesu. Entahlah, saat ini ia benar-benar seperti ingin keluar saja dari kenyataan.
Bu Popi mencoba mencairkan suasana, memulai lagi pembelajaran. Terbesit dalam hatinya tentang Indah. Muridnya yang satu ini memang menyimpan banyak misteri.
*****
Jeny mencoba mencari titik celah tentang masalah yang dihadapi Indah. Sudah hampir tiga puluh menit ia hanya bisa mondar-mandir tak jelas di balkon sekolah. Teman-temannya sengaja tidak ia perbolehkan untuk menemaninya dulu. Entahlah, sekarang ia benar-benar ingin sendiri.
Masalahnya kenapa Vian rela membayar Gina dan Evrin hanya untuk menjadi teman Indah. Mereka bilang, Vian juga menyukai Indah. Dan sungguh hal itu sangat mengganggu pikirannya. Masalahnya, sepertinya itu sangat tidak mungkin jika Vian benar-benar menyukai Indah. Dan kalau benar-benar menyukai, dengan alasan apa hal itu bisa terjadi. Bukankah itu sangat tidak mungkin. Indah memang gadis culun yang sebenarnya sangat tidak pantas bersekolah di tempat ini. Dia benar-benar cewek aneh dan kuper. Bukankah hanya akan mendatangkan masalah demi masalah saja di sini.
"Jeny."
Jeny mendengus kesal. Kenapa Maria masih nekat menemuinya. "Ada apa?"
"Jen. Dengarkan aku!"
"Aku kan sudah bilang, jangan ada yang menemuiku dulu."
"Tapi kamu akan sangat menyukai kabar ini."
"Baiklah, kelihatannya menarik. Ada apa?"
"Ini." Maria menyerahkan sebuah surat warna biru pink pada Jeny.
"Dari siapa?"
"Wahyu."
Deg!
"Wahyu?" Jeny berbinar. Ia segera membuka surat itu. Wajahnya berbinar karena Wahyu menerima cintanya.
"Kau tahu, ternyata Wahyu menerimaku."
Deg!
"Benarkah?" Maria tak percaya.
Jeny mengangguk senang. Ia bahkan dengan ceria dan sejuta rasa yang membuncah berteriak girang. Ia memeluk Maria. Tak menyangka ini adalah hal yang paling membahagiakannya. Ya, tak masalah deh dengan urusan Indah. Yang penting sekarang, ada urusan lain yang ternyata lebih indah dari apapun.
"Sekarang, kamu sudah resmi menjadi pacar Wahyu. Lalu, bagaimana dengan Indah?"
"Indah. Aku sama sekali nggak peduli."
"Benarkah?"
"Iya dong. Lagian ngapain aku peduliin dia."
"Beneran, jangan-jangan nanti kamu cemburu lagi."
Tanya Maria di tengah rasa bahagianya. Tentu ia turut merasakan kebahagiaan yang dirasakan sahabat karibnya itu. Pada akhirnya, ia lega karena Jeny sudah tak sesedih seperti kemarin.
"Ah, dia gak jelas bukan. Jadi ya sudah biarkan saja."
"Yakin, kau tidak akan cemburu?"
Jeny tertawa, "Untuk apa aku harus cemburu sama dia. Nggak ada guna sama sekali tahu nggak."
"Hahaha."
*****
"Bagaimana Indah, apa kamu sudah baikan?"
Indah mengangguk pelan.
"Baiklah, katakan apa masalahmu."
"Em ...," Indah bingung, tak tahu harus cerita apa.
Melihat Indah menunduk begitu, Bu Popi mencoba mencairkan suasana.
"Baiklah, kalai tidak mau cerita tidak apa-apa."
"Em, begini Bu ...."
"Iya, katakan saja!"
Deg!