"Imbalan? Jadi kalian minta imbalan?" tanya Maria heran.
Evrin dan Gina berpandangan.
"Ya kalau kamu bisa mendatangkan keuntungan buat kami kenapa nggak," kata Evrin sambil tertawa.
"I iya ... betul itu," kata Gina.
Maria mendengus kesal, "Itu mudah. Kalian bisa resmi menjadi anggota geng cantik jika mau mengatakan yang sebenarnya."
"Serius?" Evrin merendahkan suaranya.
"Iya dong."
Menjadi anggota geng cantik sama saja dengan ia mendapatkan kehormatan yang sangat sempurna. Bagaimana tidak. Selain harus berparas cantik, anggota geng cantik adalah cewek-cewek tajir yang sudah pasti bersedia membantu hidup anggota yang lain. Karena bagi mereka, kebersamaan adalah segalanya.
"Ok. Itu ide bagus. Tapi, kami resmi jadi anggotanya. Ntar cuma jadi jongos lagi kayak Indah kemarin."
"Ya nggak dong, ya jadi anggota resmi lah."
Maria tertawa. Ia senang karena ternyata mereka tidak tulus berteman dengan si Indah. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Karena benar-benar hal yang sant aneh jika mereka mau berteman tulus dengan Indah.
"Ok. Sekarang jelaskan ada apa sebenarnya."
"Em, gimana ya."
Evrin memberi isyarat pada Gina yang memasang tampang pasrah dan masa bodoh. Lalu ia menarik nafas panjang, dan bersiap memulai penjelasannya. Lagipula, kenapa harus menjelaskan segala pada mereka. Benar-benar menyusahkan. Tapi, tak masalah deh. Siapa tahu aku bisa menjadi anggota resmi mereka. Pikir Evrin dalam hati.
"Jadi sebenarnya, kita disuruh sama Vian untuk jadi temennya Indah. Dan kita akan dapat satu lima juta. Em, lumayan kan."
Deg!
"Apa, jadi kalian cuma pura-pura jadi temennya Indah terus dapat uang begitu?" tanya Maria terkejut.
"Iya."
"Benar-benar aneh."
Maria menghela nafas panjang. Ia mengatur nafas karena tak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya. Tapi ia bersyukur, karena Indah ternyata hanya teman bohongan. Mereka benar-benar tidak tulus.
Tak terasa Indah menjatuhkan bukunya. Membuat Evrin, Gina dan Maria menoleh. Indah tercekat.
"Eh, Indah, kamu di situ?" tanya Evrin. Ia terkejut karena tak menyangka Indah sudah berdiri tak jauh darinya.
"Ja ... jadi kalian ...," Indah tak sanggup berkata-kata.
Evrin dan Gina pias.
"Iya Indah, sebenarnya, mereka nggak tulus kok temenan sama kamu. Mereka cuma disuruh sama Vian dan dapat uang lima juta. Oh ya. Uang lima juta itu sangat banyak kan buat kamu."
"I ... iya sih. Maaf ya ...."
Deg!
Indah sulit menelan ludah. Ia benar-benar tak menyangka. Ternyata, dua orang sahabatnya yang sudah dianggap lebih dari sekedar seorang sahabat, ternyata hanya memperalatnya demi uang.
Tak terasa air mata Indah menetes. Ia menatap Evrin dan Gina yang masih mematung.
Tak tahan dengan situasi yang ada, Indah segera beranjak. Ia lari sekencang-kencangnya, berharap bisa menemukan tempat yang layak untuk menyendiri, meluapkan seluruh kekecewaan di dada. Hal seperti ini, sungguh membuatnya sakit hati.
"Indah,"
Gina segera menarik Evrin, "Sudah. Dia sudah terlanjur tahu kan."
"Dan sesuai dengan janji aku, detik ini juga kalian resmi menjadi anggota geng cantik."
"Apa?"
"Beneran?" tanya Evrin berbinar.
Maria mengangguk, "Iya, bener."
"Asyik ...," sontak Gina memeluk Evrin seperti anak kecil. Impian mereka untuk jadi anggota geng cantik tercapai sudah. Evrin dan Gina benar-benar tak percaya mereka bisa masuk. Mereka, sangat senang dan bersyukur sekali.
*****
Indah hanya bisa menangis menghadapi kenyataan yang sedang terjadi. Kali ini, gudang tempat ia biasa latihan karate dulu menjadi saksi bisu dan tumpahan air mata kesedihannya.
Entah, ia merasa sangat kecewa saja. Dan kekecewaan ini, adalah hal yang paling buruk yang pernah ia alami. Bagaimana tidak, sejak kecil, semua berjalan seperti biasa. Ia adalah anak kecil pada umumnya yang ceria dan mempunyai banyak teman.
Dan semua terjadi saat SMA. Saat ia bersekolah di tempat ini. Tak ada yang mau berteman dengannya. Hanya gara-gara ia miskin. Dan saat di titik terendah kegelapan hidupnya, sosok teman yang selalu dirindukannya hadir. Memberikan sedikit kebahagiaan di tengah kebingungannya. Menemaninya di saat-saat sulit menghadapi Jeny dan gengnya. Lalu sekarang, semua berubah begitu saja. Ia tak tahu harus bagaimana. Dan kenapa begitu terasa sangat sakit.
Indah mengusap ingus, dan isak tangisannya semakin keras. Ia benar-benar seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya.
Sungguh, hal ini sangat buruk. Ia benar-benar tak menyangka ternyata teman yang ia anggap sebagai satu-satunya teman sejati, ternyata, hanya bersandiwara demi uang. Memang, dalam menjalin sebuah pertemanan itu tidaklah mudah. Tapi paling tidak, ia sudah pernah merasakan bagaimana indahnya punya teman. Meskipun itu sulit.
*****
"Hai guys, ada berita bagus yang harus kalian ketahui sekarang. "Maria masuk diikuti Evrin dan Gina. Semua sedang bersiap untuk mata pelajaran selanjutnya.
"Ada apa Mar?" tanya Jeny. Ia berharap dapat berita bagus dari sahabat karibnya ini.
"Mulai sekarang, Evrin dan Gina resmi jadi anggota kita."
Semua berpandangan. Saling menilai apakah mereka layak untuk menjadi tim nya.
"Oh ya. Alasanmu apa? Kamu tahu kan. Kita nggak mudah menambahkan anggota. Kalau Evrin lumayan cantik. Tapi nggak tahu sama Gina. Apakah dia kaya?" tanya Jeny. Ia melipat tangan mempertimbangkan keduanya. "Dan satu lagi. Bukannya mereka temannya Indah. Mana dia? Apa dia mau kembali lagi jadi suruhan kita?"
Maria tersenyum, "Ayah Maria adalah seorang pengusaha perkebunan teh di Jawa Barat. Tentu dia kaya. Bukan begitu. Dan Indah sudah kami bereskan. Perlu satu hal yang harus kalian tahu. Selam ini, mereka tidak tulus berteman dengannya."
Deg!
"Selamat siang anak-anak," sapa Bu Popi sambil memasuki ruangan.
Hal itu membuat anak-anak menyiapkan diri dan duduk di tempat masing-masing.
"Apakah kalian sudah siap untuk pelajaran hari ini?" tanya Bu Popi sambil meletakkan bukunya di meja.
"Sudah Bu ...," seru Anak-anak.
Bu Popi mengawasi mereka satu-persatu. Memastikan keadaan mereka baik-baik saja.
"Kemana Indah?" tanya Bu Popi saat mengetahui bangku Indah kosong.
Semua saling berpandangan. Entahlah, anak itu meskipun aneh selalu saja mendatangkan masalah. Apalagi akhir-akhir ini.
"Apakahak tidak ada yang tahu Indah kemana. Bukannya ia selalu rajin?"
"Leo Bu yang tahu. Dia pacarannya kan," kata Jeny.
"Iya nih Bu . Huuuu ...," seru anak-anak.
"Sudah-sudah, tenang kalian semua. Leo, dimana Indah?"
Leo yang sedari tadi hanya senyum-senyum saja sedikit terkejut. "E, nggak tahu Bu. Soalnya saya juga baru masuk. Biasanya sama Evrin dan Gina."
Bu Popi mengalihkan pandangannya pada mereka. Sorot matanya menanyakan hal yang sama.
Sementara Evrin dan Gina saling berpandangan, bingung dengan apa yang harus dikatakan. "Eh, mungkin masih di perpus Bu. Tadi sama kita kesana. Lalu, pas bel masuk dia udah nggak ada. Tapi sebelumnya bilang nyari buku sih. Terus saya kira sudah kembali duluan," tegas Evrin.
"Ya udah Bu, biar saya saja yang mencari Indah," tukas Jeny.