Chereads / Liebe Wand / Chapter 14 - PENGGEMAR RAHASIA

Chapter 14 - PENGGEMAR RAHASIA

Lalu siapa? Pikir Indah dalam hati. Ah, pasti juga kalau bukan Wahyu ya Xinan.

Indah tersenyum. Berharap mendapatkan hal yang terbaik.

"Eh, kamu dapat surat?"

"Eh, i iya sih. Tapi nggak tahu dari siapa."

"Pasti dari pacar kamu."

"Pacarku yang mana Leo. Pacarku kan cuma kamu."

"Oh, iya juga sih."

Leo menelan ludah. Rupanya, anak-anak lain mulai mendekati Indah. Aku nggak boleh kalah start nih. Pikirnya dalam hati. Ini benar-benar buruk.

"Oh, kamu mulai punya penggemar rahasia gitu."

"Penggemar. Eh, nggak kok. Mana mungkin aku punya penggemar. Teman aja nggak."

"Lah terus, surat itu ...."

"Itu dia. Aku juga gak tahu."

"Ayo, jujur saja."

"Aku jujur Leo."

"Benarkah?"

"Iya benar."

Indah menelan ludah. Bingung dengan apa yang harus dikatakan. "Em, aku nggak tahu deh. Kamu tenang aja. Pokoknya, aku akan selalu setia sama kamu. Ok."

"Ok."

"Jadi, kita nggak perlu ketemuan lagi kayak gini kan. Karena kita backstreet."

"Ya, kita nggak ketemuan, terus kamu juga mulai punya penggemar gitu."

"Ah, sudahlah Le. Kamu tenang aja. Pokoknya, aku janji bakalan setia. Ok," kata Indah meyakinkan.

"Ok deh, aku percaya kok sama kamu," Leo mengangguk.

"Nah gitu dong."

"Iyalah, apa sih yang nggak buat kamu."

Indah menelan ludah. Dalam hati ia berfikir, kira-kira siapa yang mengirim surat itu. Meski begitu, ia berharap akan mendapatkan hal yang terbaik.

*****

Suasana kamar masih gaduh. Anak-anak ada yang sudah bersiap tidur, ngobrol dengan teman membicarakan hal yang tidak begitu jelas, atau sekedar membaca novel dan buku pelajaran untuk esok.

Indah baru saja keluar kamar mandi serta mengeringkan rambutnya yang basah, saat ia melihat ada bungkusan kado di tempat tidurnya. Ia mengambil bungkusan itu dan mengamati sejenak. Ia memperhatikan sekeliling, mencoba mencari tahu kira-kira kado ini milik siapa. Yang jelas,kado sebagus ini bukan untuk dia.

"Em, permisi, apa ini milikmu?" Tanya Indah pada salah seorang anak yang sedang sibuk membaca majalah sambil mendengarkan musik. Ia menatap kado yang Indah pegang sekilas, lalu menggeleng sebentar, sebelum mengangguk-anggukkan kepala lagi, mengikuti irama musik. Untuk apa mempedulikan anak ini. Pikirnya dalam hati.

"Ok." Indah tetap mencoba tersenyum meski tak dihiraukan.

"Apakah ada yang tahu ini punya siapa?" teriak Indah.

"Eh culun, bisa nggak sih gak usah teriak-teriak gitu ngomongnya. Ini sudah malem, bentar lagi Pak galak bakalan keliling untuk ngecek. Kamu malah teriak-teriak," desis Bela. Matanya tajam melotot pada Indah yang mulai sedikit takut.

"Oh, iya," desisisnya.

"Kira-kira, ini punya siapa ya," gumamnya.

Dengan gontai Indah kembali ke tempat tidurnya. Ia tahu, tidak akan ada yang mempedulikannya. Jadi, buat apa tanya-tanya. Lalu, bagaimana dengan kado ini. Kenapa ada di tempatku. Pikir Indah dalam hati.

Tanpa pikir panjang ia pun mulai membuka kado itu. Dengan sedikit gemetar, ia membukanya. Pikirnya dalam hati.

"Just for u, i love you,"

Indah bergetar membaca kartu ucapan itu. Di dalamnya ada kotak berisi coklat berbentuk hati, dengan warna pink dan biru, serta tulisan Indah yang membuatnya semakin menahan nafas, "I Love You, Indah."

Deg!

"Eh, apa nih."

Seseorang dengan kasar mengambil kartu ucapan yang masih dipegangnya.

Deg! Jeny.

"Eh, jangan." Seru Indah seraya mencoba mengambil kartu itu tapi tak berhasil.

"Wow ada yang dapat coklat romantis nih."

"Wah, kelihatannya enak." Maria mulai mengambil kue itu dan memperlihatkannya kepada yang lain.

"Eh jangan itu punya aku," seru Indah.

"Eh, jadi, kamu ditembak gitu. Sama siapa?" tanya Maria penasaran. Anak-anak mulai berkumpul. Jeny gerah. Tak mungkin gadis seculun Indah ada yang suka.

"Sini. Lah beneran kamu ditembak?" Jeny menelan ludah, tak percaya dengan tulisan di atas kue itu.

"Udah sini, itu punyaku." Desis Indah sambil berusaha mengambilnya kembali.

"Kayaknya enak, buat kita aja ya." Jeny tertawa, mengelak dari Indah yang terus saja akan mengambil kuenya.

"Eh jangan," Indah mendesak. Tapi Maria dan yang lainnya malah membawa kue itu keluar. Membuat anak-anak bersorak.

"Awas, hati-hati. Nanti dia ngamuk lagi, kena jotos lu," teriak salah seorang cewek.

"Eh, lu mau ngambil kue itu. Maaf ya cantik, nggak bisa. Eh, nggak ding, masak lo cantik sih." Jeny menyeringai, memegang dagu Indah hingga membuatnya sakit. Sementara tangannya sudah mengepal, hingga menampilkan buku-bukunya. Indah ingin sekali menjotos anak ini.

"Kenapa, kamu ingin mukul, pukul aja. Nggak masalah kok. Kamu bunuh aku juga gak masalah. Kamu anak yang kuat dan pintar kan."

Tapi, memukul hanya akan mendatangkan masalah. Belum harus berhadapan dengan guru jutek Bu Opi itu. Indah menelan ludah, menahan semua amarah.

"Dan satu lagi. Kue itu buat kita, bukan buat kamu. Kamu nggak pantas mendapatkan kue itu," desis Jeny. Ia melepas cengkeramannya dengan kasar. Lalu menyeringai sebelum meninggalkan Indah yang dengan sekuat tenaga menahan emosinya.

*****

Indah memasuki kamar mandi. Ia memegangi dagunya yang masih terasa sakit. Baiklah, mungkin kado itu bukan buatnya. Tapi, kenapa ada namanya. Dan siapa yang mengirimkannya. Lalu, kalau kado itu benar-benar buat dirinya, ia hanya bisa diam dan pasrah gitu melihat kuenya dimakan anak-anak. Indah menelan ludah, membayangkan kue yang enak itu. Tapi, apa yang bisa dilakukannya. Jika ia memberikan pelajaran pada Jeny lagi, sudah pasti hanya mendatangkan masalah. Dan ia tak mau itu terjadi. Lalu, apakah ia harus melaporkan semuanya pada Bu Popi.

Indah mengambil nafas panjang. Membasahi mukanya. Berharap kesegaran air itu menyegarkan pikirannya.

Ayolah, ini hanya masalah kue kan. Masalah kecil. Sepertinya tak perlu ia melaporkan pada Bu Popi. Tapi, bagaimanapun juga kuenya diambil. Ia tak bisa diam saja dong. Tapi, semuanya begitu buruk. Memang ia sangat buruk bukan. Bukankah ia selalu dibully. Bukannya Bu Popi juga pernah bilang, kalau ada apa-apa dia harus bilang. Tapi ... ah. Ini kan hanya masalah sepele.

Indah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, berkutat dengan pikirannya sendiri. Bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan. Perlahan, di tengah kekalutannya, ia menemukan satu pertanyaan yang menarik. Siapa kira-kira, pengirim kue itu. Deg! Ya, sepertinya ia harus cari tahu. Tapi, bagaimana caranya.

Ah. Ingin sekali rasanya ia berteriak. Benar-benar bingung. Leo, mungkin bisa jadi dia kan. Bagaimana kalau bukan, mereka kan sedang backstreet.

Dog! Dog! Dog!

Terdengar pintu kamar mandi diketuk. Indah terkejut. Terlihat sebuah kertas dimasukkan dari bawah pintu. Meski ragu Indah mengambil kertas itu.

"Temui aku di perpustakaan di meja nomer empat dari timur, kursi lima saat jam istirahat pertama."

Deg!