Indah bingung. Bahkan tangannya sampai bergetar. Ia melihat sekeliling. Tentu saja hanya ada tembok yang sepi. Ia menelan ludah, dengan pelan membuka pintu. Sepi. Tak ada siapapun. Lalu, siapa tadi yang memberinya surat. Dan, bagaimana orang itu bisa tahu kalau dia sedang ada di kamar mandi. Indah mendengus kesal, bingung. Yang jelas, apapun itu ia harus menemui orang itu. Siapapun ia. Indah menatap kertas itu lagi, mengusap muka. Mulai berpikir tentang orang itu lagi. Kira-kira siapa? Benar-benar membuatnya bingung.
*****
"Eh, beneran loh kuenya enak banget." Seru Maria sambil menyuapkan kue itu di mulut.
"Enak banget ya ngerjain orang, bisa dapat kue," celutuk Abel.
"Eh, tapi serius deh. Masak si culun itu dapat kue romantis gini. Aneh nggak sih," kata Jeny. Ia sebenarnya sangat ingin mencicipi kue itu. Tapi, entahlah rasanya sangat malas.
"Iya juga sih."
"Aku aja yang cantiknya kemana-mana kayak gini gak pernah dapat kue romantis," seru Ulfa. Mulutnya penuh dengan kue. Matanya melirik ke kiri dan kanan. Membuat Jeny ingin sekali mengusap muka jorok itu.
"Iya. Lalu, kira-kira siapa ya ngasih kue itu buat Indah."
"Eh, jangan-jangan kue itu salah alamat. Masak iya Indah yang cupu itu punya penggemar rahasia coba."
"Iya juga sih."
Udara sejuk mulai menampar mereka. Membuatnya merapatkan jaket. Semilir angin menemani mereka menikmati kue hasil rampasan malam ini. Waktu tinggal lima menit lagi, sebelum area luar ruangan harus bersih dari anak-anak, atau akan mendapat hukuman serius dari Pak Galak. Mereka ngobrol di roof top favorit anak-anak paling populer di sekolah ini. Malam yang seru bagi mereka, menikmati waktu dengan kue dan teman-teman yang seru.
Mendadak Maria sulit menelan kuenya. Bisa jadi itu kue dari Xinan. Bukankah mereka berdua pernah kepergok sedang .... Tiba-tiba ia sulit menelan kuenya.
"Tidak mungkin. Uhuk ... uhuk ...."
"Kamu kenapa Mar?" Jeny terkejut melihat Maria mendadak batuk-batuk.
"Uhuk ... uhuk ... uhuk ...."
"Kok bisa tiba-tiba batuk sih?" seru Abel.
"Eh, ambikan minum!" kata Jeny. Membuat salah satu temannya segera mengambilkan botol berisi air putih.
"Lu nggak apa-apa Mar?" Chlara memijit-mijit tengkuk Maria.
"Uhuk ... uhuk ... uhuk ...."
"Kenapa Mar?"
"Makanya kalau makan itu pelan-pelan."
"Iya nih."
Jeny segera membukakan botol itu lalu menyerahkannya pada Maria yang segera meminumnya. Air itu mulai membasahi kerongkongannya. Membuatnya merasa lega.
"Lu kenapa sih?" desis Jeny.
Maria megap-megap mengambil nafas.
"Udah enakan?"
Maria mengangguk, mengatur nafas.
"Emang kenapa sih?" Jeny melipat tangan, duduk di samping Maria.
"Duh, Jen, kayaknya gue shock deh. Masak tu kue beneran buat Indah?"
"Ya jelas tuh buat Indah. Temen kita yang satu kelas ini yang namanya Indah kan cuma si cupu itu."
Deg!
"Iya. Buat siapa lagi."
"Ya, memang nggak percaya sih kalau Indah dapat kue kayak gitu."
Maria benar-benar merasa hancur sekarang. Karena kue itu pasti dari Xinan. Ia sulit menelan ludah.
"Terus, siapa yang naruh kue itu di kamar kita?"
"Ah, pasti ada salah satu orang yang memang sengaja meletakkannya. Dan orang itu, pasti anak kamar Mawar," desis Jeny.
"Tapi, siapa ya?" tanya Maria, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Masak iya Xinan menyuruh orang untuk meletakkan kue itu buat Indah.
Mereka saling memandang. Mencari siapa kira-kira orang yang sudah menaruh kue itu.
"Aneh banget tahu nggak sih."
"Ah, siapapun dia, gue sumpahin kalau nggak mau ngaku bakalan datang bulan terus nggak berhenti-berhenti."
Deg!
"Gu, gue Jen," kata Dina. Ia terpaksa mengaku karena takut bakalan datang bulan selamanya.
"Dina?"
Semua terkejut, tak percaya.
"I ... iya. Sebenarnya, gue yang naruh kue itu di tempatnya Indah," kata Dina takut-takut.
"Terus siapa yang nyuruh?"
"A ... aku terpaksa meletakkannya karena, dapat imbalan yang lumayan sih."
"Siapa?" tanya Maria serius. Matanya menatap tajam.
"Vian."
Deg!
*****
Maka keesokan harinya dengan menyimpan seluruh rasa penasaran di dada Indah menemui orang itu. Ia tak peduli tatapan-tatapan sinis dari anak-anak perihal kado istimewa itu. Pastilah mereka sangat iri.
Dan saat jam istirahat pertama, Indah dengan rasa penasaran yang tinggi ia mulai mencari meja yang dimaksud. Meja nomer empat dari timur. Indah menyusuri meja-meja besar yang berjejer rapi di antara rak-rak buku yang menyimpan jutaan buku sebagai jendela dan pengantar dunia. Ia menyusuri rak penyimpanan buku itu.
Tak peduli dengan ramainya anak-anak, serta sibuknya suasana di perpustakaan, Indah dengan senang hati ingin menemui si pengirim kado itu. Karena ia benar-benar penasaran, mengingat tatapan-tatapan mata anak-anak tadi, benar-benar tajam dan sangat tidak suka. Tapi, apalah urusan mereka dengannya. Bukankah, mereka akan selalu mengusik hidupnya. Meski begitu, Indah tak boleh putus asa dari tekanan-tekanan itu. Sebisa mungkin,ia harus melawan dan sabar menghadapi anak-anak menyebalkan itu. Yah, paling tidak, ia sudah setengah jalan kan di sini. Tinggal satu setengah tahun lagi yang harus ia lewati di sekolah ini.
Sampailah ia di meja yang dimaksud. Satu, dua, tiga, empat lima. Deg. Seorang cowok duduk manis di situ sambil tersenyum menatap Indah. Membuat jantung Indah berdebar-debar.
Vian. Deg! Indah melongo. Bagaimana harus Vian. Bukanah ia cowok paling kaya di sekolah ini. Ini benar-benar tidak mungkin. Pikir Indah dalam hati.
"Vi ... Vian." Desis Indah, tak sanggup berkata-kata.
"Duduklah!"
Indah sulit menelan ludah, mencoba duduk di samping Vian.
"Kamu ...."
"Iya aku."
"Ta ... tapi."
"Udahlah, ini memang aku kan."
Tidak mungkin. Apakah Vian akan menyatakan cintanya juga padaku. Jadi, surat-surat dan kue itu, darinya. Pantes, tatapan anak-anak tadi semua seolah seperti ingin membunuh. Ternyata, semua dari Vian. Indah menelan ludah,tak percaya dengan kenyataan yang sedang dihadapinya.
"Eh, kok ngelamun?"
"Em, eh, em, anu, aku ... aku ngerasa aneh aja gitu."
"Aneh gimana?" desis Vian.
"Kamu beneran yang ngirimin aku coklat kemarin?"
"Ya," Vian mengangguk.
Membuat Indah jadi sedikit salah tingkah.
"Kenapa kamu nggak suka ya?"
Indah menggeleng, "Bukan, bukan karena aku nggak suka, aku hanya ngerasa aneh aja gitu."
"Aneh apanya sih? Memang nggak boleh, aku lagi sama seseorang?"
Indah tersenyum, tersipu malu. "Kan kamu sudah punya pacar."
"Adik kelas itu. Nggak masalah. Aku kan cuma kagum."
"Kalau dia marah gimana?"
"Indah, dia nggak bakalan marah kok. Kalau marah tinggal diputusin kan, beres."
Deg! Semudah itukah?
"Em, itu tidak mungkin," Indah sulit menelan ludah.
"Kenapa tidak?"
"Yang jelas, aku nggak mungkin punya hubungan sama kamu."
"Kenapa?"
"Karena kami sangat kaya dan aku miskin Vi."
"Aku akan ngasih apa aja yang kamu mau."
Deg!