"Em, kok tumben kamu bangunin aku. Aku nggak telat kan." Indah melihat jam tangannya di meja. Masih ada banyak waktu.
"Mulai sekarang kita teman. Ok."
Deg! Indah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.
"Teman?" Ia melihat sekeliling. Sebagian anak sudah ada yang bangun dan bersiap. Sebagian lagi masih tidur pulas memeluk mimpi.
Evrin mengangguk, "Udahlah, yang penting sekarang kamu bangun dulu. Kita ke mushola ya."
"Ta ... tapi ...." Kenapa sangat mendadak. Bukankah selama ini tidak ada yang peduli dengannya.
"Udah ayo ...," Evrin menarik Indah, terpaksa membuatnya bangun.
"Ok makasih ya," Indah memaksa tersenyum.
"Sama-sama." Kata Evrin sambil tersenyum penuh persahabatan.
Indah mengambil nafas panjang. Meski bingung ia bersyukur juga mendapatkan kejutan pagi hari ini. Ya, meskipun sedikit aneh. Pikirnya dalam hati.
Ia beringsut ke kamar mandi, tak jauh dari tempatnya. Di kamar, memang disediakan kamar mandi dalam. Sementara cahaya lampu masih sedikit menghalangi. Meski dengan berbagai pertanyaan di kepala, Indah mencoba untuk tetap siap menghadapi kejutan atau masalah untuk hari ini. Ia mengambil nafas panjang, mencoba memantapkan hatinya.
***
Jeny hanya bisa menarik selimut saat ia melihat Indah, Evrin dan Gina bersiap ke mushola. Pandangannya masih samar-samar tapi ia yakin itu mereka. Ia menegakkan kepala, memastikan dugaannya. Ternyata benar. Cepat, ia duduk mengamati mereka. Sepertinya Indah bersama dua anak. Ia melihat bayangan itu. Dan dua anak itu, kenapa mau berjalan beriringan bersama Indah. Bukankah itu sangat aneh. Pikirnya dalam hati.
"Jen, lu ngapain sih?" Maria beringsut menarik selimut Jeny. Udara pagi yang masih sangat dingin. Tentu memaksanya untuk di dalam selimut saja. Mendekati Jeny, mungkin akan sedikit lebih menghangatkan tubuhnya.
"Heh, ini ranjang cuma buat satu orang, ngapain kamu ikut duduk di sini?"
"Nggak apa-apa, dingin. Kamu ngapain sih?" Maria masih merem melek. Ia sangat ngantuk tapi tak bisa untuk tidur kembali.
"Eh, lihat deh, mereka Indah bukan."
Mendengar nama Indah, Maria sontak mengikuti arah pandang Jeny.
"Iya, itu Indah."
Ketiganya mulai keluar.
"Dengan siapa dia, bukankah selama ini ia selalu sendiri?" tanya Maria heran.
"Nah, itu dia. Kenapa tiba-tiba dia jadi punya teman?"
"Dengan siapa sih?"
"Gina dan Evrin."
"Kok aneh."
"Lah, makanya itu."
"Indah semakin hari semakin membawa keanehan. Benar-benar aneh."
"Kita harus selidiki. Kenapa Indah bisa sampai seperti itu."
Maria menelan ludah. Dua cewek itu memang anak-anak polos. Tapi, mereka terlihat selalu bersama-sama. Meski begitu, mereka pasti juga punya geng di kelas lain. Dan sebelumnya, mereka tak pernah dekat dengan Indah. Lalu, kenapa sekarang tiba-tiba malah jadi dekat seperti itu. Bukankah itu sangat aneh. Pikir Maria dalam hati. Ia mendengus kesal.
"Kenapa tiba-tiba mereka mau temenan sama Indah?"
Itu dia. Aku juga gak paham kan."
Jeny mengangkat kedua pundaknya. Ia mengambilnya nafas panjang, mendengus kesal.
*****
Suara adzan baru saja selesai berkumandang. Indah melangkah dengan ragu. Tak biasa ia berjalan beriringan dengan dua orang yang baru saja mengaku untuk menjadi temannya.
Banyak kamar yang belum menghidupkan lampu besar. Artinya masih banyak anak-anak yang tidur. Memang, di sekolah ini tidak diwajibkan untuk sholat berjamaah. Hanya anak-anak yang imannya kuat saja yang selalu rutin mengerjakan sholat. Itulah kenapa di sekolah sebesar ini, hanya ada mushola, bukan masjid. Dan Indah sendiri, sholatnya masih bolong-bolong. Entahlah, menjalin hubungan dengan Tuhan, memang sedikit rumit. Masalahnya, kenapa ia diberi kehidupan yang sulit seperti ini. Bukankah itu benar-benar menyebalkan. Terkadang, ia sedikit sebal juga dengan Tuhan yang memberinya kesulitan hidup seperti ini. Tapi, bukankah kita sebagai makhlukNya harus menghadapi kehidupan ini dengan sabar dan ikhlas. Dan yang pasti, harus ridho dengan ketentuanNya. Kalau bisa begitu, hidup pasti akan lebih tenang dan bahagia. Bukan begitu. Eh tapi, kenapa pikiranku malah jadi ngelantur begini. Pikir Indah dalam hati. Tapi, ngelantur yang ini ada benarnya juga.
"Kalian kenapa tiba-tiba mau jadi temanku?" desis Indah.
"Udahlah Ndah, nggak usah dipikirin soal itu. Ya, sebenarnya kita kasihan aja sama kamu. Apalagi, soal kemarin, kita minta maaf ya, karena kemarin juga ikut makan," kata Evrin.
Indah tersenyum. Bukankah semua anak sekamar juga ikut makan. "Nggak apa-apa kok. Sudah biasa."
"Lama-lama, kita kasihan juga sama kamu."
"Makasih ya Gin, Ev. Mungkin kalian adalah teman pertamaku di tahun kedua aku sekolah di sini."
"Benar-benar nggak ada yang mau temenan sama kamu ya."
Indah menggeleng, mencoba tersenyum.
"Sekarang nggak lagi. Kita akan selalu bersama dan menjadi teman," desis Evrin. Ia menggenggam erat tangan Indah, yang merasakan semangat dan kekuatannya.
Tak terasa, mereka sudah sampai di mushola. Shof nya hanya sekitar delapan baris. Itupun lebih banyak guru yang ikut berjamaah. Pak Mario mulai mengangkat tangan, dan mengucap Takbir. Indah menelan ludah. Di antara alunan merdu suara Al Fatihah yang disenandungkan Pak Mario, ia tergugu. Ternyata, doanya selama ini telah dikabulkan. Hari ini, setelah hari-hari panjang yang ia lalui, ia mempunyai teman.
Sujud yang penuh syukur ia tunaikan panjang-panjang. Terimakasih Ya Rabb. Desisnya dalam hati.
*****
"Indah."
Suara itu membuat Indah menghentikan langkahnya. Evrin dan Gina yang mulai selalu menemaninya kemanapun ia pergi juga ikut berhenti. Kali ini, dengan semangat Indah akan memasuki kelas, sebelum lima menit lagi pelajaran dimulai.
Indah membalikkan badan, melihat Kevin lari-lari kecil menghampirinya.
"Eh, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Sebentar saja."
"Ok deh, kalau gitu, kita duluan ya Ndah," kata Evrin sambi tersenyum. Lalu ia menggandeng Gina dan berjalan menuju kelas.
"Eh, kalian." Indah takut mereka akan meninggalkannya dan tak mau berteman lagi.
"Cuma sebentar Ndah."
"Ada apa sih?"
"Soal kemarin. Jangan diulangi lagi ya. Aku cuma mengingatkan. Dan kamu tenang aja. Ini adalah rahasia. Nggak akan pernah ada yang tahu."
Deg! Kenapa Kevin juga jadi peduli padanya. Bukankah selama ini biasanya ia juga ikut membuli.
"Kenapa kamu peduli?" tanya Indah sinis. Sekarang prioritasnya adalah punya teman. Bukan yang lain. Rupanya, hal itu adalah sesuatu yang sangat besar dan paling penting bagi Indah, daripada urusan cowok seperti ini.
"Karena aku teman baiknya Leo kan. Dan seorang teman itu, adalah orang yang mau mengingatkan temannya saat berbuat salah."
Teman. Lagi-lagi kata itu, sungguh membuat hati Indah tersihir. Begitu enaknya punya teman. Yang akan selalu menemani kita kapanpun, dan mengingatkan kita, saat kita mulai keluar dari jalan yang benar.
"Iya, aku juga minta maaf."
"Kalau pacaran sama Leo, yang biasa saja, gak usah aneh-aneh."
Deg!