Indah sulit menelan ludah. Kenapa Jeny dan gengnya ada di sini. Ia tak menyangka, bisa ditemukan Jeny dan gengnya si sini.
"Maksud kamu apa pakai High heels dan ganti seragam kayak gitu. Kamu mau jadi anggota kita?"
Deg!
"Meskipun kamu mau mengeluarkan jurus karate kamu, itu nggak bakalan bisa. Karena kamu pakai high heels. Hahaha ...."
"Dan kamu tuh nggak pates banget tahu nggak. Dandan model begini."
"Iya, kamu aneh banget jadinya. Model seperti ini tuh cuma dipakai sama anak-anak kaya seperti kita tahu nggak. Kalau model orang macam kamu gini ya, aneh banget jadinya ."
"Kamu mengkhayal bisa jadi anak yang seperti kita-kita ya."
"Hahaha ...."
Mereka semua tertawa. Indah mendengus kesal. Tangannya mengepal hingga keluar baku-bakunya. Ia menahan nafas mengatur amarahnya yang makin memuncak.
"Eh, kenapa lu marah?"
"Lu udah bosen hidup ya."
"Jangan anggap lu bisa ngelawan kita ya."
Dengan Kasar Jeny mulai menarik rambut Indah yang terkejut dan tidak bisa melawan. Belum lagi teman-temannya Jeny yang lain juga mulai menjambaki dan menarik seragamnya.
Seseorang bahkan memaksa membuka sepatunya. Hal itu membuat Indah tersungkur. Kejadiannya begitu cepat sehingga Indah tak bisa melakukan apa-apa. Jumlah mereka terlalu banyak untuk dilawan. Indah hanya bisa pasrah. Berharap, siksaan ini seger berakhir.
"Rasain lu!"
"Dasar cupu!"
"Jelek."
"Makanya, jangan berani macam-macam sama kita. Apalagi, meniru fashion kita segala."
"Ini nih akibatnya."
Indah mulai merasakan cakaran di tangan. Dengan susah payah ia mencoba menutupi wajahnya yang mulai terasa pusing karena banyak didorong dan dijambak. Ia sudah tak tahan lagi.
"Eh, udah. Cepat kita kabur!"
"Awas lu kalau bilang-bilang. Dasar."
"Lihat aja. Sakit semua kan."
"Awas kalau kamu ulangi lagi, kita bisa buat yang lebih parah dari ini tahu nggak."
"Dasar cupu!"
Sebuah dorongan keras di kepala membuat Indah menahan tangis. Ini adalah hal yang paling buruk selama ia mengalami gangguan atau bullyan kasar dari Jeny dan teman-temannya.
Tak lama mereka semua keluar. Dan Indah hanya bisa mengatur nafas. Susah payah ia menahan tangis yang sedari tadi terkumpul di pelupuk mata. Ia benar-benar tak menyangka, akan mendapatkan siksaan yang pedih seperti ini.
"Indah!" Desis Evrin dengan tergopoh-gopoh.
"Indah kamu kenapa?" Seru Gina bingung melihatnya seperti ini. Rambut yang acak-acakan serta rok dan baju seragam yang robek.
"Kamu kenapa ha? Siapa yang melakukan ini? Jeny?"
Indah hanya bisa menelan ludah. Ia tak mampu berkata-kata. Air mata yang ditahannya sedari tadi mulai menetes.
"Indah, ayo bangun!" Maria dan Gina mulai membantu Indah berdiri. Dengan susah payah Indah mencoba menggerakkan kakinya yang sakit.
"Aw."
"Eh, nggak apa-apa?"
"Kok bisa sampai begini sih."
"Ini benar-benar kacau."
"Ini namanya penganiayaan diluar batas Indah, kita harus laporkan hal ini pada Bu Popi."
"Iya bener."
Pelan, meski tertatih Indah melangkah. Ia menggeleng, gawat jika Bu Popi sampai tahu.
*****
"Kamu yakin mau masuk kelas?" tanya Evrin sambil membantu Indah memakai seragam.
"Aku nggak apa-apa kok."
"Bukankah lebih baik kita ngelaporin ini dulu sama Bu Popi?" tanya Gina.
"Apa? Kalian mau ngelaporin kejadian tadi? Awas aja ya." Kata Maria yang tiba-tiba saja sudah masuk ruang loker.
"Kenapa sih Mar. Kok kamu tega ngelakuin ini sama Indah?"
"Oh kamu ikut-ikutan ngebelain nih anak. Mau hal yang lebih buruk terjadi sama kamu?"
Deg!
"Udah ah, ayo kita ke kelas." Desis Indah, tak mempedulikan Maria yang masih menatapnya dengan sinis.
"Eh, awas kamu ya!" teriak Maria.
*****
Indah, Evrin, dan Gina memasuki kelas dengan perasaan kacau. Setiap pasang mata menatapnya aneh. Benar-benar seperti memasuki dunia lain.
"Indah, baju kamu ...." Vian terkejut Indah merubah penampilannya menjadi polos lagi.
"Nah, gini dong, ini baru Indahnya Leo," tukas Leo.
"Hahaha ...."
"Makanya, jadi anak cupu ya cupu aja. Gak usah aneh-aneh," tukas Billy.
"Eh, jaga ya mulut kamu!" kata Leo.
"Kamu nggak apa-apa kan?" lanjut Leo.
"Nggak, nggak apa-apa," jawab Indah.
Indah hanya mengambil nafas panjang, malas mau bicara apa. Ini semua gara-gara ide Vian untuk merubah penampilannya. Akibatnya bukan pujian yang didapat, malah jambakan dan cakaran. Dan mereka, malah semakin benci sama gue. Pikir Indah dalam hati.
"Ndah, kok diem aja sih."
"Udah gak usah ganggu dia. Dia cewek gue."
"Gue cuma tanya.'
"Nggak penting. Ngapain lu ikut-ikutan perhatian sama Indah juga."
"Ah udah-udah kok malah ribut sih," kata Evrin.
"Eh, masih ngeributin anak cupu ini lagi?" Kata Jeny sambil menghampiri Indah.
"Eh Jen. Apa yang kamu lakukan belum cukup?" tanya Vian.
"Udah-udah. Apaan sih, iya aku memang jelek," suara Indah meninggi.
"Siang." Pak Anton memasuki ruang kelas.
"Sia Pak," jawab anak-anak.
"Wah, Pak Anton datang."
"Ayo-ayo."
Mereka mulai sibuk duduk di tempatnya masing-masing, dan menyiapkan buku yang diambil dari tas masing-masing.
Indah mengambil nafas panjang. Pelan, ia mengambil kaca saku. Iya, wajahnya memang sudah sangat jelek. Untuk apa dipercantik lagi. Lihatlah bibir itu, di dalamnya ada gigi-gigi putih yang besar-besar. Membuat bentuk mulutnya sedikit maju. Indah memejamkan mata, rasanya ingin melepas semua beban ini.
*****
Indah baru saja selesai mencuci muka saat ia melihat Jeny sudah ada di sampingnya. Deg! Hal ini membuatnya takut. Bukan masalah apa-apa. Ia hanya masih trauma dengan peristiwa penganiayaan itu. Setelah mengelap tangannya, ia bersiap keluar.
"Hindari Wahyu!"
Deg!
Indah membalikkan badannya, "Kamu, bicara sama aku?"
"Aku bicara sama tembok. Ya tentulah sama kamu." Jeny menatap Indah tajam, seolah ingin menerkamnya.
"Ok," Indah beranjak tapi sudah ditarik.
"Eh, maksud kamu apa kayak gitu. Lama kelamaan kamu makin ngelunjak ya."
"Lepasin!" bentak Indah.
"Kami berani ya."
"Kenapa harus nggak berani sama kamu!" teriak Indah.
"Kami benar-benar ya sekarang."
Indah mau mencengkeram Jeny tapi beberapa anak sudah masuk. Entah siapa yang melakukan Indah langsung ditarik dan wajahnya dimasukkan ke wastafel yang penuh air.
Indah kesulitan bernafas. Sebisa mungkin ia bergerak untuk bisa bebas dari cengkraman-cengkaraman itu. Air berjatuhan membasahi lantai, membuatnya licin.
Dengan kasar Jeny menarik Indah, membuatnya sedikit lega dan bisa bernafas. Nafasnya memburu, mencari udara.
"Ini akibatnya jika lu makin ngelunjak ya sama kita. Gue nggak akan segan-segan untuk habisin lu."
"Lepas!" kata Indah lemah.
"Apa? Lepas? Ya, gue akan ngelepasin elu, kalau lu udah janji sama gue, nggak akan ngelunjak lagi."
"I ... iya ...." Indah menjawab lemah.
"Dasar!"
Indah hanya bisa menahan kepalanya yang sakit karena cengkraman keras Jeny pada rambutnya. Sekali lagi, Jeny mendorongnya dengan keras. Perlahan, penglihatannya berkurang. Gelap.