"Kenapa kamu ngomong gitu?"
Kevin tersenyum, "Itu karena aku peduli sama kamu Ndah."
"Kenapa jadi banyak yang peduli sama aku. Bukankah itu aneh."
"Mana kutahu. Tapi, aku peduli sama kamu karena memang aku suka sama kamu."
Deg! Suka lagi. Ada apa ini sebenarnya. Desis Indah dalam hati.
"Kenapa?"
"Jangan tanya kenapa Ndah, yang jelas, aku ingin melindungi kamu karena sayang. Makanya soal kemarin aku ingetin kamu. Jangan pernah melakukan hal yang buruk dengan alasan apapun."
"Maksud kamu?"
"Sudahlah. Pokoknya kamu harus selalu hati-hati ya. Dan kalau pacaran sama Leo hati-hati juga. Jangan aneh-aneh. Kalau diajak aneh-aneh jangan mau."
"Kenapa. Aneh-aneh gimana sih maksudnya?"
Deg! Kenapa Kevin jadi sangat perhatian seperti ini. Dan apa yang ia bilang benar juga. Bahwa memang dalam berpacaran harus hati-hati. Apalagi, Leo mulai sering mengajaknya aneh-aneh. Tapi, apakah Kevin tulus. Sepertinya, ia akan banyak mengatur. Tapi, apakah benar ia menyukaiku. Desis Indah dalam hati. Ia mendengus, mengambil nafas panjang.
"Ok, makasih ya," Indah tersenyum, menyambut baik nasihat Kevin.
"Sama-sama. Ya udah aku ke kelas duluan ya."
"Ok," Indah mengangguk. Menatap punggung Kevin yang semakin berlalu. Dalam hati ia bersyukur. Sampai akhirnya ada seseorang yang mau perhatian padanya.
"Gitu dong. Aku cuma khawatir aja, kamu terjerumus dalam hal-hal yang negatf."
"Iya. Makasih ya, kamu sudah ngingetin aku."
"Sama-sama. Sebagai teman kita harus selalu saling mengingatkan."
*****
Seperti biasa, Indah tidak bisa konsentrasi dalam menerima pelajaran. Ia sibuk memikirkan apa saja yang seharusnya tak perlu dipikirkan. Ia menatap Evrin. Terlihat temannya itu begitu serius mencatat penjelasan dari guru yang dianggapnya penting. Lalu, ia menatap Gina yang duduk di bangku sampingnya. Ia melihat gadis itu tersenyum manis. Baiklah, selama ini meskipun duduk bersebelahan tapi Indah tak pernah sekaligus dapat sapaan atau sekedar senyuman seperti ini. Dan sekarang, lihatlah itu. Dunia terasa begitu berubah. Meja sekaligus kursi yang masing-masing dipakai per anak ini pun juga dirasa sangat bahagia. Tapi, sejujurnya Indah selalu merasa aneh. Apa mungkin karena dunia tak pernah menghiraukannya, sehingga saat dunia berpihak padanya dunia terasa sangat aneh.
Indah mengalihkan perhatiannya pada barisan duduk anak cowok. Xinan, Wahyu, Leo, Vian, dan Kevin. Kelima cowok itu sama-sama menyukainya. Parahnya lagi mereka satu geng. Cinta pertama otomatis Leo. Lagian dia juga kasihan. Tapi, apakah Leo benar-benar menyukainya.
Sementara Xinan sungguh sangat tampan. Seperti oppa-oppa Korea itu. Wajah yang selalu hadir sebelum ia tidur. Dan ia yang selalu merindukannya. Membayangkan senyuman menawan itu.
Vian yang tiba-tiba saja hadir. Dengan sikap bijaksananya ia bilang ingin selalu melindungiku. Benar itu. Atau sebenarnya ini semua hanya dongeng yang semu. Perlahan, pikirannya melayang membayangkan rumah. Bagaimana ia tinggal di kampung kumuh itu semenjak kecil. Dimana awan putih bukti kuasaNya selalu menghiasi langit kampung itu. Sungguh, lukisan Tuhan memang tak ada duanya. Bukti kuasaNya yang maha Agung.
Betapa hiruk pikuk serta kegaduhan selalu terjadi di sana. Bagaimana rumah petak kecil-kecil itu menghiasi lukisan wajah metropolitan. Dimana semua diletakkan dan terjadi begitu saja. Dan dunia tak pernah peduli. Waktu akan selalu berjalan dan harus bisa bertahan melawannya. Meskipun tak ada yang peduli.
Indah menghela nafas, kali ini ia memikirkan Wahyu. Perlahan, ia teringat sesuatu. Pelan, ia membuka tasnya. Mengambil surat bersampul putih yang ia temukan di lokernya tadi. Ia meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Toh tidak ada yang peduli bukan.
"Indah aku rindu. Aku ingin kita ketemu nanti ya. Entahlah, saat-saat bersama dirimu sungguh tidak akan pernah kulupa. Apakah kau merindukanku ... Wahyu."
Indah menutup surat itu dengan perasaan berbunga-bunga yang hebat.
"Apa nih?"
Indah terkejut. Seseorang mengambil suratnya dari belakang.
"Abel."
Abel tersenyum, meletakkan jari telunjuknya di bibir. Ia melempar kertas itu pada Jeny yang sebelumnya digulung hingga membentuk bulatan kecil. Dengan gerakan halus sehingga tidak menimbulkan kecurigaan pada guru yang sedang menulis di depan, dalam sekejap kertas itu sudah ada di tangan Jeny.
"Jen," bisik Indah.
Evrin dan Gina saling berpandangan. Mereka khawatir jika Indah mendapat masalah.
Dengan santai Jeny membuka kertas itu. Ekspresi wajahnya berubah seketika. Sementara Indah ingin sekali pergi ke bangku Jeny untuk mengambil surat itu tapi tak berdaya. Seperti diikat sehingga ia tak bisa pergi kemana-mana.
Jeny menelan ludah, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
"Ada apa Jen?" bisik Maria melihat sahabatnya jadi aneh begitu.
Jeny menelan ludah, tak menyangka kenyataan buruk akan berpihak padanya. Ia menyerahkan surat itu dengan malas. Maria meraihnya dengan keheranan. Tak lama ekspresi wajahnya ikut berubah setelah membaca surat itu.
"Eh, sini kembalikan!" bisik Indah nyaris tanpa suara.
"Ada apa Indah?"
Deg!
Bu Popi meletakkan kedua tangan di belakang sambil siap menyelidik.
"E, nggak ... nggak ada apa-apa Bu."
Wahyu pias. Ia berharap Bu Popi tidak mengetahui soal surat itu. Masalahnya ia tahu tadi Indah membaca suratnya. Benar-benar hancur reputasinya jika semua orang tahu kalau ia menyukai Indah.
Bu Popi tersenyum. Ia tahu, gadis ini sangat lemah dan pendiam. Maka ia tak bisa berlaku keras seperti anak-anak yang lain.
"Baiklah, perhatikan di depan ya."
Indah mengangguk. Sementara Bu Popi meneruskan penjelasannya, Indah hanya bisa bersyukur. Ia tahu, seharusnya ia tak perlu mendapatkan masalah yang rumit seperti ini. Entahlah, sampai kapan ia harus menghadapi situasi seperti ini.
Dan Jeny tak habis pikir. Bagaimana bisa cewek seculun Indah disukai Wahyu juga. Apalagi kan Wahyu gebetannya. Tidak. Sebelum ini terjadi lebih jauh, maka ia harus bertindak.
Bel tanda istirahat pertama berbunyi, ini adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh Indah, Jeny, Wahyu, dan yang lainnya. Setiap detik di jam pelajaran Bu Popi tadi seperti sepuluh jam. Rasanya begitu sangat lama. Dan begitu Bu Popi keluar, sontak Wahyu segera menghampiri Indah.
"Eh, suratnya tadi diambil Jeny gitu?"
"Yu, serius, kamu, suka sama anak ini?" tukas Jeny. Ia bergegas menghampiri Wahyu.
"Aku suka sama siapapun itu bukan urusan kamu ya."
"Sudah kita keluar aja," bisik Gina pada Indah.
"Itu tadi suratku, kemana tadi diambil?" Desak Indah, ia menahan berbagai emosi yang sudah berkecamuk di dada.
"Eh, asal kamu tahu ya. Cewek seperti kamu tuh nggak pantas dapat surat cinta," teriak Jeny. Membuat beberapa anak memperhatikannya.
"Kenapa. Aku juga manusia!"
"Udah kita pergi aja," desis Evrin. Ia menarik Indah.
"Sebentar. Mana suratku. Kembalikan!"
"Nih!" tukas Maria. Ia melempar gulungan kertas itu ke muka Indah.
Deg!