Chereads / Liebe Wand / Chapter 18 - PEMBUKTIAN CINTA

Chapter 18 - PEMBUKTIAN CINTA

"Serius?" tanya Jeny tak percaya.

"I ... iya sih. Sebenarnya aku juga nggak percaya. Tapi, ternyata beneran." Kata Maria datar, murung.

"Tapi bukannya si culun itu sudah pacaran sama Leo?" tanya Abel.

"Iya sih. Tapi aku juga nggak yakin kalau Leo bisa pacaran gitu sama Indah," Chlara melipat tangan.

"Eh, tapi, kalian tahu nggak sih. Leo dan Xinan itu kan satu geng. Kebayang nggak sih ada yang aneh. Kok bisa teman satu geng suka sama cewek yang sama. Dan itu kayak bareng gitu, waktunya berdekatan kan," kata Jeny menyelidik.

Maria mendengus, "Berarti, pasti ada yang nggak beres nih."

"Nggak beres gimana maksudnya?"

"Pasti ada sesuatu."

"Apaan?"

"Nah itu dia. Kita juga nggak tahu kan."

"Sebenarnya, aku juga nggak yakin sih Xinan benar-benar bisa suka sama Indah," kata Maria.

"Lah iya. Sama. Aki juga nggak percaya," kata Jeny.

"Lebih tepatnya, aku berharap bahwa Xinan nggak suka sama Indah. Harapannya sih begitu. Tapi mau bagaimana lagi."

"Iya sih."

Maria menelan ludah. Sepertinya, ia memang harus menemui Xinan. Untuk memastikan jika ia tidak suka beneran sama cewek itu. Dan ia benar-benar berharap Xinan nggak beneran suka sama Indah. Itu adalah hal yang sangat buruk. Desis Maria dalam hati.

*****

Dan malam harinya, Indah benar-benar datang ke gudang. Dengan perasaan sedikit takut ia menunggu. Sesekali melihat arloji yang melingkar di tangan, merapatkan jaket dengan gelisah. Memandang sekeliling, berharap Leo segera datang. Masalahnya,ia tak pernah seperti ini. Ke gudang malam-malam. Sama seperti cewek-cewek yang aneh-aneh itu. Berpacaran dengan gaya masing-masing.

Tak lama, yang ditunggu pun datang. Indah senang dan lega. Ia tersenyum, menyapa Leo. Leo menatapnya dengan mata yang berbinar-binar.

"Hai, apakah kau menungguku lama?" Leo tersenyum, melepas penutup kepala Hoodie.

"Tidak juga. Tapi kau kan tahu kalau menunggu dalam keadaan seperti ini, rasanya sangat lama. Satu detik terasa satu jam."

"Ah, yang namanya satu detik itu ya satu second. Ya kan."

Indah tertawa, "Udah ah, ada apa sih? Kenapa kamu ngajak kita ketemuan di sini?"

"Ada hal yang perlu aku omongin."

"Apa?" Indah semakin penasaran.

"Kamu perlu membuktikan cinta kan sama aku."

Indah mengagguk dan polos. Sorot matanya tajam memandang Leo dengan romantis.

"Kalau begitu lakukan sesuatu untuk membuktikan itu."

Indah mengerutkan kening, "Sesuatu apa Le?"

"Apa saja. Uang pasti untuk meyakinkan bahwa kamu benar-benar cinta sama aku."

Indah mennelan ludah, sulit dengan apa yang harus dilakukannya, "M ... maksudnya?"

"Gini ya. Kalau aku membuktikan rasa cintaku padamu, maka aku akan melakun sesuatu yang sangat spesial dan tak akan pernah kamu lakukan sepanjang hidupmu."

Deg!

"Memangnya apa itu?" tanya Indah polos.

"Benaran, kami nggak tahu. Atau pura-pura aja nggak tahu," kata Leo, melipat tangan.

"Lah iya. Aku memang nggak tahu. Apaan sih?"

"Oh ya. Ayolah Indah, kamu jangan polos begitu."

"Aku serius Leo. Jangan bilang ka mau aneh-aneh seperti anak-anak yang lain ya."

Sontak, tanpa perlu banyak basa-basi

Leo memeluk Indah dan memberinya sentuhan hangat di kepala serta pundak gadis itu. Meski tersentak Indah santai saja membenamkan tubuhnya ke dalam peukan Leo. Ia bahkan merasakan kehangatannya. Sejenak, pikiran Indah melayang saat ia bersama Xinan dulu. Bukankah ini adalah hal yang sama. Sesaat, terbesit di pikirannya bahwa ternyata semua lelaki sama saja. Mereka menginginkan kenikmatan yang didapat dari para wanita. Dan kenikmatan itu, apalagi kalau bukan beginian. Pikir Indah dalam hati. Ia mendengus, sedikit kesal.

Indah mundur, "Jangan Le."

"Kenapa?"

Indah menggeleng, "Ini tak baik."

"Tak baik apanya, ini sangat menyenangkan. Kalau kau benar-benar cinta padaku, kau harus mau. Ya kan."

"Apakah tidak ada pembuktian lain? Aku akan melakukan apa saja untuk membuktikan padamu tapi tidak untuk ini."

"Kenapa? Semua akan baik-baik saja. Hanya sebuah pembuktian kan. Lagipula, kau cinta padaku."

"Shuuuut ...."

Deg!

"Siapa itu Le?" tanya Indah takut. Ia melepaskan pelukannya.

"Siapa?"

"Aku tadi denger sesuatu gitu," Indah melihat sekeliling dengan panik.

"Sesuatu apa. Aku nggak denger apa-apa."

"Kalian ngapain di sini?" Kevin muncul dari balik kayu yang sudah usang.

"Kevin?"

Deg!

"Iya ini aku, ada apa ga usah kaget," Ia mendekati Indah dan Leo.

"Kev, ngapain kamu kesini?"

"Eh, seharusnya gue yang tanya. Ngapain kaliam malem-malem di sini. Nyari tikus?"

"Itu bukan urusan elu ya. Kita ngapain di sini," Leo menyeringai.

"Eh, mulai sekarang urusan Indah itu urusan gue juga. Tahu!"

Deg! Kok gitu.

"Lebih baik, kamu kembali ke kamar deh Ndah. Gak baik malam-malam sama cowok. Apalagi di tempat seperti ini. Kalau ketahuan Pak Galak bagaimana. Bisa gawat kan."

Indah menelan ludah, bingung.

"Nggak usah sok nasihatin kita ya. Ayo." Leo menarik Indah, tapi Kevin menahannya.

"Le, sudah malam. Sudah waktunya istirahat. Kalau kalian melanggar, kalian bisa kena hukuman. Mau aku laporin Pak Galak?"

Deg!

"Jangan. Baik, aku pergi. Permisi Le," Indah melepas genggaman Leo. Kemudian beringsut pergi.

"Ndah ....," teriak Leo.

"Shuuuut. Sebagai teman aku harus mengingatkanmu bukan."

"Ini bukannya mengingatkan. Tapi kau ikut campur urusanku."

"Bukannya mau ikut-ikut urusanmu Le. Aku cuma mengingatkan."

Leo berdecak, mendengus kesal.

Indah mengambil napas pajang. Ia melangkah pelan, dan memikirkan apa yang baru saja didengarnya. Sebagai teman, ia berhak mengingatkan. Indah menelan ludah. Teman.

*****

Maka semalaman Indah tak pernah bisa memejamkan mata. Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala. Kenapa semua jadi begini. Urusan pelajarannya mulai terbengkalai. Ia jadi banyak melanggar. Untung tidak ketahuan. Tapi, bagaimana kalau ada yang melapor. Seperti saat ia bersama Xinan, dan saat ia bersama Leo kemarin. Dan kenapa, jadi banyak cowok yang perhatian dengannya. Serta ia sendiri, yang begitu mudah memberi atau mendapatkan sentuhan cowok. Ah, seperti tidak ada harganya saja. Bukankah ia wanita baik-baik. Lalu, bagaimana jika keluarga tahu. Ayah dan Ibu pasti sangat sedih. Bukankah daripada di sekolah ini ia hanya main-main, lebih baik pulang, membantu Ibu mencari uang.

Indah mengutuk dirinya sendiri. Perlahan, air mata menetes. Ia tak sanggup lagi menahan semua. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menarik selimut, mengusap bantalnya yang basah. Esok, entah apa lagi yang akan terjadi.

*****

"Hai Indah, bangun!"

Indah masih sedikit membuka mata serta mengumpulkan ingatannya yang tercecer di kepala.

"Ayo bangun, sudah waktunya bersih pagi."

Indah mengucek mata, terlihat Evrin dengan senyum manisnya mengembang menyambut pagi yang Indah.

"Em, Evrin, ada apa?"

"Ayo bangun. Kita sholat yuk."

Deg! Seumur hidup, selama ia bersekolah di sini, baru kali ini ada yang membangunkannya.