Pagi hari. Mentari bersinar dengan cerahnya. Memberikan kehangatan pada siapa saja yang masih bersemangat untuk menyambut dunia. Sementara dunia, tak pernah mau peduli. Dan meski begitu, bukankah kita harus tetap melangkah.
Seperti biasa suasana pagi yang sibuk. Anak-anak mulai antri kamar mandi meski di sekolah ini kamar mandi adalah jumlah ruangan yang paling banyak. Tapi rupanya, kamar mandi seolah menjadi tempat favorit setiap anak. Entahlah, mereka sangat nyaman berlama-lama di dalam sana.
Indah sudah tak berani lagi latihan di gudang. Entahlah, bayangan bersama Xinan masih menghantui. Begitu juga dengan kekhawatiran akan Maria yang akan melaporkannya.
Ia melangkah menuju loker sambil tatapan anak-anak lain yang seolah memandangnya aneh. Indah sudah tak peduli. Biarlah orang lain selalu menganggapnya cupu, jorok, atau apa. Terserah. Ia menyadari bahwa dirinya memang tak perlu hadir di muka bumi ini. Terkadang, memang semuanya terasa sangat buruk.
"Eh Maria lu dari mana sih?" Tanya Jeny saat Maria masuk ke ruang kamarnya. Satu kamar ini dihuni dua puluh anak lengkap dengan almari dan loker pribadi. Indah menunduk, mencoba mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Ada deh, pokoknya rahasia." Jawab Maria dengan senyuman manis yang mengembang di pipi.
"Ce i le .... Pake rahasia-rahasia segala. Kemarin aja kelihatan suntuk banget. Sekarang bahagia banget. Aneh." Kata Abel sambil melirik sinis Maria.
"Pokoknya ada deh. Dan kalian nggak perlu tahu."
Indah merapat mendekati loketnya.
"O gitu ya. Jadi sekarang sama kita lu main rahasia-rahasiaan," cetus Jeny.
"Ya bukannya rahasia-rahasiaan Jen, ini cuma, em, apa ya. Aku cuma ingin menikmati kebahagiaan ini sendiri aja. Nggak perlu ada orang lain yang tahu."
"Meskipun kita-kita?" tanya Abel tajam. Membuat Maria sedikit bingung, "Em, i ... iya sih."
Jeny mendengus kesal. Kebahagiaan apa memangnya yang baru saja di dapatkan temannya itu. Meski penasaran, ia tidak menanyakan lebih jauh perihal Maria itu. Sebisa mungkin ia harus bersikap cool dong.
"Ya udah kalau misalnya nggak boleh tahu nggak masalahnya kok." Jeny beringsut pergi diikuti Abel.
Maria menarik nafas panjang. Baginya, bisa mendapatkan kado spesial tadi ia sudah sangat bahagia. Tak masalah meskipun Xinan dekat dengan Indah atau cewek lain. Atau bahkan jika sudah punya pacar resmi. Dan kado spesial itu tadi, takkan pernah ia lupakan sampai mati.
Perlahan, bayangan itu kembali melintas. Membuat Maria jadi senyum-senyum sendiri.
Sementara Indah hanya bisa menelan ludah dengan gugup. Ia hanya bisa berdoa. Mudah-mudahan, Maria tak pernah melaporkan atau menceritakan hal kemarin itu sama siapapun.
Sambil sesekali melirik Maria yang mulai mengambil baju di loker dan bersiap-siap mandi, Indah dengan pendengarannya yang dibuka lebar-lebar mulai membuka loker. Ia melirik Maria yang masih senyum-senyum sendiri.
Dan Maria sempat melirik Indah yang berada di sampingnya. Deg! Anak ini. Gak masalah lah ia bisa dekat dengan Xinan. Yang jelas, ia tak akan pernah melupakan apa yang dilakukan Xinan tadi. Sungguh, hal kecil yang ia dapatkan barusan dari gudang itu, sangat membuat ia bahagia dan mood booster nya meningkat.
Pelan, Indah mulai mencari buku dan peralatan lainnya untuk bersekolah. Dan alangkah terkejutnya ia karena menemukan sebuah surat. Ia bertanya-tanya. Surat apa ini. Pikirnya dalam hati. Indah membolak-balikkan surat bersampul pink itu. Ada bentuk hati warna merah di tutupnya, membuat Indah tergoda untuk membukanya.
Dengan beribu pertanyaan di kepala serta rasa penasaran yang menggebu, ia mulai membuka surat itu. Bau harum parfum romantis langsung menyeruak. Cepat, ia membuka lembaran tulisan warna pink serta kertas yang dihiasi banyak bentuk hati serta bunga-bunga. Indah tersenyum sendiri, ia merasa geli melihat surat pink itu.
"Dear Indah
Sejuknya alam ini menggugah jiwaku
Untuk terus bertahan dalam pekat
Namuan, bayangmu menjadi obat resahku
Meski ini sudah terlambat
Tak apalah ....
Aku akan selalu memuja dan menjagamu
Dengan caraku sendiri
Meski ku tahu, semua orang hanya menganggapnya seperti angin lalu saja."
Indah membolak-balikkan surat itu. Mencoba mencari petunjuk lain. Barangkali ada yang tersisa dari sepucuk surat aneh itu.
Indah mulai berpikir. Ia mengambil nafas panjang dan mencoba mengira-ngira siapa yang mengirimi ia surat.
Mungkin saja dari Leo. Ya, mereka sekarang kan backstreet. Atau bisa juga dari Wahyu. Ih, kalau ingat laki-laki tampan itu. Sungguh, membuat ia seperti lupa daratan saja. Atau, bisa jadi juga dari Xinan. Bukankah ia juga bersedia menjadi selingkuhannya.
Indah tersenyum geli. Sejak kapan ia jadi suka memikirkan cowok seperti ini. Bukankah dulu tak pernah. Jangankan memikirkan cowok. Ia seperti tak punya waktu selain rasa takut dan kesepian yang selalu menghantui dan menyelimuti hatinya. Tapi kini, lihatlah semua seakan berubah. Ia mulai memikirkan tiga cowok sekaligus. Ya, bukankah Tuhan memang maha kuasa. Mudah sekali membalikkan atau memutar keadaan dalam sekejap saja.
Kring ... kring ... kring ....
Bel berbunyi. Indah terkejut dan cepat-cepat memasukkan suratnya itu ke dalam tas, lalu segera beringsut ke ruang makan. Di sana, dengan cepat ia bisa mendapatkan makanan yang sudah tersaji di piring besar. Pegawai-pegawai sekolah itu telah menyiapkan sarapan untuk empat ribu anak didik tiap tiga kali sehari.
Makanan mereka berlimpah. Empat sehat lima sempurna dan itu sangat penting untuk menunjang kebutuhan gizi mereka dengan aktivitas yang banyak.
Seperti biasa pula, setelah mendapatkan makanan Indah bingung mau duduk dimana. Ia selalu ditatap dengan pasang mata yang memandangnya sinis, tak peduli dan dengan ancaman untuk tidak duduk di sampingnya.
"Permisi." Desis Indah saat menemukan meja kosong.
"Eh ini ada yang menempati. Sana deh." Kata anak lelaki sambil mengunyah makanannya.
"Iya, tuh bentar lagi orangnya datang." Kata cowok satunya lagi, sambil menunjuk arah barat.
"Iya, di sana tuh." Kata lelaki itu. Menunjuk ke arah timur.
Indah bingung. Tapi ia tahu, tak ada yang mau satu meja dengannya.
"Shuut." Desis Leo, memberi isyarat pada Indah untuk duduk di depannya.
Maka tak ada pilihan lain bagi Indah, untuk duduk satu meja dengan Leo. Ia segera menuju ke mejanya sambil melihat Jeny dan kawan-kawannya dipersilahkan duduk oleh anak yang melarangnya tadi.
"Karena Jeny memang cantik kan." Indah meletakkan makanannya dengan kasar.
"Jangan keras-keras, nanti makananmu bisa jadi tumpah."
Indah mendengus kesal. Tapi mendadak ia teringat sesuatu. "Oh ya, makasih ya buat suratnya, aku seneng banget deh bacanya. Pasti aku bakalan baca bolak-balik deh. Soalnya nggak bakalan bosen kan."
"Surat? Surat apa?" Leo mengerutkan keningnya.
"Surat cinta."
"Surat cinta. Hahaha. Kayak ABG aja."
"Bukankah itu dari kamu?"
"Aku. Bukanlah."
Deg!