"Xinan!"
Deg! Maria terkejut. Tak menyangka Xinan yang menariknya ke sini. Sorot mata itu, begitu indah. Membuat Maria sulit menelan ludah.
"Eh, kamu gak boleh bilang sama siapapun jika aku dan Indah tadi berpacaran. Ngerti!"
Deg!
"Jadi kalian sudah jadian?" Tak terasa air mata Maria menetes.
"Kalau kamu bisa tutup mulut, aku akan memberikan sesuatu yang nggak akan pernah kamu lupakan sampai kapanpun." Desis Xinan, membuat Maria menelan ludah.
"Apa maksudmu?"
"Apa sudah ada yang tahu?"
Maria menggeleng, "Belum."
"Bagus. Jangan sampai ada yang tahu. Satu bulan lagi aku akan memberimu hadiah. Asal, tidak ada satupun orang yang tahu." Gumam Xinan, lalu pergi begitu saja, membiarkan Maria yang kebingungan. Nafasnya naik turun. Ia mulai memikirkan hal apa yang dilakukan Xinan untuk mendapatkan hadiah.
Sebenarnya, apa yang dipikirkan Xinan. Kenapa harus dengan Indah. Jelas-jelas ia lebih cantik dari wanita itu. Tapi, bukankah tadi Xinan akan memberikan hadiah yang tak terlupakan. Kira-kira apa hadiah itu. Maria jadi penasaran. Paling tidak, dengan Xinan membawanya tadi itu sudah cukup membuatnya bahagia. Perlahan, Maria tersenyum sendiri. Dalam sekejap duka di hatinya hilang hanya karena tatapan mata Indah Xinan tadi. Ia mengambil nafas lega, kembali ke kamar. Sepertinya, ia akan tetap ijin untuk merayakan kebahagiannya. Menyusuri lorong sekolah yang gelap.
*****
Indah sama sekali tak bisa menangkap pelajaran dari guru yang dengan susah payah serta semangat menggebu-gebu dijelaskan Bu Popi di depan. Pikirannya sedari tadi melayang memikirkan tentang Maria. Bagaimana kalau ia sampai dilaporkan. Bisa gawat.
Tapi, seperti apapun pikiran yang mengganggunya sama sekali tak bisa ia lepas meski Leo sudah mencoba menghiburnya. Justru hal itu hanya membuat Indah semakin setres. Takut jika ia ketahuan tadi bermain sama Xinan. Maka, pikirannya hanyalah bisa berputar-putar tak tentu arah, memikirkan banyk hal. Terutama kejadian tadi.
"Jadi beneran kamu nggak apa-apa?" tanya Leo saat jam istirahat. Mereka sedang makan berdua di kantin. Sorot mata selalu mengawasi mereka. Heran, tiba-tiba saja, Indah yang kemarin heboh menghajar anak-anak, sekarang malah resmi jadian sama cowok hitam manis dengan rambut Jabrik merdeka, Si Leo. Dan mereka sering terlihat bersama. Bukankah itu sangat aneh.
"Nggak apa-apa kok."
"Beneran?"
Indah mengangguk.
"Kamu yakin?"
"Iya aku yakin. Kenapa sih?"
"Ya nggak apa-apa. Aku hanya memastikan saja. Karena kelihatannya kamu dari tadi gelisah."
"Oh, mungkin aku kecapean aja. Kan habis membersihkan seluruh kamar mandi rasanya sangat capai kan."
Leo tersenyum, "Iya mungkin."
Indah menelan ludah, melirik sekeliling. Benar-benar jadi pusat perhatian.
"Le, lihat deh, semua orang jadi ngawasin kita."
Leo tersenyum, mengaduk jusnya. "Nggak apa-apa. Biarin aja. Emang kita sama-sama aneh kan."
Indah tersenyum, "Kamu nggak malu pacaran sama aku?"
"Kenapa mesti malu sih. Udah ah, kamu nggak usah mikirin aneh-aneh."
"Jadi sebenarnya, aku, malu Le." Indah jadi punya alasan kenapa dia murung seharian tadi. Sekaligus harus menutupi permainannya tadi dengan Xinan. Jangan sampai Leo atau siapapun tahu tentang hal itu.
"Malu kenapa?"
"Aku malu pacaran sama kamu Le. Aku nggak pantas punya pacar."
"Kenapa kamu berpikiran seperti itu Ndah?"
"Ya, aku mah apa Le. Hanya bisa diam dan tak akan pernah bisa merubah apapun."
Deg!
Leo menggenggam erat tangan Indah, "Ndah, gini loh ya. Kamu nggak perlu mikirin omongan orang-orang. Udah biarkan aja yang penting kita bahagia."
"Tapi serius, aku tuh nggak nyaman dengan hubungan kita."
"Kenapa sih. Kamu nggak mau berjuang?"
"Bukannya nggak mau Le. Tapi aku nggak sanggup."
Ayolah Leo, putusin aku aja. Ngapain sih kamu pertahanin aku segala. Kan sudah ada Wahyu atau Xinan. Yang mereka tuh ganteng-ganteng. Nggak mungkin kan aku milih kamu. Atau lebih baik aku aja yang mutusin. Pikir Indah dalam hati.
Leo menghela nafas panjang, "Ok, ok kalau kamu memang bersih kukuh untuk nggak uji publik kayak gini. Gak apa-apa."
Indah mengerutkan kening, "Uji publik gimana maksud kamu?"
"Yah, kalau kamu malu jadi pacar aku nggak masalah. Lebih baik kita diam-diam aja. Nggak usah sampai ada orang lain tahu."
Kenapa semua malah jadi minta diem-dieman gini. Indah bingung, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ya udah, kita ketemuannya diam-diam aja."
Leo tersenyum, mengangguk, "Ok deh."
*****
Malam itu, Indah benar-benar tidak bisa tidur. Semalaman ia memikirkan Maria, dan bolak-balik menatap Maria yang sedang tidur pulas. Ia menelan ludah, membayangkan jika Maria melaporkannya. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain tetap menerima semua kenyataan ini. Perlahan, pikirannya kembali ke masa lalu. Masa-masa dimana ia selalu diam saat di tempat ramai. Mulai SD sampai SMA ia selalu sendiri dan diam. Tak pernah ada yang mau mempedulikan.
Kalau sudah begini yang repot adalah saat ada tugas kelompok. Tak ada yang mau menjadi kelompoknya. Meski ia sudah minta untuk jadi tim kelompok. Tetap saja, semua menolak. Apalagi, jika mata pelajaran itu adalah hal yang sulit baginya.
Pernah ia satu kelompok dengan Jeny. Maka ia hanya dibully habis-habisan. Dan parahnya lagi, ia hanya bisa diam tak tahu harus berbuat apa. Saat ada tugas TIK juga begitu. Ia bingung, dan hanya bisa dapat marah dari guru, saat ia bertanya.
"Kenapa tidak kamu tanyakan sama teman-teman kamu tadi. Kenapa baru sekarang malah tanya sendiri. Sudah, keluar, minta penjelasan dari teman-temanmu tadi!" Seru Bu Mimi dengan wajah hitamnya yang menyeringai. Indah hanya bisa bergidik mengingat guru jelek dan galak itu. Betapa ia sering merasa kesulitan jika mencari teman yang bisa sekedar membantunya.
Indah membalikkan badan, menatap langit-langit tempat tidurnya. Alas tempat tidur yang berada di atasnya sedikit bergetar. Mungkin, Ana, temannya yang sedang tidur di tempat tidur atasnya itu baru saja buang angin. Indah menutup wajahnya dengan selimut, berharap dapat berlindung dari bau angin itu, serta suara-suara dengkuran yang memekakkan telinga.
***
"Apa?" Tanya Maria saat ia bertemu dengan Xinan, di salah satu gudang, tempat rahasia anak-anak bila ingin bertemu atau berkencan dengan pacarnya.
"Kejadian kemarin masih belum ada yang tahu kan." Xinan sengaja memasang senyum mempesona.
Maria menggeleng, "Belum."
"Bagus. Maka sesuai janjiku kemarin, aku akan memberimu hadiah."
Dada Maria berdegup kencang. Ia sulit menelan ludah. Tak pernah terpikir sebelumnya ia akan mendapatkan perilaku istimewa seperti ini dari Xinan.
"Iya." Jawab Maria lirih, menutupi rasa gugupnya.
Masih dengan senyum khasnya, Xinan mencoba mendekat, membuat Maria menahan nafas. Ia tak sanggup menatap mata indah itu.
Satu detik kemudian, Xinan meraih dagu Maria lalu menempelkan bibirnya tepat di bibir Maria.
Deg!