Indah dan Xinan terkejut. Seorang anak perempuan sudah berdiri di depan pintu. Maria. Deg! Nafas Indah memburu. Ia mendorong Xinan yang masih tak percaya dengan siapa yang ada di depannya. Indah menelan ludah.
"Kalian ngapain? Nggak nyangka ya ternyata selera lu cuma anak ini," lirik Maria sinis.
"Udah itu bukan urusan lu. Pergi!" Xinan melipat tangan. Indah heran ternyata Xinan bisa bersikap setenang itu.
"Gila lu Nan. Lu juga Indah, ternyata lu kayak gini. Dibayar berapa lu sama dia?"
"Eh, kita saling suka kok," cetus Xinan.
Deg! Sontak Indah menatapnya.
"Apa? Saling suka. Ala bilang aja lu Ndah, sekarang, lu buka layanan ya." Maria manggut-manggut, mendekati Indah yang terlihat masih kebingungan. Dan Maria tak pernah menyangka. Dibalik wajah lugu dan polos itu, ternyata menyimpan banyak hal buruk.
"Eh, sudah, ngapain sih ngganggu dia terus. Pergi sana!" Xinan mendorong Maria, menghalau Indah untuk pergi.
"Awas lu ya. Kalian berdua akan gue laporin ke Bu Popi."
"Jangan!"
"Bodo amat, biar tahu rasa kalian!"
Deg!
"Jangan," kata Indah lirih.
"Eh, lu ternyata bisa ngomong juga."
"Udah-udah, lu nggak usah ikut campur urusan gue sama Indah. Dan kalau sampai ada yang tahu, gue nggak akan segan-segan melakukan sesuatu ke lu yang akan membuat lu menyesal selamanya. Ngerti," desis Xinan.
"Aku tak peduli ya. Pokoknya aku akan bilang."
"Awas saja kamu!" Xinan menatap Maria marah. Mukanya merah padam.
"Udah, pokoknya gue nggak akan segan-segan untuk ngelaporin kalian."
Maria menelan ludah. Ia benar-benar tak menyangka. Ternyata, lelaki yang selama ini ia sukai malah begitu mudah berpelukan dan bermain seperti itu dengan cewek yang sangat ia benci. Mana ceweknya culun lagi. Desis Maria dalam hati.
"Awas kamu!" Maria segera memukul Indah, sebelum Xinan berhasil menghalaunya.
"Eh, kamu nggak inget, gimana Indah punya ilmu bela diri. Bisa-bisa kamu dihajar habis-habisan sama dia. Gawat bisa mati kamu nanti."
"Sembarangan kamu ya kalau ngomong. Sekarang kamu benar-benar ngebelain dia."
"Bodo amat!"
Deg!
Maria berkaca-kaca. Ia benar-benar tak menyangka Xinan bisa berkata begitu.
"Dasar. Awas pokoknya." Maria melepas genggaman Xinan dengan kasar, lalu beringsut keluar.
Xinan menghela nafas. Sementara Indah mulai gemetar. Ia takut. Bayangan buruk mulai menghantuinya. Ia benar-benar tak menyangka akan kepergok seperti ini. Perlahan, penyesalan melintas. Seharusnya,iae tak sampai seperti itu dengan Xinan kan.
"Kamu kenapa, kok jadi kayak kepiting rebus gitu?"
"Nan, kita bakalan dilaporin sama Maria. Gimana dong."
"Lu tenang aja. Maria gak bakalan berani."
Indah mengerutkan kening, "Serius?"
Xinan mengangguk, meyakinkan, "Iya serius. Tenang aja."
Indah menarik nafas lega. Ia sedikit tenang meskipun masih ada keraguan di dalamnya. Dan hal yang paling terburuk yang ia pikirkan adalah, bagaimana jika Maria benar-benar melakukan hal itu dan akhirnya ia dilaporkan lalu di DO. Otomatis keluarganya terutama Ayah dan Ibu pasti sangat kecewa.
"Heh, kok malah ngelamun?"
"Eh, nggak kok. Aku cuma takut aja. Gimana kalau ...," Indah tergagap.
"Ndah, aku kan sudah bilang. Dia nggak bakalan berani kok. Ya udah, sepertinya kita harus pergi dari sini. Sudah jam enam. Harus siap-siap sekolah kan."
"Eh tiba-tiba jam enam aja," Indah menatap arlojinya.
"Udah, aku duluan ya." Bisik Xinan, tak lupa mendaratkan ciuman di pipi. Deg! Membuat Indah tertegun. Ia hanya menatap kepergian Xinan yang meninggalkan senyuman.
"Hah ...," desis Indah. Ia mengusap peluh. Bingung. Sebenarnya, apa yang barusan ia lakukan dengan Xinan. Bukankah itu hal bodoh. Kenapa dia bisa melakukannya. Indah menggigit bibir, malu dengan dirinya sendiri. Seharusnya ia tak melakukan itu. Benar-benar memalukan. Bagaimana jika keluarganya tahu hal ini. Bukankah mereka terutama kedua orangtuanya tentu sangat malu. Bukankah itu hanya akan membuat kedua orangtuanya malu. Bagaimana jika hal itu diketahui oleh orang lain. Eh tapi, bukankah tadi Maria sudah tahu.
Indah jadi bingung sendiri. Tak tahu harus bagaimana. Ada sedikit rasa enggan untuk kembali ke kamar. Ia malu bertemu dengan dunia, meski sebentar saja. Seharusnya, ia tak terlalu mudah tergoda dengan pesona Xinan. Tapi, untuk terus mendekam di tempat ini juga bukan pilihan bagus. Maka, pelan ia keluar, berjalan menunduk tak berani sedikit pun mengangkat kepala, malu sendiri pada dunia. Mudah-mudahan, dunia pura-pura tidak tahu, tentang apa yang baru saja dilakukannya.
*****
Maria hanya bisa menahan tangis saat ia memasuki kamar. Pelan, ia menutup pintu kamar mandi dan tak bisa membendung tangisnya. Sekarang, dengan bersandar ia menangis. Kecewa, sakit, dan segala rasa sesak di dada bercampur jadi satu. Ia benar-benar tak menyangka. Lelaki yang selama ini ia puja dan tak pernah mau memperdulikannya itu ternyata bermain dengan wanita cupu yang sangat ia benci.
Ia menatap wajahnya di cermin. Tentu sangat beda jauh dengan Indah. Ia sangat cantik. Banyak lelaki yang menginginkan untuk jadi pacarnya. Tapi, kenapa malah Indah.
Maria menelan ludah, ia benar-benar sulit menerima kenyataan ini. Ia membasuh mukanya yang penuh dengan air mata. Berharap semua bisa berlalu. Tapi, semakin ia membasahi wajah, semakin besar ia kecewa.
Maka tak ada yang bisa dilakukan selain menangis.
*****
Indah sedang menyiapkan buku pelajaran untuk hari ini saat ia mendengar percakapan Jeny dan Abel.
"Dari tadi aku juga tak melihat Maria. Kemana kira-kira dia ya?" Tanya Abel sambil membenarkan rias wajahnya.
"Itu dia masalahnya. Dari tadi aku juga nggak ketemu." Jeny memastikan lipstik yang dipakai hari ini bagus. Ia meletakkan peralatan make up nya itu ke dalam tas.
"Ya udah, kita cari dia di luar."
Indah menelan ludah menatap mereka pergi. Segera menutup dan mengunci loker sambil menelan ludah. Entahlah, dadanya berdebar kencang. Kemana sekiranya Maria pergi. Apakah ia marah, atau melaporkan kejadian itu pada Bu Popi. Pelan, ia berjalan sambil terus memikirkan Maria.
Bukk!
"Kalau jalan pakai mata dong. Jangan pake kaki. Hahaha ...." Dua orang lelaki tak sengaja menabraknya, hingga membuat Indah terjatuh. Sambil merapikan buku-bukunya yang berserakan, Indah menatap wajah-wajah yang menertawakannya.
*****
Maria baru keluar dari kamar mandi setelah hampir satu jam ia di dalam. Kepalanya pusing. Dan hari ini, ia berniat istirahat saja di kamar. Mengirim memo untuk guru bahwa ia kurang enak badan. Entahlah, sekujur tubuhnya terasa sangat lemas tak bertenaga. Ternyata, sakit hati lebih terasa menyakitkan daripada sakit badan. Ia menunduk, menyusuri lorong kelas yang mulai sepi. Karena pelajaran sudah dimulai.
"Eh." Tiba-tiba ada seseorang menariknya, membawanya ke ujung lorong, dekat gudang tak jauh dari tempatnya tadi.
"Xinan!"
Deg!