"Tidak Indah, sebenarnya banyak kok yang mau temenan sama kamu. Cuma kamunya aja yang selalu menutup diri. Jadi mulai sekarang, kamu belajar untuk lebih terbuka ya." Kata Bu Popi, dengan senyum manisnya.
Indah menelan ludah, mulai benci dengan pembicaraan yang seperti ini.
"Lebih terbuka gimana Bu?" tanya Indah penasaran.
Bu Popi tersenyum, "Ya misal kamu lebih banyak nyapa anak- anak dulu, basa-basi, mulai cerita-cerita sama mereka, ya pokoknya lebih ramah deh. Gitu. Itu mudah kan."
"Itu dia Bu, sebenarnya itu pekara gampang. Cuma bagi aku nggak tahu kenapa, sulit banget rasanya. Sebenarnya aku juga ingin seperti anak-anak yang lain Bu, mereka bisa akrab dengan teman-teman, dan bisa bebas bergaul dengan siapa aja. Tapi bagi aku sulit banget."
"Nah coba untuk mulai belajar. Sesulit apapun itu, kamu harus tetap mencoba. Jadi anak pendiam seperti ini nggak enak bukan. Kamu harus bisa berubah. Percayalah, kalau kamu bisa berubah, maka kamu akan lebih senang. Dan semuanya akan membuatmu lebih bahagia."
Indah menarik nafas panjang. Sebenarnya, ia tahu keadaan dirinya seperti apa. Introvert dan miskin. Ya, cuma itu masalah yang sesungguhnya bukan.
"Kamu tahu Bu Opi?" lanjut Bu Popi.
"Guru Bk itu kan Bu."
"Iya. Dia termasuk orang yang nggak pernah mau nyapa orang. Bahkan sekedar tersenyum juga gak mau. Dan lihat sekarang, beliau selalu sendirian kan. Nggak ada yang mau temenan sama dia."
"Iya Bu."
"Dan kamu mau seperti itu?"
"Ya nggak mau Bu. Masalahnya nggak ada yang mau temenan sama saya." Tapi bukankah semua itu sudah terlanjur. Bisik Indah dalam hati.
"Bukannya nggak mau sayang, tapi kamu kurang membuka diri aja."
Indah menghela nafas, bingung apakah dirinya bisa meski hanya sekedar menyapa orang.
"Baik Bu, akan saya coba." Kalau dia bisa membuat Wahyu jatuh hati padanya, kenapa harus kesulitan untuk sekedar tersenyum atau menyapa teman. Bukan begitu.
"Nah gitu dong. Ya sudah. Ibu harap, kamu bisa menjadi anak yang lebih baik lagi. Dan Ibu doakan, semoga kelak kamu bisa menjadi orang sukses ya."
"Amin. Doakan juga supaya saya bisa punya teman ya Bu," kata Indah ragu.
"Oh iya, yang itu juga pasti Ibu doakan. Pokoknya kamu kalau ada apa-apa bisa curhat sama Ibu. Jangan dipendam sendiri ya. Anggap saja, Ibu ini sebagai pengganti orang tua kamu di rumah."
"Iya Bu." Sama Ibu sendiri saja, ia jarang curhat. Bagaimana bisa curhat dengan orang lain. Pikir Indah dalam hati.
Tapi ia bersyukur. Karena sekarang ia mendapat banyak perhatian dari banyak orang. Baginya, itu adalah segala-galanya.
"Ya sudah, kita keluar ya. Dan kamu bisa melanjutkan aktivitasmu kembali."
"Iya Bu, sekali lagi terimakasih."
***
Maka Indah menjalani harinya dengan lebih bersemangat. Meskipun masih lebih banyak diam dan terkesan tak ada perubahan dalam dirinya, paling tidak, ia lebih nyaman dan semangat. Apalagi jika bukan karena perhatian Leo dan Wahyu. Itu sudah menjadi mood booster yang sangat hebat buat Indah.
Seperti pagi ini. Seperti biasa, ia dengan semangat latihan bela diri. Kicau burung seolah menyambutnya. Di saat anak-anak lain sedang sibuk mempersiapkan pelajaran buat nanti, maka Indah akan pergi ke gudang untuk berlatih. Dan untuk masalah pelajaran sudah ia siapkan tadi malam, saat anak-anak lain terlelap dan terbuai mimpi.
Indah mulai pemanasan. Ia berlari kecil mengelilingi sekolah. Harum udara pagi membuatnya lebih bersemangat. Membersihkan paru-paru dan sistem pernafasannya. Entahlah, ternyata hidup terasa lebih ringan jika kita mau menghadapinya.
Setelah dirasa cukup untuk pemanasan, seperti biasa pula ia mulai memasuki gudang. Membersihkan sejenak barang-barang atau debu yang sekiranya menganggu. Dan ia mulai berlatih. Pengetahuan tentang bela diri yang didapat saat di SMP, bisa lupa jika ia tak pernah langsung mempraktekkannya seperti ini.
Sementara di sekolah ini, untuk ekskul bela diri ditiadakan. Itu karena akan membuat anak-anak di sini semakin brutal. Entahlah, sepertinya semakin hari anak-anak lebih seperti manusia kehilangan aturan daripada manusia-manusia yang paham budi perkerti. Padahal, guru-guru di sini begitu terlatih. Mereka mempunyai banyak gelar dan juga sertifikat-sertifikat tentang pelatihan-pelatihan kependidikan. Tapi semua itu, seolah tak ada artinya apa-apa, dibandingkan dengan tuntutan jaman menghadapi anak-anak remaja yang kehidupannya semakin amburadul saja. Tembok kokoh yang menjadi penghalang dunia sekolah ini dengan dunia luar, hanya akan menjadi penghalang tanpa arti. Mereka dengan mudah mendapat link untuk menuju ke dunia luar. Bolos, balapan liar, atau bahkan hal-hal yang mungkin tidak akan pernah bisa dilakukan murid-murid sekolah ini, sekolah Tunas Bangsa ini, begitu mudah dilanggar.
Indah mulai menyelesaikan pemanasannya. Ia terkejut saat seorang anak datang sambil menahan tawa. Di tangan kanannya terdapat ponsel. Ia mendadak berhenti tertawa saat mengetahui Indah berada di tempat yang sama.
"Heh, kamu?" Xinan terkejut.
"Kamu ngapain di sini?" Tanya Indah, nyaris tak terdengar. Ia menghentikan latihannya.
"Aku yang seharusnya nanya sama kamu, kami ngapain di sini?"
"Kok bawa ponsel. Aku laporin Bu Popi ya."
"Eh, jangan dong. Bahaya soalnya."
"Kan nggak boleh bawa ponsel. Kok kamu bisa bawa sih."
Senyum Xinan mengembang, "Itulah hebatnya aku. Eh sini deh, ini ada film, seru banget."
Indah menggeleng, mendengus kesal. "Nggak ah. Males."
"Eh, kita itu di sini butuh hiburan. Nggak cuma harus belajar-belajar aja. Iya kalau anak pesantren, gak masalah. Lah ini kita kan anak sekolahan."
"Tauk ah." Indah bersiap pergi.
"Eh, mau kemana, sini dulu. Lihat ini. Seru sekali." Xinan menarik Indah. Membuatnya jatuh ke pelukannya. Deg! Indah bahkan merasakan detak jantung Xinan. Mereka bertatapan. Pria ini. Wangi. Apalagi, lihat itu wajahnya. Ternyata tampan juga. Pantesan anak-anak bilang dia mirip personil BTS. Bukankah, ia juga punya perkumpulan fans yang mengidolakannya. Ternyata, ganteng banget. Satu detik Indah tak bisa menahan nafas bahkan berkedip.
Xinan tersenyum, "Lihat ini."
Tak peduli dengan Indah yang masih mengagumi ketampanannya, Xinan menunjukkan film di ponselnya. Indah terbelalak. Apa itu. Maksudnya mereka mau ngapain. Ih, ngeri, tapi karena penasaran Indah masih mencuri-curi pandang untuk melihat. Dan ia belum pernah melihat sebelumnya. Tanpa sehelai benang pun, sepasang lelaki dan perempuan, sedang menempelkan kedua bibirnya, merasakan pelukan yang sepertinya sangat nikmat. Sang wanita bahkan seperti merasakan sebuah kenikmatan yang entah seperti apa. Kelihatannya nikmat banget. Sampai merem melek begitu. Pikir Indah.
"Keren kan." Bisik Xinan, membuat Indah terkejut. Ia menatap Xinan sebentar lalu mengalihkan pandangannya lagi ke ponsel itu. Permainan itu terlihat semakin panas. Sang lelaki bahkan memainkan kedua dada yang menonjol pada sang wanita. Membuat si wanita semakin merasakan kenikmatan yang tiada tara. Sementara tangan si lelaki masih turun, menelusuri setiap lekuk tubuh sang wanita. Membuat si wanita semakin menjadi. Bahkan jemari pria itu semakin menyentuh daerah sensitif wanita.
Indah menelan ludah, jijik. "Mereka ngapain?"
"Mereka sedang bermain. Sebuah permainan yang pasti sangat nikmat."
"Nikmat apanya? Jorok."
"Kau bisa berkata begitu karena belum pernah merasakan kan."
Indah menatap Xinan tajam.
"Bagaimana kalau kita coba?" Xinan tersenyum.
Deg!