Chereads / Liebe Wand / Chapter 8 - INTEROGASI KEDUA

Chapter 8 - INTEROGASI KEDUA

"Ada apa Bu?" Tanya Indah sambil menahan sesak. Mendadak asam lambungnya naik. Berbagai pertanyaan muncul di kepala. Ia nerves, tapi sebisa mungkin harus ditahannya. Ia bahkan sulit menelan ludah. Bingung dengan apa yang harus dilakukannya.

Bu Popi tersenyum tipis, "Nggak ada apa-apa Indah, kita ngobrol-ngobrol sebentar yuk."

Indah melirik Wahyu yang mengangguk. Meyakinkan bahwa semua baik-baik saja dan tidak ada apa-apa.

"Baik Bu." Indah beranjak, mengikuti langkah Bu Popi.

Wahyu menghela nafas. Lagi enak-enaknya ngerayu tuh cewek aneh, malah diajak kabur. Pikirnya dalam hati. Ia mengacak rambutnya.

***

"Jadi, bagaimana kabarmu hari ini Ndah?" Tanya Bu Popi, saat mereka sudah berada di ruang rapat guru. Begitu banyak kursi mengelilingi satu meja besar yang menghadap layar proyektor besar di ujung timur ruangan.

"Alhamdulillah Bu, keadaan saya baik-baik saja."

"Kamu sudah menjalankan hukuman dari Bu Opi?"

Indah mengangguk, "Sudah Bu. Pagi-pagi tadi Bu Opi juga sudah ngecek kamar mandinya."

"Bagus. Lalu beliau bilang apa?"

"Diam saja Bu tidak bilang apa-apa."

Bu Popi tersenyum. Kalau tidak ada kepentingan, memang buat apa Bu Opi bicara. Bukankah ia hanya akan bicara jika hal yang penting-penting saja. Bahkan untuk menyapa orang pun dia ogah. "Ok nggak apa-apa. Yang penting kamu sudah melaksanakan tugas yang diberikan olehnya."

Indah mengangguk lemah, mengira-ngira apa yang akan dibicarakan Bu Popi. Apakah masalah perkelahian itu. Ia menghela nafas, ternyata masalahnya belum selesai.

"Ibu disini hanya ingin mengajakmu ngobrol-ngobrol saja Ndah."

"Iya Bu. Ada apa?"

"Apakah kamu baik-baik saja di sini?"

"Maksud Ibu?" Indah tak mengerti arah pembicaraan Bu Popi.

"Maksud Ibu, apakah kamu nyaman bersekolah di sini?"

Deg! Kenapa Bu Popi bertanya seperti itu. Apakah ia tahu dengan apa yang ia alami selama ini. Dan kalau beliau benar-benar tahu, bukankah itu akan sangat membuatnya malu. Pikir Indah dalam hati. "Nyaman kok Bu."

"Beneran nyaman?" Bu Popi mengerutkan keningnya.

Indah mengangguk, meyakinkan. Memang menyembunyikan luka di dalam hati sungguh sangat berat. Tapi sebisa mungkin ia harus menahannya. Sungguh, menjadi anak pendiam dan pemalu seperti ini sangat menyiksa batinnya. Ya, paling tidak, ia sangat malu menjadi anak pemalu. Nah loh, gimana sih. Bingung kan. Indah berdebat sendiri di dalam hati.

"Tapi kan katanya kamu sering dikerjain sama Jeny cs itu."

Indah tersenyum, "Nggak apa-apa kok Bu. Wajar kok jika aku dikerjain. Kan aku jelek, kuper, cupu, bodoh lagi."

"Indah, gak boleh merendahkan diri sendiri seperti itu."

"Bukan merendahkan Bu, tapi itu memang kenyataan kan."

"Tapi tetap saja, tindakan merendahkan orang lain tidak dibenarkan. Mereka tetap dapat poin kok. Dan Ibu pastikan mereka juga akan dapat hukuman."

Indah menelan ludah. Meskipun tidak yakin dengan apa yang baru saja dikatakan Bu Popi. Masalahnya, Jeny adalah anak paling tajir di sini. Ayahnya adalah donatur terbesar di sini.

"Iya Bu, terimakasih. Lagipula mereka sudah dapat hukuman kok."

"Ibu bangga kamu bisa sabar seperti ini. Asal jangan pernah diulangi lagi ya, perbuatan seperti kemarin."

"Iya Bu, maaf, Indah hanya emosi sesaat. Indah pikir, dengan bisa berkelahi seperti itu, masalah akan beres. Tapi rupanya tidak Bu, justru, masalah terus menghampiri."

"Itu artinya, tidak pernah ada permasalahan yang bisa diselesaikan dengan kekerasan."

"Iya Bu, bener."

Bu Popi menghela nafas. Menurut data yang ia pelajari kemarin, Indah adalah anak pedagang miskin di pinggiran Jakarta. Ia bisa bersekolah di sini karena program beasiswa yang sangat tidak mudah. Bagaimana tidak, program itu hanya diadakan tiap sepuluh tahun sekali, dan hanya memberikan kesempatan pada satu siswa. Dan yang berhasil mendapatkannya adalah Indah. Tentu ia benar-benar siswa berprestasi yang sangat luar biasa. Memang kalau dilihat dari buku raport nya sejak SD, ia memang selalu mendapat peringkat satu.

"Kamu anak yang pintar Indah. Selalu semangat dan tetap berprestasi ya."

Indah mengangguk. Matanya panas. Tiba-tiba saja ia merindukan Ibu. Entahlah, dekat dengan wanita ini membuatnya merindukan Ibunya yang mungkin hanya dengan melihatnya saja ia sudah tenang. Meski Ibunya tak pernah berkata aku cinta, atau apa. Tapi sungguh, dekat dengan Ibu ia merasakan kasih sayang dan cinta sejati meski itu tak pernah didapat dari sekedar perhatian atau perkataan manis dari Ibunya. Dan ternyata, kejadian kemarin membuat ia diperhatikan banyak orang. Mulai dari cowok-cowok sampai Ibu guru. Memang benar apa kata orang. Jika dibalik setiap ujian pasti ada hikmahnya.

"Oh ya, kamu punya adik?"

"Iya Bu."

"Berapa?"

"Enam Bu."

"Enam?"

Dan semua butuh makan. Pikir Indah dalam hati.

"Wah, banyak juga ya. Kalau perkerjaan orang tua kamu, jualan apa?"

"Ibu cuma jualan gorengan Bu. Sedangkan Ayah serabutan. Apa aja dikerjakan. Mulai mulung, tukang bangunan, hingga ojek online. Apa saja yang penting halal."

Bu Popi tersenyum tipis, "Nggak apa-apa ya Indah, meskipun perkerjaan orang tua kamu seperti itu. Asal kamu belajar giat, pasti orang tuamu akan bangga."

Lagipula kenapa harus malu dengan perkejaan orang tua. Kan perkejaan mereka halal. Pikir Indah dalam hati. "Iya Bu."

"Oh ya, kamu tadi lagi sama Wahyu. Teman kamu cewek yang lain mana?"

Indah menghela nafas, bingung. Sepertinya ia sangat malu jika bilang bahwa dia tidak punya teman.

"Em ...."

Melihat Indah menunduk dengan bergumam seperti itu, Bu Popi paham. Sebenarnya, satu-satunya teman yang mau menemaninya hanyalah Nana. Dan dia sekarang tidak mau menemani Indah lagi.

"Tidak apa-apa. Kamu tak perlu malu atau minder berteman dengan siapapun. Yang penting, kamu nyaman aja sama mereka."

"Sepertinya, saya lebih nyaman jika sendiri Bu."

"Tapi Indah, hakikat manusia adalah makhluk sosial. Kamu nggak akan pernah bisa hidup sendiri. Suatu saat, kamu pasti butuh orang lain untuk membantumu."

Deg! Dan itulah yang selama ini menyiksaku Bu. Sesungguhnya, aku sangat benci dengan diriku yang seperti ini. Aku sangat ingin menjadi orang normal seperti orang-orang lain pada umumnya. Yang mereka bisa dengan mudah tersenyum, menyapa, bahkan tertawa bersama keluarga hingga punya banyak teman.

"Tapi, tidak ada yang nyaman berteman dengan saya Bu. Tadi, Wahyu saja mau menemani saya karena dia butuh bantuan. Coba tidak sedang butuh, dia gak bakalan mau sama saya Bu."

Tapi, tak apalah Wahyu datang jika hanya butuh saja. Bisa disukai Wahyu saja itu sudah lebih dari cukup. Bisik Indah dalam hati.

"Iya, gak apa-apa. Kalau kamu sanggup untuk tolong dia ya, gak ada masalahnya kan jika menolong orang lain."

"Tidak ada yang mau berteman dengan saya Bu," kata Indah polos.

Deg!