Maksud kamu?" tanya Indah bergetar. Masalahnya Wahyu lumayan tampan dan disukai banyak cewek. Bagaimana ia bisa menyukaiku. Pikirnya dalam hati. Lagipula Wahyu bisa menyukaiku dari segi apanya. Bukankah aku sama sekali tidak memiliki kelebihan. Dan bahkan diriku sendiri sudah kubenci. Bagaimana bisa ada orang lain yang menyukaiku.
"Iya aku suka sama kamu."
"Sejak kapan?"
"Sejak dulu. Kamu pinter, gak aneh-aneh. Polos, serta apa adanya. Itu yang membuatku suka sama kamu Ndah."
Indah mengerutkan keningnya. Pertama Leo, dan sekarang, Wahyu. Kenapa jadi begini. Apa cinta yang selalu ditunggu-tunggu datangnya memang bersamaan. Lagipula rasanya sangat tidak mungkin jika Wahyu menyukainya. Bukankah ia sangat dingin sama cewek. Tapi, apa yang tidak mungkin bagiNya. Dulu, memang ia selalu tidak dipedulikan. Tapi sekarang, semua telah berubah. Dan ini adalah bukti kuasaNya. Terimakasih Ya Rabb. Bisik Indah dalam hati.
"Kok bisa?"
"Ah udah deh, gak usah dibahas. Yang penting kamu tahu aku suka sama kamu."
Indah menelan ludah, tak mungkin ia menyia-nyiakan kesempatan ini. Tapi, ia harus berkata jujur, "Aku sudah jadian sama Leo."
Wahyu tersenyum tipis, "Nggak apa-apa. Yang penting jangan sampai Leo tahu ya kalau aku suka sama kamu."
Indah kaget dan bingung. Kenapa jadi banyak yang suka sama dia. Mungkin, karena bela dirinya kemarin. Jadi banyak yang kagum dan suka sama dia. Ia tersenyum sendiri.
"Kenapa kamu suka sama aku, jawab yang jujur!" Tanya Indah polos. Karena ia benar-benar tak percaya disukai dua cowok dalam waktu yang hampir bersamaan.
"Karena kamu wanita kuat. Kamu bisa bela diri dan tindakanmu kemarin sungguh buat aku kagum. Kita memang harus melawan kan jika dibully. Tak boleh diam saja."
Tuh kan. Benar. Pikir Indah dalam hati. Ia menunduk, bingung. Apa Leo diputuskan saja ya. Supaya dia bisa pacaran resmi dengan Wahyu. Lihatlah belahan rambutnya yang keren itu. Membuat dia semakin tampan.
"Nggak apa-apa kok, kalau aku cuma jadi simpanan kamu. Asal kamu tahu aku suka sama kamu. Itu udah lebih dari cukup."
Indah menelan ludah, "Soal cewek-cewek itu gimana. Kamu kan disukai banyak cewek."
Wahyu tersenyum tenang, "Aku kan nggak pernah peduli sama mereka."
"Iya deh, kita diam-diam aja ya pacarannya. Jangan sampai ada yang tahu. Nanti aku dapat banyak masalah lagi sama cewek-cewek itu. Oh ya, Jeny ngejar-ngejar kamu kan."
"Ah, Nggak usah bahas anak itu. Males."
"Tapi kan dia cantik."
"Dan kecantikan hati kamu lebih baik dari kecantikan wajahnya yang dibuat-buat itu."
"Dibuat-buat gimana?" Indah mengerutkan kening.
"Lihatlah polesan makeup nya itu. Seperti orang yang mau berkeja di diskotik daripada sekolah."
Indah tertawa, menutup mulut. Ia masih sedikit heran. Kenapa Wahyu bisa menyukainya.
"Eh, jadi kamu kok bisa sih, pinter gitu?"
"Pinter apanya sih Yu, aku biasa aja kok. Malahan anak- anak di sini memang semua pinter-pinter kan."
"Iya sih. Di sekolah ini hanya anak yang otaknya tokcer dan berduit banyak yang bisa menuntut ilmu di sini. Tapi kamu paling pintar deh. Kan kamu selalu tiga besar. Aku benar-benar kagum sama kamu."
Indah tersenyum, "Ah, itu hanya kebetulan saja."
"Kebetulan gimana. Kuakui kamu memang pintar deh."
"Pinter apaan sih, aku biasa aja kok."
"Kalau kamu nggak pinter, nggak mungkin bisa di sini kan."
"Iya deh iya." Indah tertawa. Dalam hati ia berfikir, bahwa semuanya memang kebetulan. Bagaimana tidak, hanya dia satu-satunya anak yang bisa bersekolah di sini dengan jalur prestasi. Artinya ia mendapat beasiswa penuh, selama tiga tahun tidak membayar biaya administrasi sekolah. Malah setiap bulan ia akan mendapat uang saku empat juta rupiah. Ya, meskipun uang sebanyak itu tidak akan bisa berarti apa-apa hanya untuk sekedar menyamakan gaya hidup anak-anak di sini. Itulah kenapa, ia lebih banyak mentransfer uang saku yang didapat kepada keluarganya. Karena uang sebanyak itu sangat berarti banyak untuk mereka. Ya, untung-untung, dapat tambahan uang lah. Daripada nggak sama sekali. Jadi, boleh dibilang dia di sini menuntut ilmu sambil mendapatkan uang.
"Oh ya, ini aku punya sesutu buat kamu." Wahyu mengeluarkan sebatang coklat.
Indah terbelalak. Karena coklat itu adalah kesukaannya dan sudah sekitar empat tahun lalu terakhir kalinya ia makan coklat itu.
"Makasih ya." Ia langsung menyambar cokelatnya.
"Sama-sama." Wahyu tertawa melihat tingkah Indah.
"Shuuut ... dari tadi Ibu amati kalian ngobrol terus," seru Bu Ana, pejaga perpustakaan.
"Eh, iya Bu, maaf." Wahyu mengangguk, memberi tanda hormat.
Bu Ana menghela nafas, pergi sambil meninggalkan pandangan sinis pada mereka. Indah menarik nafas. Ia baru sadar, bahwa di perpustakaan memang tidak boleh ngobrol. Kenapa ia malah ngobrol ngalur ngidul tidak jelas begitu.
"Eh, tu si Indah ngapain sama Wahyu sih." Ujar Bela, yang sedari tadi serius baca buku tak jauh dari meja tempat Wahyu dan Indah.
Wahyu menatap mereka. Sedangkan Indah menelan ludah. Iya sih, memang dirinya sangat tidak pantas untuk sekedar ngobrol dengan Wahyu.
"Sudah, tak usah pedulikan mereka," bisik Wahyu.
"Eh, ini berita bagus. Kita kasih tahu Jeny yuk." Kata Bella, sambil mengajak teman-temannya beranjak.
"Rupanya aku akan mendapat masalah besar," desis Indah.
"Sudahlah, tidak usah takut. Kan kamu bisa bela diri."
"Terus aku akan mendapat masalah yang bertubi-tubi jika bela diri juga."
"Kamu kan hanya membela diri. Nggak masalah."
"Tapi Wahyu, nggak bisa ah. Aku juga yang salah."
"Gampang. Nanti kita laporin aja sama Bu Popi. Beres kan."
"Iya, tapi males ah."
"Ya udah nggak usah dildenin."
"Mereka pasti mau bilang sama Jeny."
"Udah daripada ribut mikirin Jeny mending kamu makan nih coklatnya."
Indah menatap Wahyu dengan ekor matanya, "Tapi kan ini di perpustakaan. Gak boleh makan tahu."
"Jangan sampai ketahuan," bisik Wahyu.
Indah sulit menelan ludah. Entahlah, berdekatan dengan Wahyu membuat ia merasa lebih hidup dan sangat dihargai. Apalagi, wajah Wahyu yang sungguh sangat tampan. Tak jemu ia memandangnya. Lihatlah mata coklat dan indah itu.
"Ini, makanlah!" Wahyu membuka coklat dan menyuapkannya ke mulut Indah, yang masih ragu menerima suapan itu.
Ini adalah hal yang sangat membahagiakan buat Indah. Lihatlah, Wahyu sangat baik padanya. Mana ada teman yang memperlakukan dirinya seperti ini. Sekarang, ia telah mendapat kekuatan yang sebenarnya. Kekuatan untuk melalui hari dan dunia yang semakin sinis. Tapi, apalah arti semua itu jika ada Wahyu di sampingnya. Entahlah, hari yang berat terasa menjadi ringan saja. Ia benar-benar bersyukur bisa diberi kesempatan telah mendapat kebahagiaan seperti ini. Ternyata, dunia begitu indah dan tak sekejam seperti yang ia pikirkan.
"Terimakasih Tuhan. Kenapa Kau memberikan banyak kejutan baik padaku. Ternyata, Kau tak pernah meninggalkanku. Terimakasih," bisiknya dalam hati.
"Jadi kamu di sini Indah."
"Bu Popi."
"Ayo ikut Ibu, ada yang ingin Ibu bicarakan."
Deg!