"M ... maksud kamu?"
Leo tersenyum, mendekati Indah, "Ya aku mau jadi pacar kamu. Mau nggak?"
Bagai disambar petir di siang bolong, Indah tak percaya dengan apa yang baru saja didengar, "Kenapa kamu ngomong gitu?"
"Sebenarnya, aku kagum loh sama kamu. Kamu orang yang bertanggung jawab. Selain itu, ternyata kamu kuat lagi. Kamu pinter bela diri. Dan kamu selalu sabar menghadapi tekanan-tekanan yang datang dari mereka. Jadi nggak masalah dong jika aku suka sama kamu."
Deg! Indah seperti melayang mendengar apa yang barus saja dikatakan Leo. Meskipun Leo tidak setampan Uki, tapi mendapat perkataan barusan, benar-benar membuat Indah serasa lebih hidup. Ia jadi bersemangat. Mungkin inilah yang namanya cinta. Sebuah ungkapan cinta yang selalu ia tunggu kini telah tiba.
"Ka ... kamu beneran, aku kan jelek," Indah mendadak gugup.
"Iyalah, masak aku bohong. Nggak ada gunanya lagi aku bohong sama kamu," Leo menatap Indah tajam.
Indah sulit menelan ludah. Baru kali ini ada cowok yang menyatakan cinta padanya. Padahal selama ini, ia tidak pernah sekalipun ada yang peduli. Seolah dunia merasa, kenapa dirinya harus hidup segala. Di saat teman-temannya yang lain sibuk dengan dunia cinta dan asmara remaja yang indah, dirinya hanya bisa diam dan tak bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa memendam perasaan dan keinginannya untuk memiliki pacar. Lagipula ia juga bingung. Pacaran itu seperti apa dan bagaimana. Apakah, jika ada seseorang yang menyatakan cinta padamu maka ia sudah menjadi pacarmu begitu. Ah, mungkin itu terlalu naif baginya. Tapi, lihatlah sekarang. Leo benar-benar mengutarakan isi hatinya.
"Kok diem aja sih, aku tanya serius nih," ekor mata Leo menggoda.
Indah mendadak malu, "Em ... emang harus aku jawab apa?"
"Ya jawab mau dong."
"Mau." Bola mata Indah membulat seperti anak kecil. Membuat Leo tertawa. Polos amat si nih anak, pikir Leo dalam hati.
"Iya, bilang aja mau."
Indah tersenyum tipis, "Tapi, kamu kok aneh suka sama aku. Aku kan jelek."
"Lah aku juga jelek. Lihat nih, masak cuma gigiku yang putih," Leo memamerkan gigi-giginya. Membuat Indah geli.
"Tapi kan, kalau nggak salah kamu ngejar-ngejar adik kelas. Siapa itu namanya?"
Leo terkekeh. Sebenarnya ia sedang dalam proses pendekatan dengan Zahira, anak yang lumayan kaya di sekolah ini. Ya memang untuk bisa bersekolah di sini hanya orang-orang dari kalangan atas. Tapi, Zahira bukan cuma anak orang kaya. Tapi ia juga anak konglomerat. Itulah kenapa Leo jadi sungkan sendiri. Lagipula, mana mungkin Zahira yang tinggi, manis, dan anak geng populer itu menerima Leo yang hitam, kurus, dan meskipun anak yang masuk geng populer tapi ia hanya pelengkap. Tak terlalu diperhitungkan atau tak penting. Ia sering tidak dipedulikan. Meski begitu, tak masalah daripada harus berteman dengan anak yang lain yang nggak sepopuler gengnya. Tapi, dengan keadaan seperti itu, Leo masih menaruh harap pada Zahira. Ya, meskipun hanya nol koma satu persen. Dan ia sangat pesimis. Tapi dengan Indah, bukankah itu hanya pura-pura saja. Jijik bengat beneran suka sama anak cupu ini.
"Zahira. Iya sih, tapi aku nggak mau ngejar-ngejar dia lagi. Malas ah. Aku pikir, buat apa mengejar-ngejar anak yang nggak akan pernah peduli sama kita."
"Iya juga sih."
"Jadi gimana. Mau kan."
Deg! Indah bingung, bukankah ia nggak pernah mengalami ini sebelumnya. Tapi, nggak ada salahnya juga jika ia bisa menerima Leo. Lagipula, ia nggak pernah pacaran kan. Paling tidak, dengan Leo ia bisa tahu pacaran itu seperti apa. Meski bingung, tapi ia cukup penasaran dengan yang namanya pacaran itu seperti apa. Mungkin ini adalah cinta pertama yang selalu ia tunggu.
"Iya," lirih Indah.
"Benarkah?" mata Leo membulat.
"Iya. Tapi, kamu kok aneh tiba-tiba suka sama aku," kata Indah pelan, karena ia benar-benar tidak percaya Leo bisa menyukainya.
"Iya aku tahu kamu pasti tidak percaya kalau aku beneran suka sama kamu. Nggak masalah kalau nggak percaya. Yang jelas, aku beneran suka dan apakah kamu suka sama aku atau nggak itu nggak penting buat aku. Yang penting kamu jadi pacar aku."
Indah menelan ludah, sesederhana itukah, "Iya, makasih sudah mau menyukaiku."
Benar-benar polos nih anak. Gumam Leo dalam hati.
"Eh, kita udah selesai. Terimakasih ya kamu sudah mau membantu aku sampai selesai begini."
"Iya, sama-sama pacarku. Sekarang waktunya kamu istirahat ya. Jangan capek-capek."
Indah serasa melayang. Ia tak menyangka akan mendapat perhatian seperti ini. Ternyata, punya pacar enak juga. Ada yang perhatian sama dia. Ia mengangguk, tersipu malu, segera merapikan dan membawa kembali semua peralatan kebersihannya.
***
Keesokan harinya, Indah lebih bersemangat. Meski ia sangat kelelahan karena menjalankan hukuman kemarin, tapi entah kenapa hari ini ia sangat bersemangat. Ia lebih tenang dan meskipun dunia masih selalu jahat padanya, ia tetap bahagia dan ikhlas menerima semuanya. Karena kebahagiaan itu sangat berharga disaat kesedihan selalu mengelilingi kita. Bukan begitu. Pikir Indah dalam hati.
"Eh, lihat tuh, si cupu datang," teriak Jeny. Ia masih sangat marah dengan perbuatan Indah kemarin. Akibatnya, ia dan temannya yang lain harus mendapat hukuman dari Bu Popi, yakni membersihkan kelas saat pelajaran akan dimulai selama satu bulan
"Eh iya. Kok masih di sini sih. Aku pikir dia dikeluarkan gitu," kata Maria.
Sementara Indah dengan menunduk ia tetap berjalan menuju bangkunya. Biarlah anak-anak berkata apa. Toh sudah biasa. Yang penting sekarang ia harus bisa menahan emosi dan sabar. Lagipula semua sudah tahu jika ia tidak suka mendapat perilaku seperti itu.
"Eh, Indah, lihat tugas kamu dong," seru Wahyu saat Indah baru saja duduk.
"Tugas apa?" tanya Indah polos.
"Itu, tentang resensi novel yang kemarin."
Indah menghela nafas. Ia mengerjakan saat telah selesai melaksanakan hukuman itu. Dan tidur saat sudah jam dua malam. Untung saja baru dapat pacar, sehingga ia masih bersemangat mengerjakan tugas. Dan sekarang, hasil kerjanya harus diserahkan gitu aja sama Wahyu.
"Ini."
Wahyu memeriksa beberapa lembar yang diberikan, "Aku belum mengerjakan. Boleh nyontek ya."
"Eh, ngapain kamu nyontek anak itu segala. Gak usah dikerjakan lagi. Aku dan anak-anak yang lain juga belum," sungut Jeny.
"Ok deh, aku gak jadi nyontek. Tapi kamu mau kan ngajarin aku."
Mata Indah membulat. Ia merasa sangat istimewa mendapati dirinya masih ada yang membutuhkan, "Ngajarin kamu?"
Wahyu mengangguk, "Iya, kamu kan pintar. Aku mau dong kamu ajarin."
"Ajarin. Aku nggak bisa."
"Tapi kan kamu selalu dapat peringkat tiga besar. Berarti kamu pintar dong."
"Ah, udah deh Wahyu ngapain sih kamu minta ajarin dia segala. Nggak guna tahu, mana sekarang dia jadi preman lagi," seru Jeny.
"Udah deh Jen, kamu ngapain sih sensi banget sama Indah. Toh dia nggak pernah ganggu kita kok."
"Apa. Kamu belain anak cupu ini. Jelas-jelas kemarin dia memukuli kita. Ya kan."
"Tapi kan kamu dulu yang mulai."
Indah bingung, tak menyangka Wahyu akan membelanya, "Udah-udah. Ngapain sih kalian bertengkar. Iya Wahyu, nanti aku ajarin ya."
"Nah gitu dong, nanti ya, jam istirahat pertama, kita ke perpus."
Indah mengangguk, tak menyangka akan ada orang yang akan meminta bantuannya. Itu merupakan hal yang sangat istimewa baginya.
Dan saat jam istirahat pertama, Indah dan Wahyu bertemu di perpustakaan. Indah dengan senang hati mulai mengajari Wahyu.
"Ndah, aku suka deh sama kamu."
Deg!