Meski ragu, dengan pelan Indah membuka pintu.
"Heh, kamu yang bikin keributan tadi kan?" tanya seorang gadis. Di belakangnya ada tiga temannya yang mengekor. Rok seragamnya di atas lutut. Sementara seragam atasnya sangat sempit dan sudah waktunya diganti.
"Saya hanya membela diri," Indah mencoba membuka mulut. Ia tahu. Posisinya sekarang sangat tidak aman. Mereka pasti akan menyalahkannya.
"Membela diri apa. Asal kamu tahu ya. Gara-gara kamu hidung kakakku berdarah terus tahu nggak. Dia mimisan."
"Saya minta maaf Mbak. Tapi, sekali lagi saya hanya membela diri."
Meskipun kelihatannya anak ini adik kelas, dengan tanpa mengurangi rasa hormat, Indah memanggilnya dengan Mbak. Mana kelihatannya songong amat lagi. Pikir Indah dalam hati.
"Membela diri gimana. Apakah kamu disakiti sama kakakku. Nggak kan."
"Tapi dia ngerekam, dan ketawa-ketawa gitu. Bukankah itu namanya juga ikut-ikutan Mbak."
"Haduh, kamu tuh ya," Gadis itu mendorong Indah hingga terdorong ke tembok.
"Eh, eh, udah Rais," seru salah satu temannya. Ia memegangi Raisa supaya tidak semakin menyakiti Indah.
"Nyebelin tahu nggak. Awas aja, kalau kamu bikin gara-gara lagi. Aku nggak akan segan-segan untuk ngelaporin kamu ke polisi. Ngerti kamu!"
Indah merasa air liur Raisa nyiprat ke mukanya. Raisa melepas pegangannya dengan kasar. Ia mendengus kesal, pergi diikuti teman-temannya yang memandang Indah dengan sinis.
Indah menarik nafas panjang. Ia benar-benar tak menyangka bisa mendapat ancaman lagi. Bahkan lebih buruk dari biasanya. Tapi, melawan mereka hanya akan mendatangkan masalah baru yang lebih pelik. Indah menelan ludah, bingung dengan apa yang harus dilakukan. Sekarang, ia berhadapan dengan masalah lain yang mungkin lebih berat. Sejenak, rasa takut menyelinap. Tapi apa yang bisa dilakukannya.
***
"Bagaimana semua baik-baik saja kan?" Bu Popi masuk ruang UKS. Ia menghampiri Jeny yang masih duduk di tempat tidur.
"Bu, di sekolah kita ada preman sekarang?" Jenny malah balik nanya.
"Ibu yang seharusnya tanya sama kamu. Indah kamu apakan sehingga dia bisa ngamuk begitu?"
"Kami hanya menggodanya saja Bu. Masak gitu aja dimasukkan dalam hati," sungut Jeny.
"Kamu menggodanya seperti apa?" Wanita berjilbab itu menatap mata Jeny dengan tajam.
"Dia kan cupu Bu. Masak ngomong aja nggak pernah."
"Iya, Bu, dia cupu," ujar Maria yang selalu berada di samping Jeny.
"Eh, kalian kok gitu sih. Nggak boleh kan seperti itu. Bagaimanapun juga Indah itu teman kalian. Terimalah ia, ajak berteman yang baik, jangan dicemooh melulu."
"Bu, masak kita-kita yang cakep ini punya teman cupu. Nggak lucu dong. Hahaha ...," Jeny menutup mulut. Semua jadi tertawa. Kevin masih memegangi hidungnya, sambil menahan nyeri. Ia ikut tertawa.
"Sudah-sudah. Pokoknya, Ibu nggak mau kalian bersikap buruk sama teman. Ibu nggak suka. Nggak baik bersikap seperti itu sama teman sendiri."
"Teman Bu, nggak dia bukan teman kita."
"Semua yang bersekolah di sini adalah teman kalian. Nggak ada yang perlu dibeda-bedakan."
"Iya Bu, tapi masak kita temenan sama orang cupu sih."
"Kalian yang menganggapnya cupu. Padahal dia biasa aja. Nggak cupu kok," desis Bu Popi menahan emosi.
"Nggak cupu gimana Bu. Orang dia diem aja. Kalau ketemuan juga nggak pernah negur. Dia yang nggak nganggap kita," Jeny meninggikan suaranya.
"Dia itu cuma pemalu. Dan itu nggak jahat. Ia hanya butuh dukungan dari kita semua. Kita harus mendekati dia, mengajak berteman."
"Seriously, males ah, nggak mau ah, jijik banget," Jeny membuang muka, membayangkan dirinya berteman dengan Indah si cupu itu. Ogah banget. Pikirnya dalam hati.
"Terserah deh, pokoknya kalian, akan dapat hukuman dari Ibu."
Jeny terkejut, "Lah, kok kita dapat hukuman sih Bu. Kan kita nggak salah apa-apa. Malah kita yang dianiaya."
"Iya, Ibu juga akan menghukum Indah. Tapi tetap, kalian juga harus dihukum. Masalahnya, Indah seperti itu karena kalian kan."
"Yah, payah nih Ibu ...."
Maka semua menggerutu dengan tidak jelas. Bu Popi hanya bisa menarik nafas. Ia benar-benar tak menyangka, Indah, gadis pendiam dan polos itu ternyata bisa tempramen. Belum lagi, anak-anak lain yang seperti ini. Sangat susah dibilangin. Entahlah, rasanya, makin besar usia anak, makin susah diatur. Ia menarik nafas panjang, seolah membuang semua beban pikiran yang mendera. Berharap, semua akan lebih baik.
"Sudah-sudah, Jeny, Maria dan yang lainnya, kalau kalian sudah baikan dengan luka-lukanya, kalian bisa balik ke kamar masing-masing. Ingat, jangan pernah mengganggu Indah lagi. Bu Santi, bagaimana keadaan mereka?" tanya Bu Popi pada Bu Santi, penjaga UKS.
"Keadaan mereka tidak ada apa-apa kok Bu. Cuma luka kecil saja," kata Bu Santi ramah.
"Tapi tetap kita harus dibawa ke rumah sakit Bu. Kalau ada apa-apa bagaimana?" tanya Jeny sok polos.
Bu Popi berdecak, "Ada apa-apa gimana. Kalau bu Santi bilang kalian tidak apa-apa berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Ah, Bu Popi ah nggak asik."
"Sudah-sudah, lebih baik kalian kembali ke kamar ya," ujar Bu Santi.
Maka, mereka segera kembali ke kamar masing-masing. Bu Popi menarik nafas. Sekarang yang perlu ia pikirkan adalah Indah. Ya, ia harus observasi tentangnya.
Sore hari, saat pelajaran bakat dan minat, Indah benar-benar tak bisa berkonsentrasi. Ia merasa, setiap anak yang melihatnya, selalu memandang sinis.
Kabar tentang dirinya yang telah menghajar anak-anak langsung tersebar ke seantero sekolah. Hal ini semakin membuat Indah frustasi.
"Jadi dala dialo tag, untuk penulisan emosi bernada lemah, kalian bisa menambahkan kata bisik,guma, decak ...,"
Indah seolah memperhatikan penjelasan Bu Tari di depan. Tapi sebenarnya, pikirannya kacau melayang kemana-mana. Ia melirik ke bangku sebelah. Terlihat Nana juga melihatnya. Seandainya ia bisa menceritakan semua pada Nana, tentu ia bisa mengurangi bebannya. Tapi terlihat Nana menggeleng, dan tersenyum sinis padanya. Baiklah, fix sudah. Sekarang, benar-benar tidak ada yang peduli padanya. Serta semua orang memandangnya buruk.
Seorang anak yang duduk sebelah kanannya meletakkan kertas yang dilipat kecil di meja. Indah sempat tersentak. Ia menatap anak laki-laki itu, yang meliriknya sebentar, lalu berpura-pura antusias dengan penjelasan guru.
Kenapa Uki memberikan aku surat. Pikirnya dalam hati. Pelan, ia mengambil kertas itu, dan mul UIai membukanya.
CUPU, I LOVE YOU. Deg! Tangan Indah bergetar saat melihat tulisan itu. Uki menyatakan cintanya. Bukankah, ia juga sudah lama menyukai ketua kelas itu.
Terdengar bisik tawa dari Uki juga beberapa anak di belakang dan sampingnya. Bahkan mereka seolah menahan tawa terbahak-bahak itu. Tak menyangka Indah benar-benar mudah dipermainkan.
Sesaat Indah sadar, bahwa ia sedang dipermainkan. Tak mungkinlah orang ganteng dan pintar seperti Uki menyukainya. Ia mengambil nafas dalam, seolah ingin membuang masalahnya. Ya, ia tak lebih dari gadis yang cupu. Yang terlihat sangat aneh dan mungkin sedikit konyol. Gerak-geriknya tak lebih dari candaan orang-orang. Lalu, bagaimana dengan perlawanannya kemarin. Ya, itu adalah hal yang lebih konyol lagi. Bukan begitu. Indah menghela nafas, benci dengan dirinya sendiri. Entah sampai kapan semua ini akan berlalu. Apakah selamanya ia akan mengalami hal seperti ini. Entahlah.