"Kenapa harus menghubungi orang tua saya Bu?" Indah pias, harapannya untuk bisa segera lepas dari masalah ini sirna. Bayangan akan raut sedih wajah kedua orangtuanya melintas. Tentu ia tak sampai hati jika menyakiti keluarganya. Dan masalah ini, sedikit banyak jika keluarganya tahu maka tentu akan membuat kedua orang tuanya sedih.
"Iya. Kamu sudah melakukan kesalahan bukan, telah memukuli mereka."
"Tapi saya melakukan itu karena terpaksa. Saya capek diperlakukan seperti itu terus Bu," ujar Indah menahan air mata. Dan kini matanya telah berkaca-kaca. Ia tidak ingin orang tuanya tahu tentang masalah yang sedang dihadapi. Ia tak mau menambah beban mereka. Bisa makan saja sudah syukur. Kenapa harus ditambah dengan kesusahan lagi. Pikir Indah dalam hati.
"Jadi, kamu dapat poin. Sesusai dengan ketentuan yang berlaku. Ditambah dengan membersihkan seluruh kamar mandi mulai dari lantai satu sampai enam."
Deg!
"Kenapa banyak sekali Bu?" Indah berkeringat.
"Apa kamu minta yang lebih banyak? Membersihkan seluruh halaman sekolah misalnya."
"Tapi, tidak perlu memanggil orang tuanya kan," ujar Pak Mario.
"Loh, itu sudah peraturan Pak. Tak ada toleransi."
"Tapi Bu, Indah berkelahi karena membela diri," ujar Pak Mario. Indah menatap guru tampan itu. Ia tak menyangka. Ternyata Pak Mario membelanya.
"Tapi yang namanya peraturan itu ya peraturan Pak. Tidak bisa ditolerir dengan apapun. Nyatanya dia memukul anak-anak kan. Ini bahaya lo. Kalau ada salah satu wali murid saja yang tahu lalu melaporkan ke polisi. Indah bisa dipidana kan. Bukankah itu tindakan kriminal namanya."
"Lalu mengambil buku yang sedang dibaca dengan paksa apakah itu juga bukan mengganggu hak asasi manusia?"
Bu Opi menelan ludah. Ia tahu, Pak Mario ini meskipun polos tapi lumayan cerdas. Ia tak boleh menganggapnya remeh. Bu Opi sedikit gugup menatapnya.
"Ok lah. Untuk kali ini kamu dapat keringanan hukuman. Orang tua kamu tidak jadi Ibu panggil. Anggap saja ini kompensasi karena kamu diganggu. Paham?"
Indah sedikit lega, ia mengangguk pelan, "I ... iya Bu."
"Apakah anak-anak yang mengganggu Indah tidak dapat hukuman juga?" tanya Pak Mario.
"Kenapa harus ada hukuman?"
"Sudah jelas mereka mengganggu Indah bukan?"
"Sekarang Ibu tanya sama kamu Indah. Kenapa kamu diganggu?"
Indah bingung dengan pertanyaan yang diajukan Bu Opi barusan. Apa maksud dan arah dari pertanyaannya ini, "Maksud Ibu?"
"Kenapa mereka suka mengganggu kamu?"
Indah sulit menelan ludah. Tentu saja karena ia cupu, pendiem, dan aneh. Tapi, apakah ia akan mengatakannya pada Bu Opi. Tentu malu bukan. Lagipula siapa yang peduli padanya. Toh ia sama sekali tak penting. Dan kenapa ia harus ada di dunia ini. Indah menelan ludah, mengingat hidupnya yang tak penting. Dan itulah kenyataannya. Lagipula ia bisa apa.
"Bu, supaya lebih adil, kita bisa panggil Jeny dan kawan-kawannya itu. Bagaimana?" tanya Pak Mario.
"Ok, nggak masalah. Besok, Ibu harap kamu dan Jeny menghadap Ibu di saat jam istirahat pertama. Paham?"
Indah mengangguk. Sungguh, tatapan mata Bu Opi padanya lebih seperti seorang anggota polisi yang menemukan tersangka kasus pencurian maling ayam daripada tatapan kasih sayang seorang guru kepada muridnya.
"Iya Bu, terimakasih," jawab Indah.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu," ujar Pak Mario lega, karena satu masalah telah teratasi. Paling tidak, ia melihat Bu Opi masih sedikit bijaksana dengan keputusan yang diambil.
" S ... saya, juga permisi Bu," Indah buru-buru berdiri.
Bu Opi mengangguk malas, segera membuka berkasnya untuk melanjutkan pekerjaan.
Pak Mario dan Indah keluar.
"Baiklah Indah, sekarang kamu kembali ke kelas ya."
Indah mengangguk, "Terimakasih Pak, Bapak sudah menolong saya."
"Itu sudah menjadi tugas Bapak sebagai pendidik. Oh ya, kamu jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menghubungi Bapak."
Indah sulit menelan ludah, malu karena merasa diistimewakan seperti ini, "Iya Pak, sekali lagi terimakasih."
"Dan ingat, jangan kamu ulangi lagi. Kalau punya ilmu bela diri, gunakan dengan baik ya. Jaga emosi kamu."
"Iya Pak."
Pak Mario mengangguk, berlalu.
Indah menghela nafas. Ia tak menyangka, ternyata di sekolah ini masih ada yang perhatian dengannya. Seandainya saja, Pak Mario itu suamiku. Pasti sangat bahagia jika memiliki suami yang begitu perhatian. Desis Indah dalam hati. Ah, kenapa aku jadi ngaco begini. Beliau guruku. Mana mungkin aku menyukainya. Lagipula, sudah menikah kan. Tapi, nggak ada salahnya jika aku menyukainya. Toh cuma dia yang perhatian sama aku. Memangnya harus menyukai orang yang perhatian ya. Ah, sebegitu besarkah ketidakpedulian dunia sehingga mendapat perhatian sedikit saja ia sudah sangat bahagia. Indah berdebat dengan dirinya sendiri.
Sementara Pak Mario masih berjalan menyusuri lorong sekolah. Sapaan murid-murid yang berpapasan dengannya, dijawab dengan senyum dan anggukan. Salah seorang murid cewek sempat berdesir hatinya karena melihat mata Pak Mario yang sangat indah dan seksi. Bulu matanya begitu lentik, panjang dan banyak. Seperti punya wanita sih. Tapi, itulah bukti kuasaNya. Begitu indah. Belum lagi jika senyum tipisnya mengembang. Sudah pasti membuat dia semakin banyak penggemar. Ia juga sering mendapat ungkapan cinta dari para murid. Tak peduli ada Bu Popi sebagai istrinya. Meski begitu, Bu Popi hanya bisa bersabar. Karena ia yakin, suaminya begitu setia meski murid-murid cewek sangat cantik-cantik.
Pak Mario hanya bisa tersenyum tipis melihat kelakuan muridnya itu. Ia sudah terbiasa dengan para murid wanita yang sering terlihat malu-malu atau salah tingkah. Dan kini, ia masih memikirkan Indah. Bagaimana gadis itu bisa seperti itu. Maksudnya, ia tidak akan tinggal diam jika melihat anak didiknya punya suatu masalah. Dengan senang hati ia akan selalu membantu sebisanya. Dan sejauh ini, ia melihat Indah adalah gadis yang selalu diam. Tidak pernah bikin masalah. Bukankah ia duduk di bangku depan sendiri saat pelajaran. Saat ia menerangkan tentang pelajaran agama. Ya, mungkin sesekali Indah terlihat membaca novel. Tapi wajar kan, setiap murid pasti punya sisi kenakalan sendiri-sendiri. Mungkin saja ia sedikit minder. Tapi, kenapa harus minder. Memangnya apa kekurangannya. Ah, sepertinya ia harus tahu banyak tentang Indah. Pikirnya dalam hati.
"Hai," sapa Mario kepada salah satu guru yang masih sibuk mengerjakan penilaian mingguan.
"Hai juga," Bu Popi memandang Pak Mario sekilas, sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Wah, masih siang sudah dapat panggilan nih," kata seorang guru, tak jauh dari meja Bu Popi. Ia sibuk menata berkas-berkas sambil sesekali mengusap dahinya yang mulai penuh dengan keringat.
"Iya dong Bu, sudah kangen nih," ujar Pak Mario sambil tersenyum.
"Hahaha, bisa saja Pak Mario."
Bu Popi tersenyum tipis, mengalihkan konsentrasinya dari layar laptop. Ia melirik teman-teman guru yang lain. Mereka terlihat sibuk di meja masing-masing. Ya, meskipun sesekali ada yang bercanda atau nyemil. Maklumlah, candaan antar guru sangat penting, untuk sesekali mendapat hiburan, di sela-sela mendidik anak-anak yang kelakuannya semakin hari semakin terlihat tak lebih seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Apalagi, di usia remaja memang usia rawan. Dan tidak ada yang bis dilakukan Bu Popi selain selalu berusaha membimbing anak-anak ke arh yang lebih baik meskipun sebisanya.
"Ada apa sih. Tumben kesini?"
"Indah itu, murid kamu bukan. Kamu wali kelasnya kan."
"Indah," Bu Popi mencoba mengingat anak didiknya yang bernama Indah. Maklum. Karena menjadi wali kelas tugas yang begitu berat, mendidik dan memperhatikan perkembangan tiap anak, belum urusan administrasi atau yang lainnya, kegiatan-kegiatan guru di luar sekolah, serta perkerjaan rumah tangga dan mengurus anak-anaknya sendiri yang tentu sangat menyita pikiran, tenaga, dan konsentrasinya. Dan itulah sebabnya, kenapa sekarang ia jadi sedikit pelupa. Tapi apapun itu selama itu baik dan bisa mendatangkan keberkahan dalam keluarganya, akan ia lakukan.
"Indah, Indah yang mana ya?"
Pak Mario menghela nafas. Sementara Bu Popi masih berpikir keras untuk mengingat anak didiknya yang bernama Indah. Ia masih belum familiar dengan nama itu.
"Oh, iya aku ingat. Anak yang kutu buku itu kan."
"Iya. Kau sudah ingat?"
"Maklum dia sangat pendiam. Jadi wajar kalau aku nggak begitu ingat. Yang paling gampang diingat itu ya tentu anak-anak yang nakal dan suka bikin ulah kan."
"Kau tahu, tadi Indah berkelahi. Dan aku nggak pernah tahu kalau ternyata dia jago bela diri."
"Apa? Berkelahi?" Masak cewek polos dan pendiam seperti itu jago berkelahi. Pikir Bu Popi dalam hati.
"Dia sering diganggu sama Jeny dan kawan-kawannya, dan tadi karena sudah tak tahan, dengan terpaksa melawan. Kau tahu, beberapa anak bahkan langsung dibuatnya kesakitan semua."
Sontak Bu Popi berdiri, "Ini suatu yang sangat buruk. Bagaimana dengan anak-anak itu. Mereka baik-baik saja kan."
"Kamu bisa periksa sendiri deh. Aku pusing."
"Ok," Bu Popi bergegas ke ruang UKS.
***
Indah melangkah gontai menuju kamarnya. Sebentar lagi jam makam siang. Ia benar-benar tak berselera. Lebih ingin menenangkan diri di kamar mandi. Mau bagaimana lagi. Di sekolah ini, saat jam-jam seperti ini, tidak ada tempat yang baik untuk menyendiri selain kamar mandi. Dan ia sudah terbiasa duduk berlama-lama di dalam sana, sampai ada orang yang menggedor pintu kamar mandi.
Ia menutup pintu kamar mandi lalu duduk bersandar pintu. Di sana, air mata mulai menetes. Ia benar-benar tak bisa menyangka bisa menjalani kehidupan yang begitu keras seperti ini. Bagaimana tidak. Ia anak yang introvert dan pendiam. Tidak bisa sekedar menegur orang. Apalagi sampai berteman. Sebenarnya, ia sangat ingin bisa berubah. Tapi entah kenapa, semua terasa begitu sulit. Ia bingung dengan apa yang harus dilakukan. Sungguh, mengalami hal seperti ini sangat tidak enak.
Sebenarnya, ia tak ada niat untuk menyakiti siapapun. Apalagi sampai menendang atau meninju hidung. Tapi, entah kekuatan apa yang masuk, rasa itu datang begitu saja. Tiba-tiba, ia sangat ingin melawan mereka. Seolah amarah yang selama ini terpendam menguap sudah, meluber mememuhi ubun-ubun hingga membentuk sebuah tendangan yang membuat beberapa anak tak berdaya. Tapi, dengan begitu ia jadi sedikit lebih lega. Ya, kini, semua tahu, bahwa ia tak bisa dengan seenaknya diperlakukan buruk seperti tadi. Bukankah itu sangat menyakitkan.
Lalu, bagaimana dengan hukuman tadi. Tak apa, tak masalah. Toh ia sudah biasa melakukan latihan fisik yang berat. Naik turun tangga tiga puluh satu kali, mengelilingi sekolah tiap lantai empat kali, dan sebagainya. Hal itu biasa ia lakukan setiap pagi, saat jam bersih diri. Ia mencuri waktu.
"Heh, buka pintunya Indah. Kamu jangan sok bisa bela diri terus seenaknya ya!"
Suara siapa itu. Deg!