Indah sulit menelan ludah. Ia gugup dan bingung. Tatapan guru tampan itu, membuatnya takut sekaligus kagum. Belum pernah ia ditatap seperti ini.
"Ada apa ini?" Pak Mario, dengan ekor matanya yang tajam, menyelidik sinis.
"Jadi, Indah tadi ngamuk Pak." Ujar Leo takut-takut. Sesekali matanya menatap Indah yang masih duduk di bangku depan.
"Indah?" Pak Mario melangkah, mendekatinya. Ia heran, kenapa gadis itu bisa melakukan ini. Sepertinya, ia belum pernah mendengar namanya. Namanya, tidak terlalu familiar.
"Indah, benar kamu yang melakukan ini?" tanya Pak Mario menyelidik, menatap Indah yang masih menunduk. Ia tahu, anak di depannya ini sangat ketakutan.
Deg! Indah terdiam. Badannya gemetar ketakutan. Belum pernah ia merasakan hal seperti ini sebelumnya. Ia tak sanggup berkata apa-apa.
"Semuanya, segera bantu teman-teman kalian. Bawa ke ruang UKS. Sebagian lagi, bersihkan tempat ini!" seru Pak Mario tegas.
Suasana mulai berubah. Anak-anak segera menolong yang lain, sambil berkemas.
"Indah, benar kamu yang melakukannya?" bentaknya. Ia tak tahan lagi.
Indah menarik nafas, dadanya gemetar.
Beberapa anak mulai membantu anak-anak lain yang masih kesakitan. Sebagian mulai membersihkan ruangan. Kevin sambil memegangi hidungnya yang berdarah, menemukan ponselnya di meja samping Indah duduk. Mendengus kesal, mengambil kembali ponselnya. Mengusap hidungnya yang sakit.
"Kenapa jaketmu basah?"
Indah masih menunduk. Ia merasa keringat dinginnya keluar.
"Kenapa kamu diam saja. Bisa bicara tidak?"
Indah memejamkan mata. Perutnya mulas.
"Sudah, kamu ikut Bapak. Jelaskan semua di ruang BP!"
Indah pias. Seumur hidupnya, belum pernah ia masuk ruang BP. Baginya, ruangan itu adalah tempat hukuman untuk anak-anak nakal.
"Ayo!" teriak Pak Mario sambil menggebrak meja. Menatapnya kesal.
Indah melonjak dibuatnya. Jantungnya berdegup kencang. Gugup, ia mengangguk, "I i ... iya ... Pak," katanya pelan, nyaris tak terdengar.
"Pak, ini bukti rekamannya tadi." Kata Kevin sambil menyerahkan ponselnya. Ia masih memegangi hidungnya dengan tisyu. Rasa sakit masih sangat terasa.
"Ok, hp kamu Bapak bawa. Sekarang, bantu teman yang lain membersihkan ini."
"Iya Pak," Kevin mengangguk.
"Ayo Indah, kamu ikut Bapak!"
"Iya nih, dasar. Anak tak tahu diri!" gerutu Kevin.
"Kevi sudah, gak pantas kamu bicara seperti itu."
"Iya Pak, maaf."
Indah sulit menelan ludah. Ia bahkan mulai merasa sangat pusing. Seolah bumi ikut berputar. Lah bukannya bumi memang berputar. Ya, mungkin bumi seolah berhenti. Tapi justru yang dirasa adalah seperti berputar. Bukan begitu. Indah mencoba mengalihkan perhatiannya. Ia benar-benar frustasi sekarang. Pelan, ia bangkit, berjalan menunduk mengikuti Pak Mario. Semua orang menatapnya. Terutama Jeny. Dan masih mengelus pipinya yang kemerahan, dengan desis menahan rasa sakitnya. Indah melihatnya sekilas. Sedikit takut karena sorot mata Jeny yang menatapnya tajam seolah seekor harimau yang akan menerkam mangsanya. Ini semua gara-gara gadis itu. Pikirnya dalam hati. Seharusnya, ia tak pernah menginjakkan kaki di sekolah ini. Bisik Indah dalam hati. Ya, dia memamg menyadari posisinya sebagai gadis yang culun, bodoh, jelek, miskin, dan lain sebagainya. Ia memang pantas diperlakukan buruk karena nasib yang yang memang tak seberuntung mereka. Tapi, direndahkan terus menerus seperti ini bukan hal yang bagus bukan. Pikirnya dalam hati.
Pak Mario dan Indah melewati koridor sekolah. Ruangan kelas yang berjejar dengan jendela abu-abu serta tembok cat putih, seolah menertawakan Indah. Entah apa yang akan didapat nanti di ruang BP. Bukankah, ia hanya membela diri.
Indah tak tahu harus bagaimana. Ia hanya pusing saja selalu diperlukan seperti itu. Awalnya, semua berjalan dengan baik-baik saja. Ia hanya mulai berpikir tentang dirinya, saat seorang temannya berkata, "Jadi anak jangan pendiam Ndah. Sesekali main ke bangku anak yang lain. Kalau kamu pendiam, maka masa-masa SMA kamu tak pernah ada ceritanya. Dan itu tidak enak."
Indah menelan ludah mengingat perkataan Nana, teman sekelasnya yang perlahan menjauhinya. Ia tahu kenapa Nana seolah tak mau berteman lagi dengannya. Itu karena dia membosankan. Bukan begitu.
Tok! Tok! Tok! Pak Mario mengetuk pintu. Rupanya, mereka sudah sampai di ruang BP.
"Masuk!"
Pak Mario segera membuka pintu cokelat itu. Ia mengangguk, mengucap salam.
"Iya ada apa Pak?" Bu Opi, guru BP yang terkenal sadis di muka bumi. Indah merasa sedang bertemu dengan malaikat maut saat melihat wanita itu menaikkan kaca matanya.
"Silahkan duduk Indah," kata Pak Mario, tak menanggapi pertanyaan Bu Opi. Ia tahu. Wanita empat puluh tahun ini tak akan pernah menyuruh orang yang berada di ruangannya, untuk duduk.
Pelan, dengan seolah tenaga yang tersisa, Indah membenarkan kursi di depan meja Bu Opi untuk duduk.
"Barusan ada masalah Bu. Dan ini sangat fatal," Pak Mario membenarkan kemejanya.
Deg!
Indah sulit menelan ludah. Bingung dengan apa yang harus dikatakannya.
"Ada apa?" wajah sangar Bu Opi yang tak pernah senyum itu mulai menyelidik.
"Baik Indah. Ceritakan apa masalahmu," kata Pak Mario.
Indah semakin bergetar. Ia pusing dan tak tahu harus berkata apa. Maka tak ada pilihan lain selain ingin segera keluar dari tempat ini.
"Sa ... saya tidak salah Bu," Indah gugup.
"Tidak salah bagaimana?" Bak detektif terkemuka, Bu Opi mulai mencari titik permasalahan.
"Ini adalah rakaman kejadian tadi. Barusan sudah saya periksa," Pak Mario menyerahkan ponsel milik Kevin.
Bu Opi mengambil ponsel itu, mengamati sebentar. Sementara Indah hanya bisa menunduk. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Semua seperti bom waktu, yang ia sendiri harus menerima akibatnya. Tiba-tiba rasa gugup semakin menjalar. Bahkan seperti membuat dadanya berdebar-debar. Ia sulit menelan ludah.
"Jadi, kamu memukuli mereka?"
Indah menelan ludah, "Saya ... tidak ada maksud Bu, tapi ...."
"Tidak ada maksud memukul?" Bu Opi memandang Indah seperti singa menemukan mangsanya.
Indah mengangguk pelan, "Iya Bu."
"Lalu kenapa kamu memukuli mereka?"
"Karena mereka mengganggu saya."
"Mengganggu bagaimana?"
"Mereka selalu mengganggu saya."
"Saya tanya mereka mengganggu seperti apa. Saya tak peduli kamu sering diganggu atau tidak," sikap acuh Bu Opi mulai keluar.
Deg! Indah pias. Ia mulai gemetar.
"Kenapa kamu basah?" tanya Pak Mario, melihat Indah mulai terlihat sangat cemas.
"Jeny sengaja menumpahkan minuman sisa."
"Menumpahkan minuman?" Bu Opi mengerutkan kening.
"Jeny?"
Indah mengangguk lemah. Entahlah, ia merasa perutnya mulai sakit.
"Apa masalahnya sehingga dia bisa menumpahkan minuman sisa seperti itu? Bukankah itu penghinaan namanya," Bu Opi memasang muka serius, membuat Indah menahan nafas.
"Saya sedang baca buku. Dan tiba-tiba saja dia datang ber ... sama teman-temannya lalu mengam ... bil buku say ...a."
"Lalu kamu memukulnya begitu?"
Indah mengangguk, "Iya Bu. Saya tak tahan lagi."
"Baik. Kalau begitu, saya akan hubungi orang tua kamu."
Deg! Gawat. Batin Indah.