El Thariq kembali masuk ke mobil dengan membawa serta Rachel.
Pintu mobil ditutup dan kendaraan warna hitam itu mulai bergerak.
Gadis itu menjerit berusaha minta tolong, tetapi jeritan itu harus kalah dengan deru mobil di jalanan sore itu.
Dan lalu lalang manusia di jalan itu hanya memberikan perhatian sekejap karena dinetralkan oleh seseorang dari salah satu anak buah El Thariq.
"Berhenti!" teriak Rachel di dalam mobil sambil memukul dan menendang ke arah laki-laki yang ada di sampingnya.
Gerakan perlawanan Rachel seperti angin kosong menghadapi kekuatan El Thariq.
Gadis itu mulai berteriak dan menangis karena putus asa.
Laki-laki dengan tubuh tinggi tegap itu mulai mencekal kedua tangan gadis itu dan mengangkat tubuh gadis itu ke pangkuannya.
"Berhentilah, tubuhmu butuh istirahat," ucap El lembut.
Rachel menatap dengan kemarahan yang luar biasa, tetapi otaknya membenarkan ucapan laki-laki itu, tubuhnya memang butuh istirahat.
El terus menatap mata Rachel hingga mata cantik yang penuh air mata itu terpejam.
"Gadis paling mahal yang ada di muka bumi," gumam El begitu napas teratur gadis dalam pelukannya itu terdengar.
Mobil mewah warna hitam itu meluncur menuju kediaman laki-laki itu.
Waktu berjalan dan pagi pun datang.
Suhu hangat dalam kamar mewah itu membuat Rachel terbangun.
Sendi-sendi badannya terasa pegal-pegal seolah ada beberapa bagian yang terputus.
Pandangan matanya menatap setiap detil kamar mewah itu.
Gadis itu menyadari bahwa hari telah berganti, kelelahan berlari dari kejaran anak buah El Tariq membuat gadis itu terlelap dari awal malam hingga pagi.
"Ah!" keluhnya tertahan ketika pandangan matanya sampai pada sosok tinggi tegap yang ternyata berdiri di salah satu sudut kamar mewah ini.
"Nyenyak tidurmu?" ucap El sambil mendekat dan berdiri di depan ranjang mewah itu.
"Kenapa aku di sini?" seru Rachel dengan suara parau, kepalanya juga terasa berat bekas menangis kemarin.
"Karena mulai saat ini, kamar ini adalah kamarmu," jawab El dengan tenang.
"Kamu tentu lapar sekali," lanjut laki-laki itu sambil menoleh ke arah pintu.
Belum sempat Rachel membalas ucapan itu, dua orang pegawai masuk dengan mendorong meja susun dua yang di setiap kakinya memiliki roda.
Di atas meja itu terdapat makanan-makanan yang aromanya tercium ke seluruh ruangan.
"Makanlah!" ujar El lembut sambil menatap tajam. Kemudian, laki-laki ini berbalik dan berjalan keluar kamar.
Rachel melongo melihat kepergian El Thariq dan dua pegawai yang mendorong meja beroda itu.
"Selamat pagi, Nona Rachel, saya Jessy," ucap pegawai dengan seragam putih-putih. Pegawai ini masih muda dan tampak ceria.
"Saya Rose," sapa pegawai dengan rambut yang mulai memutih sambil tersenyum.
Rachel mengangguk segan dan mulai beranjak dari ranjang, lalu duduk di sebuah kursi tanpa sandaran warna putih dengan ukiran cantik pada tiap kakinya.
Kemudian, Rachel menyantap sarapan yang diletakkan di atas meja di depan kursi itu sambil memandang kikuk pada dua wanita itu.
"A-pa harus ditunggu?" ucap Rachel pelan, kedua pegawai ini mengangguk serentak.
"Oh!" sahut gadis itu kikuk, lalu menyuapkan makanan itu sambil sesekali menatap pada dua pegawai itu dengan tak nyaman.
"Ihh ... beruntung banget," celetuk Jessy dengan nada iri.
"Jessy!" tegur Rose sambil memberikan isyarat untuk diam, gadis muda itu justru menyebilkan bibir.
"Aku 'kan cuma berusaha jujur, coba siapa yang nggak mau jadi istri Sang El- Tha-riq," jawab Jessy sambil merentangkan tangan.
"Uhuk!" Rachel terbatuk.
Dengan cepat dua pegawai itu mendekat dan dengan cekatan Jessy mengangsurkan gelas bening berisi air putih. Sedangkan, tangan Rose mengusap-usap punggung Rachel sambil meminta maaf.
Rachel menatap kedua pegawai itu bergantian.
"Kenapa beruntung jadi istrinya?" tanya Rachel sambil menatap tak berkedip pada kedua pegawai itu.
Jessy seperti lupa di mana dia berada, tangannya menarik kursi tanpa sandaran yang lain dan mendekat ke arah Rachel.
"Uh! Saya heran, bagaimana berita tentang El tidak sampai di kuping Nona. Dia adalah pemilik perusahaan besar ... em apa disebutnya, korpo-kopr-korporasi, yah itu. Em kor-po-ra-si besar. Dan banyak lagi yang dimilikinya. Tempat ini, rumah yang megah ini, hanya salah satu dari miliknya. Selain itu, tentu saja juga ... ehem ... ehem El itu guanteng. Hidung tinggi dipadu mata elang, rambut hitam lurus yang saya yakin kalau dipegang pasti lembut. Em ... bekas luka di pipinya itu, em malah membuat kemachoannya El terpancar ke mana-mana," jelasnya setengah berbisik.
"Jessy!" tegur Rose sekali lagi.
Rose menegur sambil menepuk bahu Jessy.
Gadis itu justru melirik sebal ke arah wanita yang menegurnya.
"Kalau begitu, mengapa nggak Kamu aja yang menikah dengan laki-laki itu?" celetuk Rachel membuat dua orang itu saling pandang.
"Em ... Non ... kalau El mau, Jessy sih maauu banget. Eh! Bagaimana kalau Non mengusulkan biar saya jadi yang nomor ke berapa gitu?" balas Jessy semringah.
"Ah!" jerit Jessy ketika tiba-tiba Rose memukul kepala pegawai muda itu dengan telapak tangan.
"Ye ... siapa tahu 'kan? Namanya juga usaha," seru Jessy sambil bersungut-sungut.
Pemandangan itu sedikit menghibur hati Rachel hingga membuat Rachel tersenyum sendiri.
Rose, pegawai wanita yang lebih tua itu menatap Rachel dengan lembut.
"Non Rachel sebaiknya segera mandi," saran Rose setelah melihat gadis itu menyelesaikan sarapan.
"Emang mandi harus disuruh?" batin Rachel heran, tetapi tak urung kakinya bergerak menuju kamar mandi yang ditunjuk oleh kedua pegawai itu.
Beberapa menit kemudian Rachel menyelesaikan kegiatan membersihkan dirinya.
"Sudah siap?" ujar seorang wanita cantik dengan sanggul modern indah begitu Rachel keluar dari kamar mandi.
"Ya?" sahut Rachel bingung sambil celingukan, matanya mencari kedua pegawai yang tadi menemani sarapan.
"Saya?" ucap Rachel sambil menunjuk diri sendiri.
"Tentu saja, siapa lagi calon istri El di sini," balas wanita cantik itu.
"Duduklah! Kita akan mulai pemeriksaan?" lanjut wanita cantik itu sambil menujuk ke arah tas yang dibawanya.
"Pemeriksaan?" ucap Rachel bingung.
"Aku dokter Dre, dokter pribadi keluarga ini," balas wanita cantik ini sambil tersenyum.
"Jangan takut," ucapnya lembut sambil meminta Rachel duduk.
Dokter wanita yang seumuran dengan El Thariq itu memulai pemeriksaan general.
Dengan ragu dan kikuk gadis itu menjalani pemeriksaan demi pemeriksaan yang dilakukan dokter itu.
"Dok, pemeriksaan ini untuk apa?" tanya Rachel sambil merapikan kimono handuknya.
"Untuk mengecek kesehatan saja, kudengar kemarin Kamu baru mengikuti lari marathon," candanya sambil tersenyum.
Rachel tak menjawab dan hanya memandang wajah dokter itu dengan ekspresi wajah datar.
"Sorry aku harus tanya ini, sebelum mengecek area kewanitaan, dan ini pertanyaan titipan," ujarnya sambil mengerling.
"Apa Kamu pernah 'begitu'?" ucapnya sambil memberikan isyarat.
"Tentu saja belum, saya 'kan belum menikah," jawab Rachel lugu.
"Hem bagus, dengan begitu, berkurang orang yang harus diselidiki," ucapnya sambil mengedikkan bahu.
"Ya?" sahut Rachel tak mengerti.
Tapi, ketidakmengertian Rachel tak mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari dokter muda itu.
Suara ketukan di pintu memutus pembicaraan.
"Ya, sudah selesai!" serunya ke arah pintu.
"Kamu akan tahu nanti," lanjutnya sambil membereskan alat-alatnya dan pergi dari kamar itu.
Dua orang pegawai yang tadi dicari gadis itu masuk dengan membawa satu stel baju berwarna putih.
Baju itu merupakan paduan rok selutut dengan baju berlengan panjang yang kancingnya berwarna emas cantik.
Baju itu digantungkan di gawangan baju dari bahan stainless steel.
"Silahkan dipakai, Non Rachel," ucap Rose.
"Memang aku mau ke mana?" tanya Rachel sambil mengamati baju itu.
"Lo 'kan hari ini Nona akan menikah," jawab Jessy lugu.
"Apa?!" teriak Rachel kencang.