"Hah!"
Rachel menjerit ketika melihat dua buah mobil van warna hitam berhenti tepat di depannya saat kakinya baru saja keluar dari gerbang rumah Alex.
Gadis itu dengan cepat berbelok dan memacu larinya dengan kecepatan penuh.
Pengetahuannya tentang daerah itu membuat gadis itu dengan mudah kembali lolos dari kejaran orang-orang suruhan El Thariq.
Beruntung ketika melalui sebuah halte pemberhentian, sebuah bus kota berhenti untuk menurunkan penumpang.
Gadis itu bergegas membaur ke gerombolan orang yang akan naik ke bus itu.
"Ah!" desah gadis itu lelah.
Gadis itu mengambil tempat duduk paling belakang. Kakinya langsung diluruskan untuk mengurangi kelelahan.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam gadis itu sambil meletakkan kepala pada sandaran kursi.
Tangan gadis itu membuka tas selempang yang sejak tadi ikut terayun-ayun ketika berlari. Ia menarik resleting tas dan mengambil telepon genggam.
"Ah ...! baterai ini pun ikut-ikutan menyebalkan," ucap gadis itu dalam hati.
Di pojok kanan atas layar telepon genggam, sebuah gambar baterai menunjukkan kebutuhannya untuk segera dicas.
Gadis itu mengabaikan tuntutan telepon genggamnya dan jari-jarinya dengan lincah menari di atas layar menyala itu.
"Lex!" seru Rachel ketika telepon itu tersambung.
Gadis itu sangat berharap bisa meminta penjelasan pada pertanyaannya yang belum sempat dijawab tadi.
Ia ingin meminta klarifikasi pada ekspresi wajah yang Alex tunjukkan tadi.
Dan keberadaan Mia di sana, membuat gadis itu yakin harus meluruskan kesalahpahaman yang mungkin terjadi.
Beberapa detik kemudian, layar menunjukkan sambungan telepon telah diangkat oleh pemiliknya.
Tapi, laki-laki yang berada di ujung telepon yang lain itu diam tak menyahut.
"Lex! Ayolah!" seru Rachel geram.
Beberapa penumpang yang ada di sekitar tempat duduknya itu menoleh mendengar seruan gadis itu.
"Padahal baru beberapa menit yang lalu kita berpisah dengan mengucapkan kata-kata indah. Tak kusangka, Kamu lebih memilih yang baru datang itu. Aku sudah curiga ketika melihat deretan mobil mewah itu di depan rumah Om Ronnie," cerocos Alex tanpa bisa dihentikan dari ujung saluran telepon itu.
Rachel terkejut.
"Lex ..., apapun yang sudah Kamu dengar dari Mia, itu tak benar, ayolah! Kamu mengenalku dengan baik," sanggah Rachel lelah.
"Aku memang nggak se-luar biasa orang itu, Ra. Tapi, aku mencintaimu dengan tulus," lanjut laki-laki itu tanpa menghiraukan sanggahan gadis itu.
"Apa yang dikatakan Mia? Bagaimana secepat itu laki-laki yang sudah mengenalku bertahun-tahun itu begitu mudah dicuci otak?" batin Rachel tak rela.
Rachel terdiam, bingung tak tahu harus berkata apa.
Setelah Nanny yang selama ini selalu mendukungnya berubah sikap, kini, Alex, orang terkasihnya, seolah telah dicuci otak dalam waktu singkat.
Semangatnya mengendur dan ia mulai masuk dalam zona keputusasaan.
Matanya merebak.
"Kenapa? Kenapa diam, Ra?" seru laki-laki itu kesal.
"Karena sepertinya apa saja yang akan kukatakan Kamu nggak akan percaya," jawab Rachel pelan.
Sebutir air mata mulai jatuh dari sudut matanya.
"Ra-"
Kata itu terputus dan layar telepon genggam itu mengucapkan selamat tinggal sebelum Alex selesai bicara.
Rachel merasa otot-otot di tubuhnya lima puluh persen dipindahkan ke tempat lain secara serentak.
Lelah, lemas dan tak berdaya.
Mata Rachel terpejam dan benaknya memutar ulang kejadian indah beberapa saat lalu sebelum ia masuk ke dalam rumah Om Ronnie dan menjumpai El Thariq dan anak-anak buahnya ada di sana.
"Tempat ini yang paling kubenci tahu?" ucap Alex sambil menyenggol bahu Rachel.
"Kok gitu? Ini 'kan rumah pamanku, tempat aku tinggal selama bertahun-tahun," rajuk Rachel tak terima.
"Bukan rumah itu, tapi gerbang ini," balas Alex sampil berpindah ke depan gadis itu hingga kini mereka berdua berdiri berhadap-hadapan.
"Kenapa memang?" tanya Rachel heran.
"Karena jika gerbang ini tertutup, bayanganmu tak lagi jatuh di retina mataku," jawab Alex sambil tersenyum.
"Duh ...! Manis banget nggombalnya. Kalau mau dua puluh empat jam ketemu, nanti setelah kita menikah, aku pastikan bayanganku akan rebahan di sana," balas Rachel sambil menunjuk mata Alex.
"Jlebb!"
"Jago banget balesnya, balas digombalin nih! " sahut Alex sambil membuat gerakan terkena tusukan di dadanya.
Rachel menyengirkan hidung dengan manja.
Seorang laki-laki mengenakan stelan jas warna hitam lengkap dengan dasi dalam warna yang sama membukakan gerbang.
Alex memandang Rachel dengan tatapan penuh tanya setelah sekilas memandang laki-laki berstelan jas itu, tapi gadis itu mengedikan bahu.
"Bye!" ucap Rachel setelah pintu gerbang ditutup.
"Jangan lupa besok!" ujar Alex sambil menggoyangkan jari-jari mereka yang masih tertaut melalui celah-celah pagar besi.
"Tentu, nggak mungkin aku lupa, besok 'kan hari istimewa kita," seru Rachel riang.
"Nggak kerasa ya, sudah dua tahun kita bareng," lanjut gadis itu sambil menatap mata Alex.
"Kerasa tahu," balas Alex sambil mengerling, keduanya tertawa bahagia, bahu sepasang kekasih itu berguncang-guncang.
"Eh, mobil-mobil siapa itu, Ra?" celetuk Alex sambil mengarahkan pandangan ke belakang gadis itu.
"Nggak tahu, paling tamunya Om Ronnie," jawab gadis itu.
"Kenapa memang?" sahut gadis itu sambil menoleh ke arah mobil itu, kemudian kembali menatap wajah Alex yang ganteng.
"Keren, keluaran terbaru, mahal dan spesifi-"
Ucapan Alex terputus.
Asisten rumah tangga di rumah Om Ronnie berteriak memanggil Rachel.
"Sorry ... gangguan datang," ucap Rachel sambil tersenyum.
"Duh ... inilah saat-saat yang membencikan itu," sahut Alex sambil melepaskan jari-jarinya yang masih saling terkait melalui celah gerbang.
Keduanya akhirnya berpisah dengan perasaan berat, tatapan menjadi isyarat betapa enggan mereka berpisah.
"Non Rachel disuruh cepat, sudah ditunggu!" ulang asisten rumah tangga itu.
Dan itulah akhir dari langit berwarna biru dalam hidup Rachel.
Awan gelap kemudian menggeser kebiruan langit dan memunculkan satu badai petir besar yang memporak-porandakan hidup indah gadis itu.
Air mata bening tak bisa ditahan meluncur melalui sudut mata.
Suara kondektur yang menyebutkan satu tempat tujuan membuat gadis itu menegakkan punggung dan bersiap-siap turun seperti beberapa penumpang lain.
Keringat yang membasahi celana panjang dan kemeja Rachel mengering karena angin AC bus, untung sebelum pergi parfum lembut telah disemprotkan hingga mampu menetralisir bau yang muncul.
"Tinggal segini pula penghuni dompet," ucap Rachel begitu turun dari bus dan membuka dompet.
Sisa uangnya tak menyurutkan gadis itu untuk mencari toko yang menyediakan minuman dan mungkin bisa minta tolong mengecas handphone.
Rachel duduk di depan sebuah toko dan menghabiskan satu botol air mineral dan sebungkus roti.
Baterai telepon genggam yang telah terisi lima puluh persen karena pertolongan pemilik toko kembali menyala.
Otaknya berputar mencari tempat yang bisa disinggahi, apalagi matahari mulai bergeser ke barat.
"Hah!"
Rachel berteriak tiba-tiba ketika matanya sekilas melihat orang-orang berjas hitam itu datang mendekat.
Gadis itu kembali berlari kencang ke arah jalan raya.
Beberapa orang sempat tak sengaja tertabrak karena panik.
Gadis itu berlari mencari tempat yang ramai orang agar sulit dideteksi.
Namun, tenaga yang terus dipakai sejak tadi mulai menunjukkan alarm tanda harus istirahat.
Kesedihan yang turut mengambil alih kendali hati mulai menyulut keputusasaan.
"Ah!"
Rachel berteriak kencang ketika tiba-tiba sebuah mobil membuka pintu dan seorang laki-laki yang keluar dari mobil itu menangkapnya saat dia hampir saja mencapai jalan raya.
"Agh!" seru gadis itu sambil meronta ketika mengetahui siapa laki-laki yang kini memeluknya dengan erat.
Para pengejar mendekat.
"Siap, El!" seru para pengejar kompak ketika laki-laki itu memberi isyarat untuk segera pergi dari keramaian itu.