Dengan postur tubuh yang proporsional, Rachel tak kesulitan berlari dengan cepat. Ditambah lagi, gadis itu besar di daerah itu, jadi paham dengan jalan-jalan pintas yang dapat digunakan untuk meloloskan diri dari pengejaran.
"Ba-bagaimana ini bisa terjadi?" gumam Rachel sambil ngos-ngosan ketika bersembunyi di satu cekungan rumah penduduk yang berada di sekitar rumah pamannya.
Tiga puluh menit kemudian, tampak tak ada tanda-tanda kehadiran para pengejar di dekat cekungan tersembunyi itu.
"Apa mereka sudah kehilangan jejakku?" gumam gadis itu sambil mengintip ke jalan.
"Pfuh ...!" gadis itu mengembuskan napas lega.
Dengan mempercepat langkah kaki, gadis itu bergegas menuju satu rumah yang berada tak jauh dari rumah Om Ronnie.
Ia merasa tak sabar untuk meluahkan kemarahan yang menggelegak di dada pada teman dekatnya itu.
Selang beberapa menit, gadis itu sudah berdiri di depan rumah yang dituju.
"Kok sepi?" gumam Rachel sambil menekan bel yang ada di dekat pagar.
"Nanny!" seru gadis itu kencang.
Kemudian, tangannya mencoba membuka gerbang dari luar pintu pagar. Tetapi, ternyata, pintu pagar dari besi itu terkunci.
"Tante!" seru gadis itu memanggil ibu sahabatnya yang telah mengenalnya sejak lama.
Sayang sekali, panggilan itu seolah menguap di udara, tak bersambut.
Tak putus asa, gadis itu mengitari rumah itu dan melompat pagar pendek di bagian belakang rumah setelah sebelumnya memanjat dengan cekatan.
Dengan lincah, gadis ini menaiki cabang pohon yang seolah telah disediakan untuk dipanjat yang tumbuh tepat di belakang rumah itu.
Tanpa kesulitan yang berarti, kaki gadis ini melompat dan menapak di lantai balkon lantai dua.
"Nanny!" serunya ketika melihat bayangan orang yang dicarinya ada di dalam kamar tidurnya.
"Hah!" seru Rachel ternganga.
Nanny yang biasanya menyambut dengan riang, kini terlihat berusaha bersembunyi dengan berjongkok di balik tempat tidur.
"Ngapain sih? Jangan bercanda! Aku sudah melihatmu!" seru Rachel sambil menunjuk slot kunci jendela, lalu mengucapkan kata buka.
Sahabat perempuannya yang semula hanya berjongkok, akhirnya dengan langkah berat membuka jendela kamarnya.
"Air!" pinta Rachel begitu masuk ke ruangan itu.
Dengan cepat Nanny memberikan air putih yang memang selalu tersedia di dalam kamar itu.
"Ra!" seru Nanny dengan ekspresi wajah yang aneh.
"Bentar, aku mau cerita," sahut Rachel sambil mengangkat satu telapak tangan.
Kemudian, dengan buru-buru, Rachel menenggak isi gelas hingga tetes terakhir.
"Enggak! Aku dulu!" balas Nanny dengan nada panik.
"Eh! Kenapa?" balas Rachel sambil meletakkan gelas dengan sembarangan.
"Dengar! Bukan! Bukan maksudku em ... apa? Em ... begini," cerocos Nanny dengan gugup.
Teman dekat Rachel itu malah terlihat bingung sendiri.
Rachel menatapnya dengan pandangan tak mengerti.
"Begini," ulang Nanny setelah menghela napas panjang.
"Ra, jangan ke sini dulu! mengerti?" ucap Nanny dengan cepat.
"Ya?!" sahut Rachel terbelalak.
Nanny kembali menghela napas panjang ketika melihat ekspresi kebingungan beradu dengan keterkejutan di wajah Rachel.
"Bukan maksudku untuk ... em tapi, tolong pergilah!" lanjut Nanny sambil berjalan ke arah jendela.
"Nan-"
Mulut Rachel tak mampu melanjutkan kata-katanya.
"Ada apa sebenarnya?" ucap Rachel setelah diam sejenak.
"Dengar ya, beberapa saat lalu, Tantemu datang dan memperingatkan untuk tidak menerimamu jika Kamu ke sini, sudah itu saja yang perlu Kamu tahu, oke. Sekarang, please ... pergilah!" balas Nanny dengan wajah panik.
"Hah!"
Nanny terlonjak ketika tiba-tiba mendengar suara pintu diketuk dengan keras, begitu pun Rachel turut terkejut mendengar ketukan yang suaranya lebih mirip dengan gedoran kurang ajar itu.
"Nanny, sudah mama bilang, kan?!"
Suara Mama Nanny terdengar keras.
"I-iya, Ma!" teriak Nanny panik.
"Cepat, Ra!" seru Nanny tanpa suara.
Gadis itu menjejak-jejakkan kaki dengan panik.
"Apa yang terjadi?" sahut Rachel cepat.
"Keberadaanmu di sini membahayakan keluarga ini," jelasnya singkat.
Rachel ternganga.
"Kenapa?" tanya Rachel tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Buka pintu!"
Suara laki-laki mendadak terdengar dan ... itu bukan suara Papa Nanny.
Mata Nanny terbelalak.
"Cepat!" serunya panik.
Rachel terpaksa melompat keluar jendela dengan mata berkaca-kaca.
"Nan, tolong! Aku harus ke mana?" ucap Rachel setengah putus asa.
"Maaf, kali ini aku nggak bisa nolong. Coba cari teman kita yang lain!" balas Nanny, lalu menutup jendela dan menguncinya.
Hati Rachel remuk seiring bunyi jendela ditutup.
Dari semua teman, Nanny-lah yang paling dekat. Jika yang paling dekat saja seperti ini, bagaimana dengan yang lain.
Dengan sedikit gemetar, Rachel kembali menuruni pohon yang menjadi jalan untuk naik tadi.
Pandangan Rachel jatuh pada apa yang baru saja ia lewati ketika kakinya berdiri di luar pagar belakang rumah Nanny.
Bayangan ketika mereka berdua menjadikan pohon itu sebagai jalan keluar masuk menghindari pengawasan kedua orang tua Nanny di masa lalu itu menambah nyeri di hati.
"Hah!"
Mata Rachel terbelalak ketika jendela kamar itu mendadak terbuka.
Seorang laki-laki dengan stelan jas warna hitam lengkap dengan dasi dalam warna yang sama menunjuk ke arahnya sambil berteriak memberitahu yang lain.
"Ah! Kenapa mereka bisa berada di kamar Nanny?" gumam Rachel dengan panik.
Gadis itu seketika berlari dengan kecepatan tinggi menuju jalan raya.
"Pfuh!"
Akhirnya, Rachel mengembuskan napas panjang penuh kelegaan ketika berhasil mendapatkan sebuah bus.
Gadis itu segera mendaratkan punggungnya di deretan jok paling belakang.
"Apa nggak apa-apa jika aku ke sana?" bisiknya dalam hati saat bayangan satu rumah melintas dalam benak.
Otaknya tak bisa lagi mencerna apa yang mendadak terjadi dalam hidupnya, ia hanya ingin menemukan sebuah tempat untuk istirahat.
Apa yang terjadi barusan membuat mata Rachel tak dapat sejenak tidur seperti yang biasa ia lakukan ketika naik bus.
Lima belas menit kemudian bus berhenti di halte yang dituju.
Rachel menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap anak buah El Thariq tidak ada di tempat itu.
Tak butuh banyak langkah dari pemberhentian bus itu untuk menuju tempat yang ia cari.
Gadis itu sampai di sebuah rumah mungil tempat seseorang yang baru beberapa saat lalu mengantarkannya sampai di depan rumah Om Ronnie sebelum hal yang mengejutkan dirinya itu terjadi.
Rachel melangkah dengan pelan ke arah pintu rumah mungil itu.
"Apa itu benar?"
Mendadak suara seorang laki-laki yang sedang ia cari membuat ia menoleh, tangannya urung menekan bel.
"Lex!" seru Rachel dengan riang.
Mata gadis itu seperti menemukan tempat untuk berlabuh.
Tapi, langkah Rachel tertahan ketika hendak menghampiri laki-laki itu dan melihat raut wajah muram dan ... enggan.
"Apa benar yang kudengar itu?" tanya laki-laki itu dengan kesal.
"Apa?" jawab Rachel bingung, gadis itu mengucap dalam hati, "Apa lagi ini?"
Sebelum laki-laki itu menjawab pertanyaan Rachel, tiba-tiba, terdengar suara pintu rumah dibuka dari dalam.
Rachel menolehkan kepala.
"Hah!"
Gadis itu melihat anak Om Ronnie keluar dari rumah mungil milik Alex, ponsel silver menempel di telinganya.
"Iya Ma, benar 'kan apa yang Mia bilang, pasti keponakan papa ini bakal ke sini," ucap Mia dengan nada penuh kemenangan.
"Mia!" teriak Rachel geram.
"Sudah beberapa menit yang lalu orang-orang itu dikirim ke sini," ucap Mia sambil tersenyum tanpa mengindahkan teriakan sepupunya itu.
"Paling semenit lagi sudah sampai," lanjut Mia sambil mengedikkan bahu dan menatap dengan ekspresi wajah seolah baru saja memenangkan piala penghargaan event penting.
"Ah!" teriak Rachel kesal.
Gadis itu berlari meninggalkan rumah yang hendak dijadikan tempat istirahatnya itu.