"Aku tidak peduli pandangan orang tentang Kamu. Karena hanya aku yang mengerti kamu lebih baik dari yang lain."
*****
"Maaf, Ra." Kata itu sudah di ucapkan lebih dari sekali oleh Aksa yang sedang menunduk, Ia merasa bersalah.
Zahra tersenyum kecil.
"Udahlah, Sa. Aku gapapa."
"Lo sedih ya?"
Zahra mengangguk pelan. Ia tidak mau berbohong. Ia memang sedih, namun Aksa tidak salah disini. Justru Ia senang karena Aksa selalu perhatian padanya.
Anggukan itu juga membuat Aksa menghela nafas berat.
"Gue harus apa biar Lo gak sedih?"
Zahra berfikir sejenak. Ia membasahinya bibirnya yang kering, sementara Aksa masih dalam posisinya.
"Kabulin List aku, mau?"
"Lo punya list?" tanya Aksa langsung mengangkat kepala.
"Setiap orang punya keinginan, kan?"
"Kalo gitu apa listnya?"
"Aku gak bisa tunjukin itu sekarang, nanti aja," ucap Zahra dengan senyum penuh arti.
"Lo pasti sembuh, Ra." Aksa duduk di kursi samping brankar sambil menggenggam tangan halus itu erat.
Zahra hanya diam menatap tautan tangan mereka. Rasanya nyaman hingga Ia lupa jika ini adalah dosa.
Aksa yang tersadar seketika melepaskannya membuat Zahra menatap Cowok itu.
"Kamu benar, harusnya aku selalu nambah pahala, bukan dosa."
"Ra," tegur Aksa.
"Sebagian list aku udah terkabul, dan itu karena kamu." Aksa mengerti jika Zahra mengalihkan pembicaraan mereka berdua.
"Kalo gitu bilang aja kalo mau kabulin List itu."
"Makasih, Aksa. Kamu baik."
Aksa mendengus geli namun senyumnya terbit.
Memang benar, ya? Kita akan terlihat sempurna di depan orang yang tepat.
"Aku boleh gak minta sesuatu?"
"Boleh."
Zahra terdiam sejenak, nampak sulit untuk mengutarakannya. Ia takut Aksa tidak nyaman.
Aksa yang melihat Zahra diam saja seketika mengernyit.
"Minta aja, gue akan kabulin kok."
Zahra menghembuskan nafas.
"Kalo kamu ada masalah, usahain jangan lari ke hal negatif ya?"
"Terus gue harus gimana kalo ada masalah?" tanya Aksa dengan gamang.
"Kamu bisa cerita sama aku atau sahabat-sahabat kamu, jangan buat diri kamu sendiri dalam bahaya karena masalah kamu."
"Aksa?"
"Permintaan Lo cukup sulit," kata Aksa protes.
Zahra tersenyum lembut lalu mengelus anakan rambut Aksa yang menjuntai di dahi membuat sang empu tersentak kaget.
"Mereka khawatir, jangan pendam sendirian."
"Kamu mungkin merasa gengsi mau bilang hal itu, Aksa. Tapi percaya deh sama aku, dengan kamu cerita, semua akan sedikit lebih baik."
Aksa diam. Ia sedang berperang dengan Ego dan hatinya. Ia tahu jika ketertutupannya ini membuat para sahabatnya merasa jauh darinya, padahal Aksa hanya tidak ingin mereka terlibat dalam masalah hidupnya.
"Aksa?" panggil Zahra.
"Oke," ucap Aksa cepat. Ia menatap Zahra yang juga sedang menatapnya.
"Gue akan berusaha."
Senyum cantik Zahra perlahan terbit. Semoga Aksa bisa mengabulkan itu karena hal tersebut adalah salah satu keinginannya.
***
Sebuah motor sport terpakir rapih di parkiran area makam. Sang pengendara membuka helmnya lalu menyugar rambutnya sejenak.
"Den, ngelayat lagi?"
Aksa menoleh, seketika tersenyum tipis. "Iya, Pak. Keadaan makam mama gimana?"
"Baik, Den."
"Terimakasih, Pak."
Aksa turun dari motor, Ia memberikan amplop kepada Bapak penjaga makam itu.
"Buat ngopi."
"Alhamdulillah, makasih ya, den."
Aksa mengangguk. "Sama-sama.'
Laki-laki berparas rupawan dengan jaket kulit berwarna hitam itu menghela nafas sejenak sebelum melangkahkan kakinya ke area makam milik Mamanya.
Aksa rindu. Dan ini satu-satunya cara bisa bertemu.
Kaki jenjangnya telah sampai di pusara dengan nama Anggun Meyara Prameswari, Mamanya.
"Ma, Aksa kesini lagi," Mulai Aksa. Ia berjongkok dengan tatapan mata yang teduh.
"Tapi kali ini Aksa sendiri, Ma."
Aksa mendongak, menatap langit sore itu yang tidak terlalu mendung.
"Zahra, Mama kenal kan? Gadis itu sakit, Ma."
"Aksa gak mau nyalahin tuhan, Ma. Tapi kenapa Zahra yang harus sakit? Aksa sayang sama dia."
Hening.
Aksa tentu tak akan berharap jika Sang Mama mau menjawab semua keluh kesahnya. Namun hanya Dengan ini Ia merasa lega.
Aksa mengusap Pusara itu dengan lembut dan hati-hati. Seakan benda itu hidup.
"Kenapa setiap Aksa sayang sama orang, dia akan pergi? Aksa ada salah ya, ma?"
"Apa karena Aksa jahat, ma?"
Aksa menunduk, matanya berkaca-kaca. Jika orang yang mengenal dirinya tentu akan terkejut. Aksa menunjukkan sisi dirinya yang rapuh.
Bahwa sebenarnya, Ia tidak ingin di tinggalkan. Aksa takut sendirian dan kesepian.
Setiap kali Zahra putus asa, hatinya juga hancur. Zahra butuh di kuatkan, namun Aksa sendiri bukan sosok yang kuat perihal kehilangan.
"Sa."
Aksa langsung menoleh, sedikit terkejut melihat para sahabatnya yang tiba-tiba ada di sini.
"Kalian ngapain?" tanya Aksa dengan nada datar. Padahal wajah dan matanya memerah. Mereka tau jika Aksa sedang sedih.
"Yang jelas, kita gak mau ninggalin Lo sendiri lagi," ucap Rangga di angguki Bayu.
Devan menghela nafas. Ia maju mendekat pada Aksa lalu merangkul bahunya.
"Lo punya kita, Sa. Jangan pernah sungkan untuk berbagi."
"Iya, Sa. Satu senang yang lain senang. Satu sedih semua sedih," sambung Bayu tersenyum.
Aksa menatap langit dan tersenyum padanya.
"Tapi Tuhan masih baik karena udah kirim mereka buat gue." batin Aksa.
"Thanks, gue gak tau gimana kalo gak ada kalian," ucap Aksa tulus.
Rangga ikut mendekat lalu meremas pundak Aksa pelan, menyalurkan kekuatan.
"Kita ini sahabat, jangan lupakan itu."
"Hooh, Sa. Kalo kata orang bucin, Mah. Apa sih yang nggak buat Lo?"
Aksa terkekeh pelan. Zahra benar, Tidak seharusnya ia selalu menutup diri di saat para sahabatnya akan selalu ada untuknya.
***
"Abis darimana aja kamu? Jam segini baru pulang."
Aksa pura-pura tak mendengar ataupun melihat sosok laki-laki dewasa dengan wajah hampir mirip Dengannya itu. Ia memilih menaiki tangga dengan cepat.
"Aksa! Sopan kamu begitu?!"
Aksa menghentikan langkahnya, lalu menoleh.
"Maaf, Ayah saya tidak pernah mengajarkan sopan santun."
Prangg!!
Aksa memejamkan matanya. Lagi. Sepertinya Laki-laki itu sedang dalam mood yang tidak baik.
"Coba ngomong sekali lagi!" bentak Lion mendekati Aksa dengan mata berkobar penuh amarah.
"Anda tidak mendengar? Papa saya tidak pernah mengajarkan sopan santun, kecuali cacian dan kekerasan untuk menjadi sempurna."
Plak!
"Kamu mau kekerasan, kan?"
Plak!
Plak!
Kepala Aksa tertoleh ke kanan. Pipinya merah bahkan Sudut bibirnya robek namun Ia malah terkekeh.
"Terus tampar Aksa, Pa. Tampar!"
Bugh!
Kali ini perut menjadi sasaran kedua dari amarah Lion.
"Anak brengsek, gatau diri! Papa nyesel besarin kamu!"
Bugh!
Bugh!
"Udah, pa?" tanya Aksa karena Lion berhenti begitu saja.
Aksa menatap mata hitam itu Dengan dingin.
"Papa nyesel kan besarin Aksa? Kalo gitu kenapa Papa gak bunuh Aksa?"
Lion terdiam dengan Nafas terengah. Ia habis Mabuk parah dan seperti biasa, Aksa yang akan menjadi sasaran empuknya.
"Asal papa tau, hidup dalam bayang-bayang bersalah lebih kejam dari mati bunuh diri sekalipun."
Aksa terkekeh miris.
"Aksa lebih baik mati di banding hidup seperti ini, pa."