Seorang gadis cantik terlihat memelankan langkahnya saat netra indahnya melihat kehadiran seseorang bersama dengan teman-temannya.
"Kaya di restuin aja Lo sama si Devan," ucap Yoga menatap Xavier mengejek namun yang diejek hanya terdiam acuh.
"Lo beneran suka sama Zeva?" pertanyaan kali ini terlontar dari bibir si kulkas. Zean.
Xavier menoleh pada Zean."Bacot, kalaupun enggak bukan masalah buat Lo, kan?"
Zeva yang mendengar itu seketika menundukkan wajahnya dengan raut sendu. Jadi Xavier Tidak benar-benar menyukainya?
Zean mengangkat bahu acuh, lalu tatapannya tidak sengaja menatap seseorang, membuatnya tersenyum miring.
"Zeva noh," ucap Zean lalu memainkan ponsel. Sementara Xavier segera menoleh untuk memastikan.
"Zeva!" Xavier berlari cepat mencegah gadis itu pergi. Setelah mendapatkannya, Ia mencekal lengan Zeva, tidak kuat namun mampu membuat Zeva tidak bisa pergi.
"Ngapain kak Xavier disini?" tanya Zeva dengan nada malas membuat Xavier mengerutkan kening.
Bukan. Bukan karena sikap dingin Zeva, namun nada suaranya yang terdengar seperti orang habis menangis.
"Lo kenapa?" tanya Xavier memberanikan diri memegang dagu gadis itu dan mendongakkan wajahnya.
"Siapa yang nampar Lo?!" tanya Xavier marah melihat pipi gadis itu memerah bahkan sedikit membiru, dan setelah di liat lagi, kondisi Zeva memang jauh dari kata baik. Gadis itu seperti baru saja terkena tindak kekerasan.
Ditanyai seperti malah membuat air mata Zeva yang sudah di pelupuk menjadi jatuh membasahi pipinya.
"Hei, jangan nangis," ucap Xavier menarik Zeva ke dalam dekapannya.
"Bilang sama gue, siapa yang nyakitin Lo, jangan nangis."
Zeva terisak. Ia ingat dengan perbuatan beberapa siswa yang melakukan bullying terhadapnya.
Namun, jauh dari itu, Zeva sangat sedih karena mendengar Xavier yang tidak benar-benar menyayanginya.
"Menjauh, Kak. Zeva gak mau dipeluk sama cowok yang pura-pura sayang sama Zeva."
Xavier mengernyit lalu segera melepas pelukannya, menatap tajam Zeva yang masih menangis dan tak mau menatapnya.
"Kata siapa gue pura-pura sayang sama Lo?"
Zeva diam.
Xavier menghela nafas."Zeva, apa gue harus potong Nadi gue buat bukti kalo gue bener-bener cinta sama Lo?"
Zeva seketika menatap Xavier dengan wajah marah.
"Jangan gitu!"
"Ya terus?" kekeh Xavier kembali memeluk Zeva untuk menenangkannya.
Zeva sendiri mulai membalas pelukan Xavier dengan cara melingkarkan tangannya di pinggang laki-laki tinggi itu. Sejenak, memejamkan mata saat Xavier mengecup rambutnya.
"Cuma Lo, Va. Cuma Lo yang buat gue gila," ucap Xavier menghirup harum lembut beraroma buah milik Zeva.
Persetan dengan Devan, Ia akan memastikan Zeva menjadi miliknya.
Sementara mereka Yang asyik mengumbar kemesraan. Para anggota Xavier mengumpat pelan, berbeda dengan Zean yang tersenyum sangat tipis.
"Gue harap Lo gak akan nyakitin Zeva, Xav." Batin Zean.
***
"Dari banyaknya List, Lo beneran mau kita ngelakuin ini?" tanya Aksa dengan nada heran. Ia memang sudah tau apa saja List milik Zahra, namun menyangkut list yang akan dia lakukan sekarang, Aksa merasa sedikit aneh.
"Emang kenapa, kamu gak bisa ya?"
Aksa melebarkan matanya, namun kembali datar lagi, Ia terlihat tersindir. "Kata siapa? Gue bisa dapetin hiu malah."
"Tapi di sungai gak ada hiu, Aksa," kata Zahra gemas.
List kali ini adalah memancing bersama Aksa, dan Zahra tak sabar menantikan hasil tangkapan mereka.
"Buaya kalo perlu."
Zahra terkekeh, merasa lucu dengan wajah Aksa yang cemberut.
Aksa menatap gadis itu, seketika terpana melihat senyumnya.
"Aku dulu suka mancing sama Abba. Tapi sekarang udah gak bisa lagi, ya kamu taulah penyebabnya."
Senyum lebar gadis itu surut menjadi senyum tipis yang terkesan sendu. Memiliki penyakit akut memang tidak pernah enak, namun Zahra bersyukur masih bisa bernafas hingga sekarang.
"Jangan sedih, nanti gue gak jadi mancing," ucap Aksa Berdehem pelan.
Zahra menatapnya."Aku ada hadiah kalo kamu bisa dapet 1 ikan."
"1 aja? Lo kayaknya ngeremehin gue."
Zahra tersenyum."Oke, kamu bisa minta apa aja setelah dapet banyak."
Aksa ikut tersenyum lalu mengusap kepala gadis itu sayang.
"Deal."
Zahra memberi aba-aba lalu Aksa melempar kail pancingannya.
"Semangat, Aksa!"
Aksa mengangguk.
Satu menit.
Dua menit.
Hingga 15 menit.
Kail itu belum juga bergerak membuat Zahra mulai lelah menyemangati Aksa.
"Diem aja kalo capek," ucap Aksa membuat Zahra menurut.
"Lama banget ya," ucap Zahra setelah mereka menunggu setengah jam.
"Mungkin ikannya udah abis," kata Aksa mulai putus asa.
"Aish, gak boleh gitu! Ayo semangat!"
Zahra mengambil ponselnya lalu memotret langit membuat Aksa meliriknya.
"Udah aja ya, Ra?"
"Kamu cepet nyerah," keluh Zahra.
Aksa menghela nafas. Mengumpati sungai ini dalam hati.
"Oke setengah jam lagi."
Setelah waktu berjalan 5 menit, kail itu mulai bergerak membuat Aksa sedikit tersentak.
"Kayaknya ada ikannya," gumam Aksa.
"Aksa! Ayo tarik!!"
Aksa segera melakukan apa yang Zahra katakan, menarik Kail pancing dengan tenaganya.
"Yeay dapet!" Zahra bertepuk tangan melihat ikan berukuran sedang di dalam tangan Aksa.
"Kok kecil banget?" protes Aksa tak terima. Setelah berlama-lama menunggu dan ini hasilnya?
"Kamu harus bersyukur, Aksa."
Aksa Berdehem malas dan mulai memancing lagi, sementara Zahra terlihat tersenyum menatapnya.
"Jangan liatin Terus," tegur Aksa.
"Iya-iya."
Selang beberapa menit, kail pancing Aksa kembali bergerak-gerak. Dengan sigap Aksa segera menariknya. Cowok itu tersenyum simpul saat melihat ikan tangkapannya lebih besar dari yang tadi.
"Kamu jago ternyata," ucap Zahra.
"Siap-siap wujudin wish Gue."
"Gak masalah, asal yang masuk akal."
Aksa terkekeh.
Kegiatan mereka telah selesai, dan Aksa mendapat lima ekor ikan yang sudah masuk ke dalam ember.
Cowok itu menatap Zahra menuntut membuat Gadis itu menepuk dahinya.
"Ya Allah, kamu gak sabaran banget."
Zahra mengeluarkan sesuatu dari saku roknya lalu memperlihatkan sebuah kalung.
Sebuah kalung perak bermotif rantai kecil. Indah.
Namun bandul yang ada di tengah-tengahnya membuat Aksa menatap Zahra dalam.
"Biar aku inget kalo tuhan kita beda," ucap Zahra terkekeh.
Yah, kalung itu berbandul salib.
Dan Aksa tau jika Zahra hanya berpura-pura merasa lucu.
"Terima dong, Aksa."
Aksa menghela nafas, lalu menerimanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga kalung ini.
"Kalo gitu, gue mau nagih janji permintaan gue."
Zahra mengangguk mempersilahkan.
Beberapa detik, hening. Aksa hanya terus menatap Zahra.
Dan tak lama, menarik tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya. Aksa menarik nafas dalam-dalam, mengingat wangi Zahra dengan baik ke dalam memori otaknya.
"Bilang sama Allah, biar gue yang tanggung dosa karena meluk Lo," bisik Aksa pelan.
Zahra meneteskan air matanya. Ucapan Aksa begitu tembus mengenai hatinya, begitu sakit mengingat takdir mereka.
Zahra hanya berharap, terlepas dari segala hal pahit yang Aksa rasakan, laki-laki itu akan mendapat kebahagiaannya.
Tidak apa-apa jika bukan dirinya. Karena Zahra sadar jika dirinya bukan Benar-benar tempat pulang Aksa.
Zahra tidak akan lama lagi hidup di dunia
*****