*****
"Kamu bener mau ngajak aku?"
Aksa mengangguk dengan senyum kecil. Ia berniat mengajak Zahra ke acara berbagi yang dilakukannya. Rencananya Ia akan berbagi makanan ke tempat-tempat terpencil. Intinya pada orang-orang yang membutuhkan.
"Mau gak? Kalo gamau juga gapapa."
Zahra mengangguk, ia berusaha terlihat biasa saja padahal kondisi tubuhnya terasa tak enak. Ini efek dari penyakitnya.
Aksa mengangkat satu alisnya. Tangan besarnya terulur untuk mengecek dahi Zahra.
"Ada yang sakit?" tanya Aksa peka.
"Kepala aku agak pusing," jujur Zahra yang langsung membuat Aksa panik.
"Mau ke rumah sakit?"
"Nanti juga sakitnya hilang." Zahra mencoba tersenyum. Ia tidak berbohong jika pusing. Tapi jauh dari itu, Zahra merasakan tubuhnya melemah dan Jantungnya berdegup sangat kencang. Bukan karena Kehadiran Aksa, tapi sesuatu serius lain.
"Aksa, Aku boleh gak nyender di dada kamu?"
Aksa sedikit tersentak mendengarnya. Ia harus menguasai diri. Cowok tampan dengan Kaus hitam itu mengangguk pelan lalu meraih kepala Zahra untuk bersandar di dadanya.
Posisi Mereka saat ini ada di basecamp milik Aksa. Tempat itu sepi karena yang lain sudah pulang. Tidak untuk beberapa menit lagi karena yang lain akan datang untuk membahas agenda besok.
"Makin hari, aku makin gak bisa jauh dari kamu. Aku takut, Aksa." Zahra memegang jemari Aksa lalu mengusapnya.
Ia benar-benar khawatir akan hal itu. Setiap detik, hatinya selalu tidak tenang.
"Jangan ngomongin hal itu," ucap Aksa menggenggam balik telapak tangan Zahra. Ia menatap mata indah itu teduh sekali.
"Mending Lo kasih tau apa cita-cita Lo, Ra."
"Kalo kamu?"
Aksa terkekeh lalu menepuk gemas kepala dibalut hijab itu."Dahuluin orang yang nanya dulu."
Zahra tersenyum, Ia menatap langit-langit ruangan. Lebih tepatnya lampu yang bersinar terang di sana.
"Aku mau buka galeri."
Aksa seketika menoleh dan mengukir senyum lembut."Pasti bisa." Ia tau jika Zahra jago menggambar. Ia juga sempat ditunjukkan beberapa lukisan nyatanya.
Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Aksa sangat mengakui itu.
"Lukisan pertama yang mau Lo perlihatkan apa?"
"Eumm... Seseorang yang berharga di hidup aku."
Aksa mengangkat alis."Pasti keluarga Lo?"
Zahra hanya membalasnya dengan senyum manis.
"Kapan-kapan, mau gak kita ngelukis bareng?"
Raut wajah Aksa berubah masam. Ia paling tidak berbakat dalam bidang itu.
"Lo mau ngeledek gue?"
Zahra menggeleng polos. Ia hanya mengajak, kan? Mengapa Aksa tersinggung.
Aksa menghela nafas. Ia mengusap kepala Zahra gemas.
"Oke, tapi nanti ajarin gue. Dan jangan kaget sama hasilnya."
Zahra mengerutkan kening. Ingin bertanya lagi namun Aksa keburu mengangkat telepon.
***
"Zeva, pulang sekarang!" titah Devan menatap dingin kedua insan yang ditemuinya di Mall.
"Zeva masih mau temenin Xavier, Abang."
Orang yang disebut Zeva itu menghela nafas berat. Mengapa juga Ia harus bertemu Devan disini? Beberapa menit lalu, Ia dan Zeva merasa enjoy saja, tapi karena Devan semua menjadi rumit.
Devan sialan! Batin Xavier.
"Pulang."
Zeva menggeleng. Ia tidak suka dengan sifat Devan yang mengekang begini. Lebih baik dulu saat hubungannya tidak baik. Devan mengacuhkannya.
"Gausah maksa, bisa? Lagian gue gak culik Zeva, gue ajak dia main biar gak boring."
"Gue gak ngomong sama Lo, bangsat!"
"Abang kok kasar?" protes Zeva membuat Devan mengusap wajahnya kasar.
Dengan gerak cepat, Ia menarik lengan Zeva.
"Kita pulang sekarang!"
Xavier tentu tak diam begitu saja membiarkan Devan kembali melarangnya.
"Jangan kasar!" sentak Xavier menyentak kasar tangan Devan yang memegang erat lengan Zeva hingga membuat Gadis itu meringis kesakitan.
Zeva segera menghampiri Xavier dan berlindung di samping lengannya. Ia menatap takut sang Abang yang terlihat marah.
"Masalah Lo sama gue, jangan bawa-bawa Zeva!" ucap Devan. Cowok yang biasa bersikap tenang itu sekarang terlihat emosi mengahadapi rival gengnya.
"Gue gak pernah bawa dia!"
Devan meraih kerah baju Xavier, menatapnya tajam. Jika bisa, Devan ingin menonjok wajah Xavier sekarang juga.
"Gue beneran suka sama Zeva, gak main-main," ujar Xavier seakan tau isi pikiran Devan.
"Gue gak percaya sama Lo, anjing!"
"Abang udah, malu!" tegur Zeva saat melihat banyak orang menatap mereka.
Tatapan mata Devan beralih pada sang adik yang terlihat tak nyaman.
"Pulang sekarang, atau Lo gak gue bolehin keluar lagi?" ancam Devan membuat Zeva menatap Xavier dengan tatapan bersalah.
"Maaf, Kak," cicit Zeva. Xavier menggeleng sambil menepuk puncak kepala Zeva lembut membuat Devan segera menepis tangannya.
Xavier tersenyum kecut."Gapapa. Gue bakal minta restu dari Abang Lo."
"Jangan harap!" ucap Devan lalu segera menarik Zeva pergi dari sana, meninggalkan Xavier yang berdecak.
"Gini Ama salah paham."
***
"Sekali lagi terimakasih, kalian memang anak yang baik," ucap seorang ibu-ibu yang menjadi perwakilan dari orang yang dibantu Aksa dkk.
"Kembali kasih, Bu. Bantuan Kita sebenarnya gak seberapa, tapi semoga bermanfaat."
Ibu itu tersenyum."Semua yang diberikan secara tulus akan sangat berharga, nak. Semoga kalian sukses dan sehat selalu."
"Ah iya, Bu. Aamiin." Rangga menjawab dengan menggaruk rambutnya salah tingkah.
Aksa menggeleng pelan lalu membalas ucapan Ibu itu.
"Kalian boleh ke basecamp duluan," kata Aksa yang di sambut siulan menggoda dari yang lain.
"Mau jengukin ayang Zahra ya, bos?" goda Bayu.
"Bacot."
Aksa pergi lebih dulu, meninggalkan teman-temannya yang bersorak menggoda.
Ia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Ia menikmati udara malam hari ini. Hatinya terasa damai karena selesai berbagi.
Dan, Zahra memang tidak jadi ikut karena ibunya menelpon. Oleh karena itu Aksa memutuskan mengunjungi Zahra lebih dulu. Ia juga ingin memastikan jika gadis itu baik-baik saja.
Setelah pagar hitam itu terlihat, Ia mengehentikan motornya Tidak jauh dari sana lalu memencet bel rumah.
"Pas Banget masa," kata Seseorang yang membukakan gerbang membuat Aksa mengernyit. Ia tak mengenal orang ini. Tapi wajahnya agak mirip dengan Zahra.
"Kenalin, Azizah. Kakak Zahra."
Aksa mengangguk. Ia hendak Menyalimi perempuan cantik itu tapi Azizah hanya menyatukan kedua telapak tangan sambil tersenyum sopan.
"Oh, iya," gumam Aksa.
Azizah menggeleng pelan."Zahra lagi galau tuh di taman, hibur Ya ganteng," kata Azizah lalu Ia kembali masuk ke dalam. Sementara Aksa melongo sejenak. Tak menyangka itu benar-benar Kakak kandung Zahra. Ya meskipun gadis itu sudah pernah menceritakan padanya.
Aksa melangkahkan kakinya, melihat sosok gadis cantik yang memang sedang duduk di bangku sedang. Taman di rumah Zahra memang berada di depan.
"Hei."
Zahra menoleh lalu seketika tersenyum.
"Udah selesai acaranya?"
"Hm."
Aksa ikut duduk di samping Zahra lalu mengikuti tatapan Gadis itu yang mengarah ke langit.
"Bintangnya lagi banyak, cantik," kata Zahra dengan nada kagum. Jarang-jarang langit secerah ini.
"Kata Kakak Lo, Lo galau?" tanya Aksa membuat Zahra menoleh heran.
"Apaan? Sok tau banget. Orang lagi liat bintang."
Aksa terkekeh kecil.
"Bintangnya cantik, tapi masih cantikan Lo."
Zahra menatap Aksa terkejut. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, memastikan jika Memang Aksa yang berbicara.
Zahra seketika tertawa lepas.
"Kalo mau gombal yang Ikhlas mukanya, Aksa. Kamu kaya lagi marah aja," ucap Zahra masih sambil terkekeh.
Aksa mengendikkan bahu."Gue cuma berusaha. Lagian gue jujur."
Zahra makin tertawa. Dan percayalah hal itu mampu membius seluruh Fokus Aksa.
Tawanya begitu manis dan candu untuk didengar, membuat Aksa sadar jika sesuatu yang bersinar itu bukanlah gemerlap langit. Tapi Sosok Ceria Zahra.
*****