_kamu tidak perlu menjadi orang lain untuk dihargai dan dicintai._
Lapangan outdoor ramai oleh para siswa yang sedang main basket, maupun siswi yang sedang duduk di tribun. Ini adalah permainan biasa yang dilakukan untuk memperkuat pertemanan, namun para siswi menganggapnya sebagai ajang untuk cuci mata. Bagaimana tidak? Para pemain basketnya cogan alias cowok ganteng semua.
"Oper," kata Devan singkat. Ia mengode Bayu yang dibalas anggukan olehnya.
Bayu bersiap, Ia mengusap rambutnya kebelakang dengan gaya cool membuat para kaum hawa menjerit.
Tak tau saja jika di antara para siswi yang sedang kalap itu terdapat seorang gadis cantik tengah bersedekap dada sambil menatap Bayu tajam.
"Cemburu bilang, Na," celetuk Rima dengan nada meledek. Rima adalah teman Dekat Luna atau biasa disebut bestie. Dan kebetulan yang disengaja juga, Rima yang mengajak Luna kesini.
Luna mengalihkan tatapannya pada Rima lalu berdecih pelan.
"Ngapain gue cemburu sama dia? Gak level banget."
Rima menggelengkan kepala Pelan. Sudah ketahuan masih saja mengelak, itu adalah kebiasaan Luna. Ia sudah tau jika sahabatnya itu dijodohkan dengan Bayu.
Rima kaget sih, tapi melihat interaksi mereka, Ia malah sangat merestui. Love to hate itu sangat lucu kalo menurut Rima.
Seperti di novel-novel.
Oke, kembali ke lapangan.
Bayu sudah melempar bola itu. Namun naas, lemparan itu tak semulus biasanya hingga menyenter kepala seseorang yang sedang lewat.
"Aduh!"
"Keyla!"
Bayu melotot begitupun yang lain. Pasalnya lemparan itu membuat kacamata milik sang korban terlempar hingga pecah.
"Shit," umpat Devan pekan, Ia Segera mendekati orang itu.
"Lo gapapa?" tanya Devan basa-basi sambil mengulurkan tangan. Meskipun ini salah Bayu, namun Devan juga merasa bertanggungjawab atas kecelakaan kecil ini.
"Kaca mata Key, Hiks!"
Tanpa diduga-duga, orang yang ternyata adalah sosok gadis cantik nan imut itu mengabaikan Devan dan menangisi kacamatanya.
Devan Lho. Cowok kalem nan ganteng seantero sekolah.
"Mampus Lo, Yu, anak orang nangis," ucap Rangga meledek.
"Gue gak liat, anjing! Salahin noh Devan yang gak nangkep," elak Bayu terkesan sewot.
"Santai," kata Aksa menepuk pundak Bayu pelan. Ia percaya jika Devan bisa mengatasi itu semua.
"Gue minta maaf."
Keyla menyudahi tangisnya lalu mendongakkan wajah. Seketika mata coklatnya bertemu dengan tatapan tajam seseorang yang membuat ia seketika terdiam.
"Hidung Lo berdarah," ucap Devan, Ia berjongkok, menatap dengan wajah datar.
Namun tidak biasanya Ia peduli dengan seseorang.
"Sakit?"
"Iya, sakit banget," jujur Keyla.
Devan mengeluarkan sebuah sapu tangan lalu mengusap darah itu pelan membuat Keyla mematung.
"Kita ke UKS." Tatapan mata Devan teralih pada kacamata yang sudah tergeletak mengenaskan. "Nanti gue ganti kacamatanya, yang penting Lo oke dulu," lanjut Devan dengan penuh perhatian.
Keyla mengerjapkan mata, masih bingung namun Ia menerima uluran tangan Devan untuk berdiri dan ia digandeng entah kemana.
"Gila! Itu si anak baru menang banyak jir."
"Hueee, kenapa gak gue aja yang kena bola."
"Sweet banget, anjir! Jiwa jomblo gue!"
Aksa menatap kedua orang itu dengan senyum penuh arti.
"Kayaknya Lo bakal ngerasain rasanya jatuh, Van."
***
"Aksa!"
Keempat cowok tampan itu menoleh seketika mendengar suara yang sudah tak asing menyapa Indra mereka, padahal yang dipanggil hanya satu orang.
Seorang gadis cantik dengan tampilan hijab kasual itu menghampiri dengan senyum lebar.
"Kenapa disini?" tanya Aksa terdengar dingin.
Senyum Zahra seketika luntur. Wajahnya berubah muram karena Aksa tampak tak suka Ia datang.
"Udah sembuh, Ra?" tanya Rangga.
"Eh, belum."
Bayu menyenggol lengan Rangga sambil melotot. Goblok banget pertanyaannya. Itu adalah kata yang ingin diutarakan Bayu.
"Maksudnya, Lo udah sehat?"
"Iya, lumayan," balas Zahra tersenyum pada Rangga.
Devan menggeleng pelan. "Aksa marah karena takut Lo sakit lagi. Makanya jangan nakal." Setelah mengatakan itu, Devan langsung berlalu begitu saja dengan tangan dimasukan ke dalam saku Hoodie yang dipakainya.
"Kita ikut lo," ucap Bayu langsung menarik Rangga. Ia tak mau menjadi nyamuk. Lebih baik menggoda Luna saja. Hahah.
"Aku udah sehat kok kalo kamu masih khawatir," ucap Zahra dengan wajah memerah.
Aksa menghela nafas. Ia tak bisa berlama-lama marah.
"Udah makan?"
"Udah."
"Kamu?"
"Belum," jujur Aksa.
Zahra menyerahkan sebuah plastik yang dibawanya.
"Kamu makan dulu."
Aksa menerimanya dengan kening mengerut.
"Emang mau kemana?"
Zahra tersenyum seketika, ia tidak sabar menantikannya.
"Wujudin list pertama aku."
***
Dan disinilah sekarang. Tepat pukul 17. 20, Zahra dan Aksa telah sampai di pantai.
Gadis itu tak hentinya tersenyum melihat pemandangan elok yang di perlihatkan.
Sudah lama sekali Zahra tidak ke pantai.
"Cantik," ucap Aksa tak bisa melepaskan tatapan matanya pada gadis itu.
Seakan, seluruh pusat perhatiannya sudah direnggut gadis itu. Gadis yang dicintainya.
Aksa tersenyum kecil. Momen seperti ini tidak boleh dilupakan. Ia mengeluarkan ponsel berlogo apel digigitnya, lalu mengarahkan kamera belakang dimana ada Zahra yang masih asyik menikmati debur ombak pantai.
Aksa berhasil menangkap beberapa potret indah itu lalu menatap hasilnya.
"Kenapa gak Bilang mau kesini? Kan gue bisa bawa kamera," ucap Aksa sambil mendekati gadis itu.
"Kayaknya aku bawa."
"Hm?"
Zahra tak mengatakan apapun, namun tangannya merogoh sesuatu pada tas yang dibawanya.
Dan terlihatlah sebuah kamera imut berwarna pink.
"Ini kayaknya mainan anak-anak," ledek Aksa membuat Zahra mengerucutkan bibirnya.
"Gini-gini aku jago moto tau," ucap Zahra.
"Masa? Coba dong buktiin."
Zahra Menaikkan satu alisnya. Wah, sepertinya Aksa meremehkan kemampuannya.
"Kamu berdiri di sana," ucap Zahra sambil menunjuk ke depannya, tepat di tepi pantai dengan latar langit sore.
"Gue gak suka Poto."
Zahra tersenyum."Madep belakang Aja, muka kamu gak akan keliatan kok."
"Tetep aja bagian tubuh gue kepoto."
"Please ya? Ini salah satu wish aku."
Oke, mendengar kata itu membuat Aksa tidak bisa mengelak sama sekali. Ia mengangguk menurut lalu melakukan seperti apa yang Zahra arahkan.
Zahra tersenyum senang lalu mulai memotretnya.
Beberapa tangkapan dan Aksa sudah merengek minta udahan. Dari sini Zahra tau jika Aksa anti kamera. Padahal wajahnya sangat tampan.
"Kamu gak mau liat hasilnya?" goda Zahra membuat Aksa mendengus.
Zahra terkekeh.
"Mau minum?"
Tawa Zahra terhenti dan ia mengangguk."Es kepala muda kayaknya enak."
Aksa Berdehem. "Emang boleh?"
"Boleh, dikit aja."
Aksa langsung pergi begitu saja meninggalkan Zahra disana yang perlahan duduk di atas pasir.
"Aksa, aku takut gak bisa liat senyum kamu lagi," monolog Zahra menatap hasil tangkapan candid dimana Aksa tersenyum manis.
Senyum Aksa sangat menenangkan, namun sayang hanya sedikit orang yang bisa melihatnya.
Tidak berapa lama, Aksa kembali datang dengan dua kelapa yang sudah dibuka.
"Nih."
Zahra menerimanya lalu meminumnya sedikit.
"Sunsetnya kayaknya bentar lagi," ucap Aksa sambil menatap jam tangannya.
Yap, tujuan mereka datang kesini adalah untuk melihat sunset. Zahra bilang, tempat ini paling cocok.
Zahra meletakan kelapa itu lalu menarik tangan Aksa untuk ikut duduk disampingnya.
Aksa sejenak terkejut, Namun ia tetap menurut.
Dan, tibalah saat matahari mulai terbenam di langit sore.
Detik-detik yang sangat indah menurut Zahra. Karena senja telah ditutup oleh gelapnya malam, namun tak melunturkan keindahannya.
Zahra memejamkan matanya dan menengadahkan tangan membuat Aksa menoleh.
"Lagi apa?"
'"berdo'a."
Aksa mengangguk. Ia juga mengikuti Zahra dengan menyentuh dada kiri, dada kanan dan dahi lalu memejamkan mata.
Begitu nyata perbedaan itu, namun mereka tidak tau harus apa.
Setelah selesai, Zahra membuka matanya, menatap Aksa dengan mata yang sudah berembun.
Saat Aksa membuka matanya, Zahra langsung meletakan kepalanya di bahu lebar cowok itu membuatnya membeku.
"Aksa, apa kita bisa kaya gini lagi?"
Aksa menelan ludahnya, ia mengusap kepala gadis itu dan menatap ke arah langit.
"Pasti," ucapnya pelan.
***